Banjir, Macet, dan Desa Raksasa Bernama Jakarta - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Beranda Esai

Banjir, Macet, dan Desa Raksasa Bernama Jakarta

Hasanudin Abdurakhman oleh Hasanudin Abdurakhman
6 Januari 2020
0
A A
banjir jakarta desa kiriman banjir penyebab banjir jakarta mal minta ganti rugi ciputra netizen haris azhar jj rizal depolitisasi repolitisasi mojok.co

banjir jakarta desa kiriman banjir penyebab banjir jakarta mal minta ganti rugi ciputra netizen haris azhar jj rizal depolitisasi repolitisasi mojok.co

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Masalah kota-kota kita adalah masalah yang sangat dasar. Termasuk desa raksasa bernama Jakarta.

Macet dan banjir bukan masalah khas Jakarta saja. Itu masalah semua kota di Indonesia. Makin besar kotanya makin besar pula masalahnya. Masalah itu tumbuh bersama tumbuhnya kota. Ketika kota tumbuh menjadi raksasa, masalahnya juga jadi raksasa, dan nyaris mustahil dicarikan solusinya.

Masalah kota-kota kita adalah masalah yang sangat dasar, yaitu kota tidak disiapkan untuk jadi kota. Kalau diibaratkan sebagai orang tua yang mengasuh anak, kota-kota kita ibarat anak yang dibiarkan tumbuh besar tanpa dibekali keterampilan hidup yang memadai. Anak akan tumbuh jadi orang yang berbadan bongsor, tapi tidak sehat sekaligus tidak cerdas.

Kita bisa bayangkan sebuah desa yang dihuni oleh seratus orang. Desa itu tidak memerlukan sistem pengelolaan sampah. Orang-orang kampung boleh membuang sampah di pekarangan mereka. Mereka boleh menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Jalan kampung bisa sederhana saja, bahkan tidak memerlukan rambu-rambu lalu lintas. Setiap orang di kampung boleh punya kendaraan sendiri, dan 30-60 kendaraan milik orang kampung tidak akan membuat jalan kampung macet.

Namun ketika skalanya kita perbesar jadi 1000 atau 10 ribu kali, persoalan akan muncul. Pada kota berpenduduk 100 ribu atau 1 juta orang, banyak hal yang tadinya tidak diperlukan di kota berpenduduk 100 orang menjadi mutlak diperlukan.

Baca Juga:

Kepala BPID Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Ivanovich Agusta dan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kepatihan, Kamis (26/01/2023) menyampaikan tidak ada lagi desa tertinggal di DIY MOJOK.CO

Disebut Provinsi Termiskin, DIY Tak Punya Desa Tertinggal

27 Januari 2023
kecamatan di sleman mojok.co

5 Kecamatan Paling Sepi di Sleman yang Cocok untuk Pensiun

27 Januari 2023

Kota dengan 1 juta penduduk memerlukan sistem pengelolaan sampah sekaligus air limbah, penyediaan air bersih (tidak boleh setiap rumah menggali sumur), jalan-jalan kota yang sistematis, berikut rambu-rambunya, juga transportasi publik, karena jalan-jalan kota tak mungkin sanggup menampung kendaraan milik seluruh pendduduk kota.

Yang terjadi adalah kota-kota kita berubah dari desa menjadi kota, hanya dengan membesarkan diri, tapi tidak dilengkapi dengan berbagai sistem yang seharusnya ada pada kota. Jadinya persis seperti anak yang tahunya hanya makan tadi.

Ambil contoh soal transportasi. Kota dengan penduduk 100 ribu, mungkin tidak memerlukan sistem transportasi yang sangat massal. Angkutan kota dengan mobil-mobil kecil saja sudah cukup. Tapi ketika kota itu berkembang jadi kota berpenduduk 1 juta, sistem transportasi massal sudah harus dipikirkan.

Kota dengan penduduk 3 juta lebih sudah mutlak memerlukan sistem transportasi massal berupa kereta gerbong, dengan jaringan memadai. Tapi coba perhatikan, kota mana di seluruh Indonesia yang mempersiapkan sistem itu?

