Ada alasan mengapa orang Surabaya menganggap warga Jakarta menyebalkan. Mojok mewawancarai beberapa orang perantau asal Surabaya yang pernah tinggal di sana. Pengalaman mereka pun hampir sama: kena tipu!
Mengambil kesempatan dalam kesempitan
“Aku hampir pernah tipu waktu benerin leptopku yang rusak,” ujar Maulia (23) yang pernah tinggal di Jakarta hampir dua tahun.
Maulia atau yang akrab dipanggil Maul pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta pada tahun 2017, sekadar untuk jalan-jalan. 6 tahun kemudian, perempuan asal Surabaya itu baru mendapatkan kesempatan magang di salah satu perusahaan media dan hampir bekerja di sana selama beberapa bulan.
Suatu hari, laptop Maul tiba-tiba eror. Layarnya mati sehingga tidak bisa dipakai. Sebelumnya, laptop tersebut memang sering ngelek tapi kakak Maul yang lumayan cukup mengerti IT sudah memperbaikinya saat dia di Surabaya.
Entah kenapa beberapa bulan dipakai, leptop itu kumat. Sementara, dia harus mengejar tenggat waktu pekerjaan. Karena keadaan genting, Maul buru-buru mencari tempat servis yang tidak jauh dari kantornya. Tak butuh waktu lama bagi Maul untuk memesan ojek online dan menuju tempat servis terdekat.
Ia tiba di tujuan sekitar pukul 19.00 WIB. Namun, saat tiba di sana ia hanya bisa melongo.
“Aku diturunin di tempat antah berantah, bahkan aku kaget, ternyata di Jakarta ada tempat kayak begini. Jalannya sepi, banyak pohon rindang, bahkan ada tempat pemancingan padahal dekat Senayan,” tutur Maul.
Oleh karena itu, ia makin ragu untuk menemukan tempat servis elektronik. Minimal, kata Maul, ada banner yang menunjukkan identitas tempat servis. Dengan begitu, toko tersebut jadi terpercaya.
“Aku sudah cari-cari, tapi nggak ada tempat servis sama sekali,” kata dia dengan lesu.
Jangan mudah percaya saat di Jakarta
Malam semakin larut di Jakarta dan Maul semakin stres memikirkan nasib laptopnya. Saat ia berjalan-jalan sembari mencari tempat servis, Maul memutuskan bertanya kepada ibu-ibu yang sedang memasak di depan rumahnya.
Entah benar atau tidak, ibu tadi mengaku kalau tempatnya membuka jasa servis. Ia berujar jika suaminya jago memperbaiki barang elektronik, termasuk laptop. Tak lama kemudian, sang suami keluar dan menanyakan keluhan Maul.
Maul berujar jika laptopnya tiba-tiba tidak menyala. Sependek pemahaman dia dari kakaknya, ada masalah di sensor laptopnya. Namun, bapak tersebut berujar jika LCD-nya yang rusak.
“Masalah laptopku nggak separah itu sebetulnya. Cuman perlu dibongkar dikit, tapi bukan di LCD-nya tapi di prosesornya,” ujar Maul.
“Dia bilang laptopnya harus nginap dan aku langsung ditodong dengan duit satu juta,” lanjutnya.
Karena ragu, Maul tak jadi mengambil tawaran tersebut. Ia pun memilih pulang dan bertanya pada teman kerja kantornya di Jakarta yang cukup ahli. Dan benar apa kata kakak Maul sebelumnya, yang salah ada di kabel prosesornya.
“Karena leptopku nggak pernah jatuh dan rusaknya nggak separah itu. Nah pas besoknya waktu dibenerin sama salah satu pegawai kantornya sudah bisa,” kata Maul.
Harga murah jadi jauh lebih mahal
Kejadian seperti itu tak hanya Maul alami sekali. Kali ini yang rusak adalah HP-nya. Mulanya Maul tak ragu karena dari nama tempat dan merk servis HP-nya cukup mentereng. Barangkali, ia hanya apes karena servis di cabang yang salah.
“Aku habis banyak sampai Rp700 ribu tapi HP-ku tetap rusak pas dikembalikan,” ujar Maul. Kejadian tersebut baru Maul alami baru-baru ini. Kebetulan, saat itu ia memang sudah berencana balik ke Surabaya. Oleh karena itu, daripada adu mulut dan protes Maul memilih pasrah.
“Aku udah nggak ada tenaga lagi buat debat. Pas pulang dari Surabaya baru aku servis lagi. Malah setelah dicek, tukang servisnya bilang kalau ada komponen HP yang hilang,” kata Maul yang makin nelangsa.
Selain Maul, Elyza (21) juga merasa ada yang salah dengan tabiat orang Jakarta terhadap pendatang baru seperti dirinya yang berasal dari Surabaya. Ia hanya satu tahun di Jakarta untuk magang, tapi sudah mendapat kesan pertama yang buruk.
“Kadang aku merasa kalau bukan orang Jakarta asli harganya dinaikin, walaupun nggak semua,” kata Elyza.
Pernah suatu hari Elyza hendak membeli gunting kuku di Pasar Minggu, Jakarta. Dengan intonasi khas Surabaya miliknya, Elyza bertanya harga barang tersebut. Lalu, sang pedagang menjawab Rp10 ribu.
“Nggak tahu ini harganya segitu atau nggak, padahal gunting kuku biasa nggak model yang gimana-gimana, tapi temanku yang sering ke sana bilang harganya seharusnya nggak sampai segitu,” ujarnya.
Lebih parahnya lagi, ia sudah bilang ke pedagang tersebut kalau tidak jadi membeli tapi entah kenapa gantungan kuci itu tetap dimasukkan kantong belanjaan Elyza. Karena malas berdebat, ia diam saja.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Penyesalan Orang Surabaya yang Mengadu Nasib ke Jakarta, Tak Sesuai Ekspektasi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












