Masalah sampah di Jogja tak beres-beres adalah karena masyarakat Jogja sendiri tak kunjung memiliki kesadaran tentang pengelolaan sampah. Kurang lebih begitulah kata pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja.
***
Selain UMR rendah, satu masalah yang tak bisa lepas dari Jogja adalah sampah. Di media sosial, banyak video bertebaran yang memperlihatkan plastik-plastik sampah yang berserakan di jalanan. Bahkan baru-baru ini beredar video yang menunjukkan aktivitas membuang sampah masyarakat Jogja yang sudah di tahap memprihatinkan.
Mojok sendiri juga beberapa kali meliput perihal betapa daruratnya sampah di Jogja. Misalnya, Hammam Izzuddin, yang sempat menyisir Ringroad Jogja dan mendapati beberapa titik yang menjadi tempat pembuangan sampah illegal.
Lihat postingan ini di Instagram
Saya pun sempat berbincang dengan salah satu aktivis lingkungan di Jogja, Ardha Kesuma (32) pada Jumat (24/05/2025).
Perempuan asal Parangkusumo, Bantul, tersebut sehari-hari harus berhadapan dengan sampah-sampah pariwisata. Itulah kenapa ia sampai membuat gerakan kecil untuk mengedukasi masyarakat setempat perihal pengolahan sampah.
Namun, ia masih menyayangkan respons pemangku kebijakan yang tak memberi solusi konkret untuk mengatasi darurat sampah di Jogja. Padahal baginya, sampah bukan hanya persoalan bau dan merusak pemandangan belaka. Melainkan lebih dari itu, sampah menjadi salah satu variabel yang bisa merusak atmosfer.
“Sayangnya, isu tersebut tidak memperoleh ruang di depan para pemangku kebijakan. Mereka yang memengang peran kunci malah lebih senang bergerak seperti gerakan masyarakat sipil. Seperti membawa tumbler, bersih pantai, atau menanam pohon,” keluh Ardha Kesuma.
“Padahal yang dibutuhkan, mereka mengambil langkah yang berpengaruh besar. Menangkap mafia sampah, implementasi kebijakan publik agar masyarakat mudah mengelola sampah,” sambung perempuan berkacamata itu.
Selain itu, Ardha Kesuma juga berharap agar pemangku kebijakan mengeluarkan regulasi untuk menghentikan aktivitas industri yang merusak alam sekaligus memastikan setiap indistri digerakkan dengan ramah terhadap alam.
Masyarakat Jogja belum optimalkan fasilitas
Sementara di lain sisi, Prof. Chandra Wahyu Purnomo selaku dosen Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM menyebut bahwa masyarakat Jogja sendiri sebenarnya belum optimal dalam memanfaatkan fasilitas yang sudah disediakan pemerintah, misalnya TPS3R dan Bank Sampah.
Hal tersebut, kata Chandra, terbukti dengan 90 persen sampah di Jogja yang masih terbuang di TPA.
“Dari 30 TPS3R yang ada di Sleman yang semuanya dibangun oleh Kementerian PUPR, hanya 10 saja yang beroperasi, sisanya mangkrak,” ujar Chandra dalam sesi Sekolah Wartawan yang berlangsung di Ruang Fortakgama UGM, Rabu (25/05/2024).
“Bayangkan kalau semua TPS3R di Sleman, Kota Jogja, dan Bantul diaktifkan, pastinya akan berdampak pada semakin cepatnya proses pemilahan sampah,” kata pria yang juga merupakan koordinator Indonesia Solid Waste Forum (ISWF) tersebut.
Kesadaran masyarakat Jogja soal sampah masih kurang
Pada 2021 lalu, Chandra melakukan riset independent terkait kondisi sampah di Kota Jogja. Dari riset itu, ia mencatat bahwa volume sampah di Jogja mencapai 300 ton per hari. Angka tersebut, kata Chandara, ia duga bahkan terus meningkat hingga tahun 2024 ini.
“Statusnya sudah darurat, tapi masyarakat belum juga tumbuh kesadaran untuk minimal memilah sampah,” kata Chandara
“Jadinya malah muncul masalah baru seperti tiba-tiba ada titik baru yang dijadikan tempat pembuangan sampah ilegal,” tambah dosen UGM itu.
Lebih lanjut, ia menyebut pada dasarnya peraturan terkait sampah sudah cukup banyak. Mulai dari Undang-Undang hingga Peraturan Daerah (Perda). Hanya saja, dalam hal sistem pengolahan sampah, Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Karena sejauh ini masih bertumpu dengan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dalam konteks Jogja tidak lain tidak bukan ya TPA Piyungan.
Atas hal tersebut, Chandara tak luput menyoroti kesadaran masyarakat yang masih belum terbentuk. Padahal, dalam persoalan sampah ini, posisi masyarakat adalah sebagai hulu.
“Harusnya sampah sudah terpilah di hulu, mulai dari rumah tangga, kantor, pabrik atau industri, dan kampus. Karena di hulu saja sudah tercampur, proses pengolahannya akan menjadi berat,” beber Chandra.
Chandra berharap partisipasi publik untuk mengelola sampahnya sendiri setidaknya mencapai 30 persen. Sedangkan 70 persen sisanya ditangani oleh fasilitas-fasilitas yang ada di pemerintahan.
Masyarakat Jogja harus diedukasi soal sampah
Karena persoalannya ada di hulu, menurut Chandra akan lebih baik jika persoalan sampah di level hulu jadi prioritas untuk diperbaiki lebih dulu.
“Kita harus terus mengedukasi masyarakat agar memiliki komitmen untuk memilah sampah. Kalau perlu ada sanksi sosial seperti di negara maju,” saran Chandra.
Tidak kalah penting, setelah pemilahan, adalah penjadwalan pengumpulan dan pengangkutan dari sumber langsung ke unit pengolahan seperti TPS3R dan TPST. Penjadwalan tersebut harus terinci dan sistematis agar tidak terjadi konflik kepentingan di dalamnya.
“Pengelolaan sampah mandiri (PSM) juga harus diatur oleh Pemda/Pemdes sehingga bisa menghindari perselisihan dengan Bumdes, yang memang sekarang ada yang ditugaskan untuk mengelola sampah juga,” pesannya.
Kemudian, lanjut Chandra, agaknya patut memperhitungkan juga teknologi pengelolaan sampah berbasis Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai solusi untuk menghasilkan bahan bakar yang bisa digunakan untuk meminimalkan pengiriman sampah ke luar Jogja.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
kuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News