Jawabannya: tidak ada.

Yang terjadi di berbagai kota bukan pengembangan sistem transportasi publik, tapi justru sebaliknya, sistem transportasi publik menghilang.

Contohnya di kota asal saya, Pontianak. Di tahun 80-an kota ini dilayani oleh angkutan kota (oplet). Oplet mengantar penumpang ke berbagai titik di jalan raya kota. Dari situ penumpang harus berjalan kaki untuk mencapai rumah sendiri atau rumah yang mau di kunjungi, yang letaknya dalam gang-gang kecil yang tidak bisa dilewati oplet. Situasi ini dirasa tidak memuaskan.

Ada pilihan yang lebih baik: punya sepeda motor sendiri. Dengan sepeda motor orang lebih bebas, tidak tergantung trayek oplet, dan tidak perlu berjalan kaki.

Perlahan warga kota beralih ke sepeda motor. Pertumbuhan ekonomi membuat sepeda motor makin terjangkau. Orang berbondong-bondong membeli sepeda motor. Satu keluarga sampai punya 2-3 sepeda motor. Oplet menjadi tidak laku, lalu menghilang. Sekarang Pontianak nyaris tak punya angkutan umum.

Jakarta di tahun 80-an sudah mulai macet, tapi urusan transportasi masih bisa diatasi dengan bus. Mirip dengan cerita Pontianak tadi, berbagai perkembangan membuat orang mulai beralih jadi punya mobil sendiri.

Jumlah mobil meningkat pesat, jauh melebihi pertumbuhan luas permukaan jalan. Kemacetan makin menggila. Orang jadi makin malas naik bus, lalu jumlah sepeda motor pun meledak.

Semua kota (termasuk Jakarta), dalam semua aspek, tumbuh tanpa perencanaan, tanpa antisipasi. Pemimpin baru memikirkan solusi ketika masalah sudah besar. Mereka terkejut seperti orang tersundut rokok. Itu pun sekadar memikirkan saja.

Laju pertumbuhan masalah jauh di atas kemampuan mereka menyelesaikannya. Akibatnya, upaya yang diambil untuk menyelesaikan masalah tidak pernah mampu menyelesaikan.

Ada perencanaan, tapi sering ditabrak sesuka hati, karena pemerintahan yang korup. Kawasan Senayan, misalnya, tadinya dirancang sebagai wilayah untuk ruang terbuka. Tapi di tangan pemerintahan yang korup kawasan ini beralih fungsi menjadi kawasan perbelanjaan, hotel, dan pemukiman mewah.

Berbagai kawasan hutan lindung yang seharusnya menjadi tempat-tempat resapan air di Bogor berubah fungsi menjadi villa-villa. Tak ada yang bisa mencegah atau melarang orang membuat villa di situ, karena pemiliknya berkuasa atau punya uang.

Hukum buatan manusia untuk mengatur diri agar kota tumbuh menjadi tempat yang layak tinggal, dilanggar sendiri. Pelanggar dan penguasa yang membiarkannya ibarat orang yang membiarkan seseorang membuat lubang di lambung kapal yang sedang mereka tumpangi.

Kota-kota kita tumbuh dengan pengelolaan seadanya. Pengelolaan dilakukan dengan mengabaikan akal sehat. Malas berpkir, ingin cari jalan pintas, mau enak sendiri, mendominasi sistem sosial kita. Kota-kota kita tumbuh jadi kota-kota yang tidak masuk akal.

Kota besar tanpa sistem transportasi massal, sistem pengelolaan limbah, pengelolaan air bersih, dan sebagainya, adalah kota yang tidak masuk akal. Ini kota yang tidak dikelola dengan akal.

Semua kota dikelola dengan cara itu. Negara ini dikelola dengan cara itu. Negara ini dikelola tanpa memakai akal. Negara ini punya cerdik cendekia, tapi ilmu mereka tak cukup untuk membuat negara ini dikelola dengan akal.

Jadi kalau setiap hari setiap kota bergelut dengan kemacetan, itu hanya konsekuensi logis dari tindakan tidak pakai akal tadi. Kalau setiap tahun kota-kota kebanjiran, itu pun sebuah konsekuensi logis saja.

