Perjalanan menjelajahi perairan jalur rempah menjadi pengalaman hidup yang tak terlupakan. Selain bisa berkeliling laut lepas Indonesia, juga memberi kesempatan untuk meminum air sakral bernama “air kehidupan” di tengah laut lepas.
***
Juni-Juli 2024 lalu, 75 anak muda mengarungi tujuh titik perairan jalur rempah. Mereka berasal dari berbagai daerah untuk melakukan perjalanan selama 38 hari dalam program Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR).
Program tersebut pertama kali diadakan Kemendikbudristek sejak 2022 silam. Dengan kata lain, tahun ini adalah tahun ketiga program tersebut berjalan.
Proses panjang untuk keliling jalur rempah di laut Indonesia
Hembusan angin laut menerpa wajah Mita Marwiah (20), salah satu peserta program pelayaran jalur rempah tersebut. Berlayar adalah pengalaman pertama baginya. Apalagi dengan menggunakan Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci, kapal pelatihan bagi taruna atau kadet di Akademi Angkatan Laut (AL).
Perempuan asal Kabupaten Pandeglang, Banten itu mengaku menyiapkan waktu selama dua minggu agar lolos tahap seleksi. Mulanya, Mita mencari informasi tersebut melalui website Kemendikbudristek.
Sebagai duta wisata di daerahnya, dia sedikit memahami jalur rempah. Namun, belum pernah menjelajahi rute perdagangan rempah secara langsung. Sehingga, dia berhasrat betul untuk lolos seleksi program MBJR.
“Prosesnya seleksinya cukup ketat, aku harus mempersiapkan beberapa dokumen. Misalnya, CV, esai sebanyak 1.500 kata tentang Jalur Rempah dan Konektivitas Budaya, serta video tentang mengapa para peserta layak mengikuti kegiatan jalur rempah,” ucap mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya itu kepada Mojok, Rabu (9/10/2024).
Pengalaman ikut Mandi Khatulistiwa dan minum air kehidupan
Pelayaran menyusuri jalur rempah di laut lepas Indonesia dimulai dari Jakarta Rabu (5/6/2024). Lalu berturut-turut menuju Belitung Timur, Dumai, Saban, Melaka di Malaysia, Tanjung Uban, Lampung, dan berakhir kembali di Jakarta.
Yang tak pernah Mita bayangkan, di atas KRI Dewaruci, di tengah laut lepas Indonesia, dia mengikuti tradisi sakral “Mandi Khatulistiwa”.
Dalam lingkungan TNI AL, jika melintas tepat di garis equator atau khatulistiwa, para prajurit pasti akan melakukan tradisi tersebut.
Merujuk pada Puspen TNI, Mandi Khatulistiwa merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur untuk membangun semangat juang dan karakter prajurit. Tujuannya untuk menyucikan diri dari “kotoran daratan”, terhindar dari malapetaka, serta sah diterima menjadi warga laut.
Saat melintas di garis khatulistiwa itu, para peserta jelajah jalur rempah juga mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana prosesi Mandi Khatulistiwa. Mereka menggunakan baju daerah masing-masing. Satu persatu, para peserta dicelupkan ke dalam bak air “sakral”.
Usai menyucikan diri, para peserta melakukan prosesi minum air sakral yang disebut “air kehidupan”, supaya tubuh mereka kuat. Selanjutnya, mereka diberi nama “baptis” satu persatu.
“Aku dikasih nama bintang, semacam nama baptis gitu sih, Viktor namanya. Tapi aku juga kurang tau artinya,” kata Mita.
Melalui perjalanan jalur rempah ini, Mita mendapatkan banyak pengalaman berharga termasuk memperluas relasi. 75 orang peserta yang disebut Laskar Rempah itu diharuskan mengikuti festival budaya bahari di setiap jalur yang mereka singgahi. Mereka juga mengikuti seminar, lokakarya, ritual, dan residensi atau praktik berseni.
