Bagi mahasiswa asal Jakarta yang kuliah di Kota Semarang, banjir tentu bukanlah barang baru. Di wilayah asal mereka, banjir sudah seperti makanan sehari-hari saat musim hujan tiba. Bagi Adi (20), salah satu mahasiswa UIN Walisongo Kota Semarang asal Jakarta, tinggal di daerah ini enggak ada bedanya dengan kota asalnya. Sama-sama penuh genangan.
***
Banjir besar melanda hampir sebagian besar wilayah Kota Semarang sejak Rabu (14/3/2024) kemarin. Berdasarkan pantauan di media sosial, air bah merendam sejumlah titik vital. Seperti kampus, sekolah-sekolah, pusat perbelanjaan, hingga stasiun yang bikin jadwal keberangkatan kereta api jadi kacau.
Namun, yang perlu diketahui, bencana tersebut sebenarnya bukan kali pertama menerjang kota lumpia. Tiap musim hujan tiba, banjir memang hampir selalu menerjang beberapa titik di Kota Semarang.
Hal itu pun cukup membuat salah satu mahasiswa Kota Semarang, Adi, merasa menyesal karena memilih kota ini sebagai tujuan kuliahnya. Bagaimana tidak, Adi yang berasal dari Jakarta sudah akrab dengan banjir. Alih-alih ingin “menghindarinya”, tetap saja ia ketemu banjir meski sudah pergi sejauh 400 kilometer dari kota asalnya.
“Kayaknya emang aku cocoknya kerja di air. Di mana-mana ketemu air,” kata Adi saat Mojok hubungi Kamis (14/3/2024) pagi.
Pertama ngekos di Kota Semarang langsung kena banjir
Pada bencana banjir yang terjadi baru-baru ini, untungnya Adi tak merasakan dampak yang begitu parah. Kendati selama hampir 10 jam hujan tanpa henti mengguyur kosnya di wilayah Jalan Prof. Hamka, Ngaliyan, genangan air masih dalam batas toleransi.
Hal ini tentu beda dengan yang ia alami dua tahun lalu, saat baru pertama sampai di Kota Semarang. Kala itu, Adi ngekos di sekitaran Jalan Wahyu Utomo. Lokasinya memang strategis, hanya sekitar lima menit berangkat ke kampus pakai sepeda motor.
Sebagian besar kenalannya dari FISIP, fakultas tempatnya berkuliah, juga ngekos di kawasan ini. Apalagi biaya sewa yang ditawarkan juga cukup murah, Rp350 ribu sebulan. “Kalau ke kota sewanya rada mahal,” katanya.
Sayangnya, bulan madu Adi dengan Kota Semarang tak bertahan lama. Ia ingat betul, memasuki bulan September 2022, tempat tinggalnya mulai sering diguyur hujan lebat. Puncaknya sekitar awal Oktober 2022, kosnya kebanjiran.
Tanggul DAS Baringin-Sihingas yang letaknya tak jauh dari kos Adi jebol. Air meluap ke segala arah, termasuk kosnya. Air setinggi 1 meter tak bisa ia hindari menggenang di kosnya.
Gara-gara banjir Kota Semarang, barang berharga raib
Adi ingat betul, saat banjir terjadi ia dan beberapa teman kelasnya sedang nongkrong di warung kopi. Sedang membahas beberapa agenda kuliah, yang sebagai mahasiswa baru, memang lagi sibuk-sibuknya.
Saat itu hujan lebat mengguyur Kota Semarang. Atas alasan itu pula, ia belum bisa pulang ke kosnya. Namun, yang di luar dugaannya, sekitar habis Maghrib pemilik kos mengabarinya kalau kosnya kebanjiran. “Bapak kos minta penghuni buat selamatin barang-barang,” ujar Adi.
Karena tidak sedang berada di kos, Adi coba minta bantuan ke penghuni lain. Sayangnya, saat itu tak ada yang mengangkat telepon. Adi pun semakin panik, sebab barang-barang berharga seperti laptop, komputer, dan sandangnya ada di kamar.
“Akhirnya hanya bisa pasrah aja. Udah pasti enggak bakal terselamatkan,” sambungnya.
Mengaku sudah “tabah” dengan banjir
Sekitar pukul 8 malam, saat hujan sudah reda, Adi pulang ke kosnya. Sepanjang perjalanan, ia menyaksikan banyak orang berbondong-bondong menyelematkan barang-barang berharga mereka.
Menyaksikan itu, Adi seperti sedang merasa berada di Jakarta, tempat asalnya yang kerap kebanjiran. “Pemandangan itu persis kayak yang aku alamin di Jakarta,” kenang mahasiswa Kota Semarang ini.
Sesampainya di kos, ia juga melihat beberapa temannya terlihat menangis karena barang-barang mereka juga tidak terselamatkan. Saat membuka kamar kos, seperti dugaannya, barang-barang pribadi seperti kasur, buku, dan baju, sudah tak karuan rupanya. Laptop dan komputer juga sudah wassalam.
Namun, meski boleh dibilang paling banyak kehilangan barang berharga, Adi terlihat yang paling tabah ketimbang teman-teman lainnya. Ia mengaku, perasaan “tabah” seolah sudah terpatri dalam kepalanya karena memang tiap musim hujan, banjir sudah seperti tamu saja.
“Di Jakarta dulu banjir udah kayak tamu, datang kapan aja,” kata Adi. “Aku juga memahami beberapa teman shock karena mungkin baru pertama kena banjir.”
Meski sudah pindah kos ke lokasi yang “sedikit lebih aman”, kemungkinan banjir tetap ada. Apalagi dengan kejadian baru-baru ini. Saat saya tanya, apakah ia menyesal pindah ke Kota Semarang, jawabannya lugas: “Oh, tentu nyesel. Pengennya hindarin banjir malah ketemu lagi, ketemu lagi.”
Namun, kata Adi, antara Jakarta dan Kota Semarang tetap ada perbedaan yang patut ia syukuri. “Meskipun sama-sama terik, sama-sama sering banjir, bedanya di Semarang makanan lebih murah aja, sih. Nah itu positifnya,” Adi menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mahasiswa UNNES Semarang Tetap Lulus Cumlaude Meski Kuliah Salah Jurusan dan Tak Paham Materi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.