Warga kota secara kolektif memang hidup dengan cara-cara yang mengancam diri mereka sendiri. Kota-kota tumbuh menjadi desa raksasa yang kumuh, jorok, padat, semrawut, dan berbahaya.

Ya, akui saja. Kita sebenarnya tidak punya kota. Kita hanya punya desa-desa raksasa.

Dan kebetulan saja salah satunya adalah Jakarta.

BACA JUGA KETIKA KOTA MAKIN KAYA, DESA MAKIN MISKIN atau tulisan HASANUDIN ABDURAKHMAN lainnya.

Terakhir diperbarui pada 6 Januari 2020 oleh

Tags: Desajakartakota
Hasanudin Abdurakhman

Hasanudin Abdurakhman

Artikel Terkait

Kepala BPID Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Ivanovich Agusta dan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kepatihan, Kamis (26/01/2023) menyampaikan tidak ada lagi desa tertinggal di DIY MOJOK.CO
Kilas

Disebut Provinsi Termiskin, DIY Tak Punya Desa Tertinggal

27 Januari 2023
kecamatan di sleman mojok.co
Kilas

5 Kecamatan Paling Sepi di Sleman yang Cocok untuk Pensiun

27 Januari 2023
perangkat desa di diy mojok.co
Politik

Ribuan Perangkat Desa Geruduk DPRD DIY, Tolak Disamakan dengan Kades

26 Januari 2023
gaji kepala desa mojok.co
Kilas

Bocoran Gaji Kepala Desa yang Mungkin Kamu Belum Tahu

26 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Anies Baswedan Disebut Relawan 212 ‘Gubernur Rasa Presiden’, Golkar: Lebay

Anies Baswedan Disebut Relawan 212 ‘Gubernur Rasa Presiden’, Golkar: Lebay

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

banjir jakarta desa kiriman banjir penyebab banjir jakarta mal minta ganti rugi ciputra netizen haris azhar jj rizal depolitisasi repolitisasi mojok.co

Banjir, Macet, dan Desa Raksasa Bernama Jakarta

6 Januari 2020
PO Haryanto Bikin Perjalanan Cikarang Jogja Jadi Menyenangkan MOJOK.CO

PO Haryanto Sultan Bantul Bikin Perjalanan Cikarang-Jogja Jadi Sangat Menyenangkan

27 Januari 2023
Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak yang Dihujat Warganet - MOJOK.CO

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak Surabaya yang Dihujat Warganet

24 Januari 2023
Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja MOJOK.CO

Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja

29 Januari 2023
bisnis raffi ahmad mojok.co

Nama-nama Penting di Balik Gurita Bisnis Raffi Ahmad

30 Januari 2023
warung madura mojok.co

Tiga Barang Paling Laris di Warung Madura Menurut Penjualnya

27 Januari 2023

Terbaru

penculikan anak mojok.co

Pakar Sebut Teror Politik, Sultan Minta Isu Penculikan Tak Dibesar-besarkan

3 Februari 2023
pesantren waria

Mengenang Sosok Shinta Ratri, Satu-satunya Pemimpin Pesantren Transpuan di Dunia

3 Februari 2023
Lahan Sengketa di Tanah Istimewa

Lahan Sengketa di Tanah Istimewa

3 Februari 2023
Erick Thohir Diasuh Glory Hunter Pange dan Tsamara Amany MOJOK.CO

Mempertanyakan Mesin B.E.D.A Erick Thohir Asuhan Pange dan Tsamara Amany yang Nggak Ada Bedanya

3 Februari 2023
kader PSI

Dara Nasution, Mantan Kader PSI Berlabuh ke Golkar?

2 Februari 2023
Aura Mencekam di Air Terjun Sakral MOJOK.CO

Aura Mencekam di Air Terjun: Seri Horor di Rumah Simbah (Bagian 3)

2 Februari 2023
menikah beda agama MOJOK.CO

MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama, Pupus Harapan Banyak Pasangan

2 Februari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Podium
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In