Keukeuh mendaftar meski tak punya biaya
Hasrat mengikuti MBJR juga dirasakan oleh Muhammad Lutfi Dzulfikar (24) asal Sorong, Papua Barat Daya. Dia sempat gagal menyelesaikan proses seleksi di tahun 2022.
“Pada tahap akhir seleksi, saya tidak bisa hadir di ibu kota provinsi (Sorong). Biaya perjalanan dari kota asal saya ke Kota Sorong cukup mahal dan harus menggunakan pesawat,” kata Lutfi.
“Kondisi keuangan keluarga juga tidak memungkinkan, jadi saya harus mengundurkan diri,” sambungnya.
Meski begitu, Lutfi keukeuh mencoba di tahun 2024 dan beruntungnya berhasil. Dia menganggap jalur rempah bukan hanya tentang perdagangan, tapi juga perpaduan budaya, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
“Saya merasa punya misi, ada impian besar untuk mengangkat kembali cerita-cerita di sepanjang jalur rempah agar lebih dikenal dan dipahami masyarakat. Bagaimana jalur ini bukan sekadar lintasan dagang di laut Indonesia, tapi juga alur sejarah yang membentuk identitas bangsa kita,” ucap Lutfi.
Malam-malam penuh harapan di dek kapal
Lutfi menceritakan salah satu pengalaman berharganya saat kapal singgah di Lampung dan Jakarta. Dia merasa seperti menyelami sejarah transmigrasi yang membentuk wajah masyarakat saat ini.
Di Jakarta, Lutfi dan teman-temannya menelusuri jejak-jejak kejayaan masa lalu di Gudang VOC dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Tempat itu dulu menjadi sandaran bagi kapal-kapal besar yang membawa rempah dari seluruh penjuru Nusantara.
“Di sana, saya merasa waktu seolah berhenti sejenak, membiarkan saya membayangkan hiruk-pikuk perdagangan dan interaksi budaya yang pernah terjadi ratusan tahun lalu di Jakarta,” beber Lutfi.
“Terus berkunjung ke beberapa tempat lainnya seperti Museum Textile. Kami juga diajarkan praktik membatik,” imbuhnya.
Perjalanan jalur rempah itu semakin bermakna saat Lutfi dan teman-temannya saling bercerita di atas kapal sambil terhuyung karena ombak. Meski merasa mual dan pusing alias mabuk laut, tapi setiap anak antusias menceritakan budaya di daerahnya masing-masing. Menurut Lutfi kegiatan itu memperluas pandangannya.
“Setiap malam, di dek kapal, kami berkumpul dalam lingkaran, berbagi cerita tentang tanah kelahiran, tentang rempah-rempah yang dulu membuat dunia memandang Nusantara, dan tentang harapan-harapan kami untuk masa depan bangsa ini,” ujar Lutfi.
Haru di ujung perjalanan Jalur Rempah
Lagu “Indonesia Pusaka” mengalun mengiringi kepergian Laskar Rempah dari Tanjung Uban.
Perjalanan Laskar Rempah berakhir di Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Jakarta Utara pada Senin (15/7/2024). Lutfi mengaku haru saat hendak meninggalkan dermaga.
Dia masih menatap laut saat tali tambang besar perlahan-lahan dilepas dari tiang. Lalu, kapal mulai bergerak menjauh dari daratan.
“Melihat dermaga semakin mengecil dari kejauhan, mendengar teman-teman di darat melambai-lambaikan tangan, saya tak kuasa menahan perasaan haru. Tangis saya pecah,” kata Lutfi.
Pengalaman ke tujuh titik jalur rempah di laut lepas Indonesia, bagi Lutfi, menjadi petualangan yang kelak akan dia ceritakan pada anak-cucunya.
“Saya merasa telah mengumpulkan dan membawa cerita-cerita hebat dari masa lalu, agar tak pernah hilang ditelan gelombang zaman,” tutup Lutfi. Dari nada bicaranya, terdengar jelas kalau dia masih sangat merindukan masa-masa bertualang di laut lepas Indonesia itu.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sandeq dan Padewakang, Perahu Tradisional Kuno yang Berlayar Jelajahi Dunia Sejak Ribuan Tahun Lalu
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News