Kota Lasem memang sudah amat erat dengan identitas budaya sebagai Kota Pecinan (peci: santri), Kampung Pecinan (Tiongkok kecil), dan Kota Pusaka (peninggalan Majapahit).
Namun, Lasem tak melulu tentang tiga identitas itu. Di antara geliat pesantren, kampung pecinan, dan kultur masyarakat Jawa yang kental, berdiri sebuah rumah yang menambah harmoni kota ini. Yakni LKSA Marganingsih, rumah bagi anak-anak dari timur Indonesia.
***
Tahun 1998 menjadi awal kali Suster Bernarda, SND diutus untuk bertugas di LKSA Marganingsih Lasem. Bernarda mengaku takjub ketika melihat bagaimana beragam kelompok bisa hidup dengan harmoni di kota ini.
Bernarda asli Medan, Sumatera Utara. Sebelum bertugas di Lasem, Bernarda sempat bertugas di beberapa daerah dengan basis pesantren kuat di Jawa Tengah. Ia mengaku kerap merasa tak nyaman karena sering kali berhadapan dengan perlakuan intoleran. Lalu ia tiba di Lasem.

“Lasem membuat hati saya terasa hangat. Meskipun kental santrinya, Tionghoanya, Jawanya, tapi harmonis. Misalnya saya pergi ke pasar, jalan, pasti ada yang nyapa. Bahkan ada yang mau antar,” ujar Bernarda—selaku Kepala Pengasuh LKSA Marganingsih Lasem—saat saya temui di asrama putri LKSA Marganingsih Lasem, Selasa (28/10/2025) sore.
“Terus saat ini banyak anak timur di sini. Keragaman itu membuat Lasem terasa makin kaya. Sopir kami, juru masak di dapur, ada yang beragama Islam. Kami hidup berdampingan,” sambungnya. Nilai keharmonisan dan toleransi itu lah yang kemudian Bernarda tekankan pada anak-anak asuhnya di LKSA.

Muasal Lasem menjadi rumah bagi anak-anak timur
LKSA Marganingsih Lasem berdiri pada 21 November 1972 dan dikelola olah para suster. Sebagaimana umumnya LKSA, Marganingsih berdiri dengan tujuan untuk menolong anak-anak tak beruntung agar hidup layak dan bermartabat.
Sebenarnya LKSA Marganingsih Lasem tidak dikhususkan untuk anak-anak timur. Gelombang kedatangan anak-anak timur baru terjadi pada 1995.
“Generasi pertama anak timur itu tiga anak dari Sumba. Yang bawa waktu itu, ada orang yang peduli sama pendidikan anak-anak ini, tapi dia nggak punya modal,” beber Agus Sumanto, salah satu pengasuh yang sore itu juga menjamu saya bersama Bernarda.

Orang itu, kata Manto—sapaan akrab Agustinus Sumanto—lantas membawa anak-anak timur yang tak beruntung untuk disebar di tempat-tempat pengasuhan di Jawa. Tiga di antaranya dititipkan di LKSA Marganingsih Lasem.
“Tiga anak itu dulu masih SD, belum bisa baca-tulis. Kami didik, kami sekolahkan sampai lulus SMK. Setelah itu mereka cari kerja dan kabarnya sudah punya bisnis sendiri di daerah asalnya,” sambung laki-laki yang sudah berkhidmah dari Sleman ke Lasem sejak 1989 itu.
Sejak saat itu, lewat mulut ke mulut, banyak anak-anak timur yang dititipkan di LKSA Marganingsih Lasem. Saat ini ada 20 anak laki-laki dan 42 anak perempuan yang tinggal di LKSA tersebut. Usianya pun beragam: TK, SD, SMP, dan SMK.
Timur dan cinta kasih: memberi warna baru bagi Lasem
Ketimbang kelompok santri, Jawa, dan Tionghoa, anak-anak timur memang memiliki perbedaan cukup mencolok. Misalnya dari warna kulit.
Lebih-lebih, persepsi miring tentang “timur”—khususnya Papua—juga sudah kadung mencuat. Misalnya anggapan bahwa orang Papua itu kasar.
Manto dan Bernarda tak ingin persepsi itu terus langgeng. Oleh karena itu, mereka punya misi agar alih-alih terpinggirkan, anak-anak timur justru harus bisa menjadi warna baru bagi Lasem.
Manto mengajari anak-anak timur di LKSA Marganingsih Lasem agar mengedepankan adab pada siapa pun. Ia juga mendorong agar anak-anak berprestasi di sekolah. Dengan begitu, anak-anak timur tidak akan dipandang sebelah mata.

Sementara Bernarda menekankan nilai-nilai cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan mengasihi orang lain, senantiasa berlaku baik pada sesama, dan menghormati orang lain, maka orang lain juga akan membalas dengan perbuatan serupa. Selain tentu saja mendapat cinta kasih dari Allah.
Begitu nilai dalam agama Katolik yang Bernarda tanamkan. “Oh betapa baiknya Allah yang Maha Baik,” begitu bunyi ajaran Kristus yang terpampang di salah satu dinding asrama putri.
“Dan sejak awal, jika tinggal di panti ini, kami tekankan bahwa kita sudah menjadi keluarga. Nggak ada beda lagi asal, suku, agama, itu sudah dihilangkan. Sehingga kepada siapa pun kita anggap saudara, harus bisa hidup bersama,” tambah Manto.
Ketika akhirnya anak-anak timur itu bisa diterima dan berbaur dengan ragam etnis yang lebih dulu mendiami Lasem, maka makin kaya lah warna dari kota kecil di pesisir pantura berjuluk “Kota Pusaka” itu.

