Momen kumpul keluarga besar pada lebaran 2024 kemarin menjadi waktu paling menyebalkan bagi Ristiawan (23). Meski sudah punya pekerjaan tetap dan hidup mandiri, nyinyiran terhadapanya tak bisa dihindari. Ia tetap dibanding-bandingke karena menjadi buruh pabrik di tengah keluarga PNS. Padahal, kalau boleh jujur, gajinya paling besar ketimbang anggota keluarga lain.
Alhasil, pada acara yang harusnya jadi momen bahagia itu, perasaannya justru dongkol. Ristiawan hemat omongan. Ia memilih melipir ke pojokan ketimbang mendengarkan omongan tak mengenakkan dari sanak familinya.
“Rasanya mending kerja aja, sih, ketimbang libur tapi energi habis buat denger nyinyiran yang nyakitin hati. Masih lebih enek didengar omelan atasan,” kata lelaki asal Wonogiri ini, Sabtu (13/4/2024).
Dianggap jadi anak paling bodoh gara-gara cuma lulusan SMA
Awan, sapaannya di tongkrongan, berasal dari keluarga PNS. Bapak dan ibunya merupakan PNS guru. Bapaknya mengajar salah satu SMP negeri di Wonogiri kota, sementara ibunya mengajar sebuah sekolah dasar di Kecamatan Eromoko, tempat asalnya.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, ia dibebani harapan bisa melanjutkan jalan orang tuanya sebagainya guru.
“Kalau enggak jadi guru, minimal kerja jadi pegawai [PNS] lah, karena itu dianggap paling menjanjikan buat masa depan. Jadi buruh pabrik jelas nggak ada di bayangan mereka,” jelasnya.
Sayangnya, sejak masih sekolah, jalan Awan tampaknya tak mengarah sesuai ekspektasi orang tua. Ia jadi siswa yang biasa-biasa saja. Jangankan berprestasi di sekolah, masuk ranking 10 besar kelas saja tak pernah.
Ibarat kata, modalnya buat menjadi guru tak pernah dia kantongi. Awan memang mengaku tak pernah punya niat atau angan-angan buat menjadi guru. Bagi dia, mengajar itu ribet. Buat paham pelajaran saja sulit, apalagi mengajari orang lain.
Hal tersebut jelas berbeda dengan dua adiknya, yang kalau kata orang-orang, “lebih mirip orang tuanya”. Mereka selalu ranking di sekolah dan punya banyak prestasi akademik, baik sejak SD sampai SMA sekalipun.
“Makanya kalau guyonan tetangga-tetangga, aku ini anak paling goblok. Ya emang bercanda tapi kadang sakit hati juga,” kata Awan.
Sadar akan kemampuannya, ia pun mantap mengambil jalan lain yang sudah pasti mendapat pertentangan dari orang tua.
“Makanya aku bilang ke orang tua pas selesai sekolah nanti mau langsung kerja saja, nggak mau kuliah-kuliah,” ujarnya, menjelaskan “jalan lain” yang ditentang habis-habisan oleh orang tuanya itu.
Pernah dipaksa kuliah tapi tetap tidak mau
Awan, sang buruh pabrik di keluarga PNS ini, lulus SMA pada 2019 lalu. Kala itu, orang tuanya kekeuh menyuruhnya kuliah. “Aku disuruh ikut tes masuk universitas [SBMPTN]. Aku nekat bilang nggak mau, jadinya skip. Malah aku pernah juga mau didaftarin ke UMS Solo,” jelasnya.
Meski dipaksa, keputusan Awan sudah bulat: ia tak mau kuliah. Ia mengaku kepalanya sudah terlalu berat untuk mikir soal pelajaran. Kalau kata dia, “pelajaran SMA aja sudah pusing, apalagi kuliah”.
Saat baru lulus, ia sudah menghubungi pamannya yang ada di Bogor untuk meminta pekerjaan. Tujuannya selain buat cari pengalaman, ya, aslinya biar bisa keluar dari rumah.
Kala itu, pamannya menawarinya pekerjaan merawat sapi-sapi di sekitaran kampus IPB. Kerjaannya gampang, cukup merawat sapi yang disiapkan buat hari raya kurban. Gajinya pun juga besar untuk durasi kerja cuma dua bulan.
“Tapi sudah jelas ditolak. Katanya ‘apa kata orang kalau bapak ibunya pegawai semua tapi anaknya cuma angon sapi’,” ujar lelaki yang sudah lima tahun jadi buruh pabrik ini. Awan pun tak mendapat restu merantau ke Bogor.
Baca halaman selanjutnya…
Buruh pabrik ini tetap diremehkan meski jadi tulang punggung keluarga
Tak mau lama-lama menganggur, sekitar Agustus 2019 Awan dapat pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen di Sukoharjo. Semenetara kini adik tertuanya sudah semester 6 kuliah, sebentar lagi lulus; dan adiknya yang paling kecil rencananya juga akan kuliah tahun depan.
Selama hampir lima tahun kerja di pabrik, Awan sudah beberapa kali mengalami kenaikan upah dan sekali promosi jabatan. Finansialnya termasuk mapan, apalagi selama pandemi kemarin dia tetap masuk kerja sehingga tak mengganggu arus penghasilannya.
“Jujur kalau boleh sombong, gajiku sama orang tua masih besaran punyaku. Mereka ini nyaris setengah gajiku, lho,” kata Awan dengan sedikit geram. “Aku juga tak bela-belain laju 45 menit berangkat kerja karena merasa punya tanggung jawab ngurus rumah,” sambungnya.
Tapi apa mau dikata, kerja jadi buruh pabrik bikin Awan tetap merasa kurang dihargai. Tak jarang dia dijadikan contoh kepada adik-adiknya sebagai “gambaran buruk” orang yang enggak mau kuliah.
“Aku tahu sih itu bapak bercanda. Tapi tetap saja, bilang ‘belajar yang rajin biar enggak kayak Masmu’, itu nyakitin banget. Kayak mau bilang kalau aku produk gagal,” kata Awan.
“Padahal kalau mau fair, kebutuhan rumah aku semua yang gendong.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News