Bagi Listyana (26), tak ada hari tanpa nyinyiran tetangga. Nyaris sepanjang hari, kehidupan pekerja freelance ini dihabiskan dengan mulut pedas tetangganya. Pagi gosip tentang pendidikannya, siang omon-omon soal finansial dan pekerjaannya, serta malam hari cerita miring soal asmaranya.
Ana, sapaan akrbanya, memang mengakui beberapa omongan tetangga kadang merupakan fakta. Tapi tak sedikit juga yang dilebih-lebihkan. Bahkan, yang lebih menyakitkan lagi kenyataan kalau beberapa nyinyiran tentangnya dikompori oleh berita bohong.
“Kalau bukan karena orang tua, mungkin aku sudah minggat jauh. Kemana saja yang penting nggak ketemu tipe tetangga jahat kayak begitu,” ujar alumnus UGM ini, menceritakan uneg-unegnya kepada Mojok, Senin (13/5/2024).
Perempuan yang lahir, besar, dan mungkin akan terus menetap di Sukoharjo, Jawa Tengah ini mengaku kalau sebenarnya sudah sejak kuliah dia punya niatan meninggalkan daerah asalnya.Â
Namun, setelah menimba dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Jogja, ia baru menyadari ada banyak hal yang membuatnya sulit–atau bahkan mustahil–buat mewujudkan keinginannya itu.
Lulus Cumlaude UGM tetap dicibir, karena dianggap buang-buang duit
Listyana besar di lingkungan yang biasa-biasa saja. Desanya, kalau mau disebut maju kok belum, tapi kalau dianggap tertinggal ya tidak juga. Laiknya desa-desa pinggiran kota pada umumnya.
Kedua orang tuanya petani, sebagaimana kebanyakan penduduk desa. Namun, menurut pekerja freelance ini, yang membedakan mereka dengan para tetangga, orang tuanya amat suportif dalam hal pendidikan.
“Pokoknya, di desaku sudah ada semacam pemahaman ‘buat apa sekolah tinggi-tinggi, mending langsung kerja’. Apalagi perempuan, udah kayak aneh aja kalau ada yang berambisi jadi sarjana. Untungnya bapak sama ibu nggak kayak gitu,” kisahnya.
Kedua orang tua Ana memang mendorong anak-anaknya buat bisa sekolah tinggi-tinggi. Ia, yang merupakan anak semata wayang, diberi kebebasan memilih jalan hidupnya setelah lulus SMA. Apakah mau kerja, atau kuliah. Kalau kerja di mana, kalau kuliah mau jurusan apa. Semua dibebaskan ke anaknya.
Untungnya, karena memang berprestasi sejak SMA, Ana diterima UGM. Ia lolos SNBT (SBMPTN) 2016. Di kampus top itu pun, Ana dapat UKT yang masih terjangkau, sekitar Rp1,6 juta per semester.
“Itu pun masih dinyiyirin, dibilang mending duitnya buat inilah, itulah. Intinya mereka tuh kayak nggak seneng aja aku bahagia. Di depan aja kelihatan biasa aja, tapi di belakang ngomongin.”
Bahkan, yang lebih menyakitkan lagi, ketika Ana lulus cumlaude pada 2020 lalu, suara pedas tetangga masih saja ia dengar.
“‘Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi’, kalau kata mereka,” kesal Ana. “Heran aja aku. Zaman segini masih ada aja yang berpikirian kayak begitu.”
Awal dapat kerja freelance ngisi voice over, pengahasilannya banyak
Setelah lulus kuliah, beberapa bulan setelahnya Ana masih nganggur. Wajar, saat itu situasi memang sedang tak menentu karena bersiap menghadapi pandemi Covid-19.
“Saat itu, ya, mungkin karena semua orang takut keluar. Nggak ada interaksi. Jadi yaudah belum kedengeran tuh nyinyiran mereka,” kata Ana.
Semenjak “di rumah aja”, akhirnya Ana belajar berbagai soft skill. Termasuk mengedit gambar, video, dan tentunya menulis banyak naskah untuk ia terbitkan di salah satu novel digital.Â
Awalnya, kegiatannya itu memang tak menghasilkan. Sampai akhirnya, sekitar akhir 2021, ia diminta buat mengisi voice over (VO) beberapa konten TikTok dan Reels beberapa temannya.
Ia tak menyangka, hasil dari ngisi voice over itu ternyata lumayan. Rata-rata Anna dapat bayaran Rp1 juta untuk beberapa konten saja.
“Nggak nyangka, sih. Soalnya cuma dimintain tolong, jadi ngiranya nggak dibayar. Eh tahu-tahu setiap habis bikin beberapa VO dapat transferan.”
Tak sampai di situ, beberapa konten kreator sampai perusahaan, seperti rumah makan, penyedia jasa, dan sebagainya, “memakai” suara Ana buat konten-konten mereka. Tercatat, sampai awal 2023 Ana masih menggeluti pekerjaan freelance sebagai pengisi voice over, sambil tetap menerima order edit gambar dan video.
“Kalau ngomongin penghasilan, nggak mau sebut angka. Tapi sangat, sangat, sangat cukup buat menghidupi sama ortu. Kalau bandinginnya sama UMR sini, per bulannya ya jauh di atasnya.”
Dapat penghasilan besar, tapi tetap dinyinyir
Berkat kerja freelance-nya, Ana jadi tak takut lagi kekurangan uang. Bahkan, nyaris segala kebutuhannya selama pandemi dapat tercover dengan gaji-gajinya hasil ngirim voice over.
Sayangnya, itu tak bisa melepaskannya dari jerat nyinyir tetangga. Netizen-netizen offline itu, tak sedikit yang masih mengolok-oloknya.
“Ada yang bilang, ‘lho, lulus sarjana kok nggak kerja di kota?’, ‘kok nggak kantoran?’,” ujarnya, menirukan mulut tetangga. “Aku hanya diam saja, sih. Biarin aja ngoceh, meskipun aslinya pengen balas. Tapi mereka nggak bakal paham juga,” sebenarnya.
Ada banyak alasan mengapa Ana memilih kerja freelance ketimbang kantoran. Padahal kalau mau, dia bisa saja kerja kantoran di Jakarta atau kota-kota besar lain berbekal ijazahnya yang mentereng.
Sayangnya, Ana memilih kerja di rumah. Sebab, ia ingin merawat kedua orang tuanya yang sudah berusia senja. Apalagi dia merupakan anak tunggal.
“Intinya belum bisa nerima kerjaan di luar kota. Kalau pun ada, nggak sampai yang berhari-hari ninggal rumah. Pengennya tetep pulang ke sini,” jelasnya.
Hingga saat ini, Ana masih sibuk kerja freelance. Ia biasanya menerima banyak orderan edit gambar, desain acara, maupun video-video dari acara komunitas bahkan instansi pemerintahan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muhamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News