Mandiri dan bertanggung jawab
Selain itu, Manto juga berupaya melatih agar anak-anak bisa hidup mandiri dan bertanggung jawab. Apalagi mereka berangkat dari latar belakang keluarga yang tak sempurna.
“Misalnya, kami bagi anak-anak untuk kelompok masak. Seminggu sekali anak-anak akan masak sendiri. Belanja sendiri. Nanti itu dimakan bersama-sama bareng suster dan pengasuh,” kata Manto.
“Mereka juga harus disiplin cuci baju, cuci seprei, bersih-bersih lingkungan,” sambungnya.
Bekal mandiri dan tanggung jawab itu diharapkan bisa membuat mereka siap menghadapi dunia dewasa setelah keluar dari LKSA.

Awalnya memang sebatas itu. Sampai akhirnya pada 2017 bantuan Bakti Sosial Djarum Foundation (BSDF) menyentuh LKSA Marganingsih Lasem.
Awalnya BSDF memberi bantuan renovasi bangunan. Lalu diikuti berbagai program pendampingan pengasuhan kepada pengasuh dan anak asuh untuk mempersiapkan anak-anak menjadi generasi tangguh dan berdaya saing di masa depan.
“Salah satunya kan mewadahi bakat anak. Lalu mengajari anak kalau punya cita-cita itu harus ada rencana terukur untuk meraihnya,” beber Manto.

Mimpi-mimpi luhur anak-anak timur
Anak-anak di LKSA Marganingsih Lasem punya bakat dan minat beragam. Misalnya Tiholis Gobai (putra) dan Gabriela Martasya Are (putri), dua anak asuh yang saya ajak berbincang sore itu.
Holis—panggilan Tiholis Gobai—berasal dari Papua. Remaja kelas 3 SMP itu masuk LKSA Marganingsih pada 7 Juli 2023. Sementara Tasya—panggilan Martasya Are—yang kini kelas 1 SMK berasal dari Flores dan masuk pada 10 Juli 2023. Keduanya punya latar belakang sama: Orang tua dengan keterbatasan ekonomi.
“Saya hobi main bola dan bercita-cita jadi pemain bola. Idola saya Rizky Ridho. Di sini saya didukung buat raih saya punya mimpi,” ujar Holis.

Di asrama putra memang tidak ada lapangan bola. Namun, Holis didukung penuh oleh pengasuh untuk ikut berlatih di SSB setempat. Sedangkan Tasya, meski punya hobi bernyanyi, tapi bercita-cita ingin menjadi seorang bidan.
“Kalau nyanyi saya ikut kegiatan gereja dan ekstrakulikuler di sekolah. Saya ingin jadi bidan nanti buat bantu perempuan-perempuan di flores. Untuk itu saya harus kuliah nanti, ambil jurusan kebidanan,” ucap Tasya.
“Untuk pengembangan bakat anak, berkat pelatihan dari Djarum Foundation, kami akhirnya sadar untuk benar-benar memfasilitasi anak-anak. Misalnya untuk teknologi seperti komputer, kami sediakan. Bahkan untuk anak-anak yang ambil jurusan multimedia, ya kami fasilitasi,” sambung Manto. “Prinsipnya, kalau itu menunjang bakat, minat, prestasi, dan masa depan mereka, kami harus fasilitasi.”
Manto, Bernarda, dan jajaran pengasuh juga mendorong anak-anak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Sebab, kuliah menjadi salah satu jalan untuk mengejar mimpi yang lebih tinggi.
Sudah ada beberapa anak LKSA Marganingsih Lasem yang melanjutkan kuliah di kampus-kampus besar. Seperti di Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Kebersamaan dan kehangatan
Pukul 16.00 WIB, saya mengikuti Manto ke asrama putra. Gelak tawa menyambut kala saya memasuki lorong masuk asrama putra. Ternyata anak-anak tengah mencuci baju bersama.
Saya ikut nimbrung di antara mereka. Saling bercanda, saling mencipratkan air sabun. Sementara anak-anak lain juga saling usil saat melipat seprei yang baru diangkat dari jemuran.
Setelah kegiatan mencuci selesai, kami lantas bermain di halaman tengah LKSA bersama seekor anjing berbulu hitam bernama Gropal. Mungkin karena sadar saya orang baru, ke mana kaki saya melangkah, anjing itu terus mengikuti.

Bahkan sampai saat saya duduk di ruang makan, Gropal memilih duduk di samping kaki saya. Kami menutup kegiatan bersih-bersih sore itu dengan makan bersama.
Seorang anak memimpin doa dengan cara Katolik. Saya berdoa dengan cara Islam. Doa-doa menyatu, lalu menu nasi, sayur sop, dan telur dadar sore itu kami lahap sampai tandas tak bersisa.

Setelahnya, sebenarnya saya berniat pamit pulang. Namun, Holis mengajak saya ikut bermain bola plastik bergawang batu di halaman LKSA. Oke, ajakan yang sulit saya tolak. Kami pun terlibat saling gocek, saling berbalas gol, sampai azan Magrib menyudahi permainan. Saya pulang dengan hati yang terasa hangat sekali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Darul Hadlonah Rembang, Tempat yang Selalu Bersih Tanpa Peringatan “Jagalah Kebersihan” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












