Tak malu dengan identitas sendiri
Selama kuliah di Malang, Asror mencoba meresponsnya biasa saja. Walaupun menurutnya agak berlebihan juga.
“Padahal ya, lebih lucu kalau di Malang itu, banyak mahasiswa kabupaten yang sok-sokan pakai logat Jabodetabek yang elo-guwe. Itu malah lucu biyanget,” ujar Asror. Kata “biyanget” adalah hiperbolis untuk menunjukkan banget yang banget-banget.
Tapi hal itu tidak lantas membuat Asror minder atau malu dengan cara bicaranya. Sebaliknya, dia justru terus mempertahankan bicara dengan logat dan kosakata khas pengendara motor plat AG.
“Ya karena itu kekayaan budaya. Itu juga menjadi identitas rumpun plat AG. Lantas kenapa harus seragam? Kalau ikut-ikutan pakai elo-guwe, wah nggak bhinneka to jadinya,” tuturnya.
Namun, lanjut Asror, memang ada banyak teman-temannya dari rumpun plat AG—tidak hanya Kediri—yang karena malu dan takut jadi bahan ledekan, akhirnya memilih menyembunyikan identitas. Kalau tidak nyoba mengubah logat dan kosakata menjadi logat dan kosakata Malangan, ya maksa pakai elu-guwe.
Keakraban para pengendara motor plat AG di perantauan
Terlepas dari urusan logat, menurut Asror, para pengendara motor plat AG gampang sekali akrab satu sama lain.
“Misalnya, kalau lagi ketemu di mana, langsung nanya ‘Wah AG, AG mana, Mas?’. Dari pertanyaan itu bisa langsung akrab, langsung seduluran,” ujar Asror.
Sejak di Malang, dalam konteks teman-teman sedaerah, teman baik Asror tidak hanya dari kalangan mahasiswa asal Kediri. Tapi juga dari daerah lain yang serumpun—Blitar, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung.
Orang-orang baik yang saya kenal (1)
Pola semacam itu pun saya lihat sendiri dari teman-teman kuliah saya dulu di Surabaya. Saya punya seorang teman dari Blitar, juga beberapa teman dari Nganjuk.
Sering ketika kami ngopi, lalu teman saya melihat ada motor plat AG, maka dia akan langsung nanya, “AG mana e, Mas?”. Setelah itu keduanya langsung ngobrol gayeng.
Teman saya yang dari Blitar bahkan akhirnya akrab dengan seorang perantau di Surabaya bermula dari saat dia jual motornya yang plat AG.
Dia mendapat pembeli perantau asal Tulungagung yang memang sedang mencari motor plat AG. Saat mereka COD—yang kebetulan saya menemaninya pada 2022 silam—mereka tak cuma ngobrol soal kurang-lebihnya motor yang teman saya tawarkan.
Setelah semuanya clear dan deal, teman saya dan orang Tulungagung itu malah lanjut ngopi. Membincangkan banyak hal. Tentang lika-liku kehidupan masing-masing sebagai orang plat AG yang hidup di perantauan. Bahkan, saat berpamitan, tidak cuma pesanan teman saya, pesanan saya pun ikut dibayari oleh orang Tulungagung tersebut.
Orang-orang baik yang saya kenal (2)
Menjelang akhir 2023, sebelum akhirnya pindah ke Jogja, saya juga pernah satu kamar dengan perantau asal Tulungagung. Walaupun hanya sebentar, tapi hubungan kami berjalan baik hingga sekarang. Dia masih kerap mengomentari unggahan-unggahan saya di WhatsApp.
Dulu selama di kos pun, dia suka berbagi dengan saya. Santun, dan pekerja keras pula. Waktu itu dia mengejar PPG. Di sela-selanya, dia nyambi beberapa pekerjaan. Mulai dari Shopee Food hingga mengajar di beberapa sekolah di Surabaya.
Teman-teman saya dari rumpun AG tersebut, adalah teman-teman terbaik yang pernah saya kenal selama merantau di Surabaya. Kami hidup dengan solidaritas. Saling bantu.
Hingga saat ini pun, setiap saya ke Surabaya, orang yang menampung saya—karena saya tidak pernah pesan hotel/penginapan/kos harian—salah satunya ya teman dari rumpun AG (Nganjuk. Saya benar-benar diramut sebaik-baiknya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cara Berkendara Motor Plat K Diresahkan Orang Jogja, Tapi bikin Takjub Orang Surabaya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












