Dulu, bayangan orang ketika kuliah di kampus—yang masuk kategori terbaik di Indonesia—adalah sederet atribut prestisius. Puncaknya, tak punya kekhawatiran susah cari kerja usai lulus. Sebab, nama besar universitas (dulu) kerap menjadi pertimbangan HRD dalam menerima seseorang sebagai pekerja. Namun, in this economy, lulusan Unair, UGM, bahkan UI sekalipun ternyata tidak menjamin apapun. Sarjana kini bahkan seperti tak ada harganya di hadapan lapangan kerja. Alhasil, sekali dapat pekerjaan, job hugging jadi pilihan yang diambil.
Lulusan kampus terbaik Indonesia (Unair): merasa gagah padahal payah
Puluhan lamaran kerja langsung Dani (23) sebar usai lulus S1 dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Tentu ada perasaan optimis setiap mengirim lamaran-lamaran tersebut melalui surel.
Batinnya, HRD mana, sih, yang tidak tahu nama besar “Unair”. Apalagi, kampus ini kerap masuk dalam jajaran kampus terbaik di Indonesia. Dani sendiri merasa gagah menyandang atribut sebagai sarjana Unair.
Tahun 2025 ini saja, Unair berada di urutan ketiga kampus terbaik Indonesia versi Webometrisc dan Uniraank, di bawah UI dan UGM. Sementara berdasarkan QS World University Rankings (WUR), berada di urutan keempat di bawah UI, UGM, dan ITB.
Namun, nyatanya puluhan lamaran kerja tersebut tidak ada yang tembus. Itu membuat Dani merasa nyaris putus asa.
“Sebenarnya ada satu yang akhirnya tembus. Kerja di sebuah perusahaan swasta di Jogja (pada 2024). Tapi baru tiga bulan, kontrakku nggak diperpanjang,” ujarnya berbagi cerita, belum lama ini.
“Aku tarik perasaan gagah sebagai sarjana Unair tadi. Karena kenyataannya aku payah sekali di dunia kerja,” sambungnya dengan tawa terkekeh.
Sarjana Unair jadi pengamen
Tak mudah bagi Dani untuk mendapat pekerjaan lagi. Dia terpaksa harus luntang-lantung di Jogja dulu. Dia jelas tak berani pulang ke Surabaya. Malu dengan teman dan keluarga kalau tahu baru tiga bulan kerja malah sudah kena “PHK”.
Di tengah upaya mencari pekerjaan lagi itu, uang sisa gaji bulan ketiga Dani sebelumnya kian menipis. Karena pulang ke Surabaya bukan pilihan, dia memutuskan untuk menjadi pengamen.
“Ada nelangsanya lah. Lulusan salah satu kampus terbaik ini, Cak, masa cuma jadi pengamen,” ujar Dani.
Tapi tidak ada waktu untuk tenggelam dalam gengsi. Saat itu, yang penting ada pemasukan harian aja buat makan. Sebelum akhirnya awal tahun lalu Dani mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak di Jogja.
Baca halaman selanjutnya…
Lulusan kampus terbaik (UI) tetap kalah sama orang dalam
Jika sarjana Unair saja sudah bisa merasa “segagah” itu, apalagi dengan lulusan Universitas Indonesia (UI).
Di semester akhir kuliahnya di UI kala itu, Salma (26) mengaku tidak memiliki kekhawatiran sama sekali: lulus kerja di mana. Pikirannya mirip dengan Dani: HRD mana yang hatinya tak langsung tercuri saat melihat nama “UI”?
Akan tetapi, in this economy, label sarjana UI ternyata tak bergengsi-bergengsi amat. Dunia kerja begitu kompleks. Selain adu almamater dan kompetensi, masih ada kemungkinan berhadapan dengan kekutan uang dan orang dalam. “Realita itu kejam kawan,” begitu seloroh salma.
“Aku ingat, kayaknya di lamaran yang ketiga kalau nggak keempat, aku lolos tahap interview di Jakarta. Ada tiga orang—termasuk aku—yang waktu antre masuk ruang HRD. Tapi tiba-tiba ada satu orang yang nggak perlu antre langsung dipanggil,” ungkap Salma.
Lalu Salma mendengar bisik-bisik bahwa perempuan yang “nyelonong” masuk ruang HRD tadi masih punya hubungan kerabat dengan salah satu staf senior perusahaan. Ya sudah tamat lah Salma dan dua pelamar lain.
“Waktu interview rasanya ya sudah formalitas aja. Aku pun udah yakin nggak bakal lolos,” ujar Salma. Dan memang begitulah akhirnya: tak diterima.
Sarjana UI butuh 3 tahun “terlunta-lunta” untuk kerja layak
Setelah kejadian itu, orientasi Salma pun berubah. Tak mengincar pekerjaan sesuai passion dan potensi gaji. Pokoknya yang penting bisa kerja.
Salma pernah menjadi tenaga pendidik honorer dengan gaji Rp450 ribu perbulan. Profesi itu dia geluti selama satu tahun. Dia lalu pernah menjadi admin di sebuah toko furnitur bergaji Rp2,5 juta (jauh di bawah UMR Jakarta) selama dua tahun.
“Pas aku jadi guru honorer, itu menjadi titik paling putus asaku. Aku bahkan sampai kepikiran, apa nikah aja ya biar aku nggak ngoyo-ngoyo kerja. Kan ditanggung suami,” selorohnya.
Apalagi Salma menanggung beban ekspektasi keluarga dan lingkungan: sarjana UI harusnya punya karier sukses, dong. Masa Cuma berakhir terlunta-lunta seperti itu?
Namun, sejak penghujung 2024 lalu, melalui bantuan sang pacar, Salma akhirnya mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Habiskan S1-S2 di UGM tetap tak lolos CPNS
Nasib seorang lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja, juga tak lebih beruntung.
Riko (27) memang punya beban ekspektasi dari orangtua agar dia menjadi PNS. Itulah kenapa, oleh orangtuanya yang sudah berstatus PNS, Riko didorong untuk kuliah di UGM.
“Dulu kan masih ada mindset seperti itu: Semakin bagus kampusnya, semakin besar peluang lolos CPNS,” ujar Riko.
Lulus S1 dari UGM, Riko sengaja tidak langsung mencari pekerjaan. Tujuan utamanya adalah CPNS. Dia ikut seleksi, tapi gagal lolos.
Orangtua Riko lalu beranggapan bahwa seperti Riko perlu memperbesar peluang lagi. Solusinya: lanjut S2, juga di UGM. Toh orangtua Riko menyanggupi akan membiayai secara penuh. Asalkan Riko fokus kuliah.
Hasilnya, ternyata sama saja. Pada 2024 lalu Riko mengikuti CPNS lagi. Tapi masih belum beruntung lagi. Hingga kini dia masih belum mencari pekerjaan lagi, karena menyiapkan diri untuk daftar CPNS periode berikutnya.
“Aku sih buka bimbingan ya, online dan offline. Buat siswa-siswa SMA persiapan ke perguruan tinggi,” ujar Riko.
Job hugging dan ketidaksiapan menanggung malu (kesekian kali)
Para lulusan kampus terbaik di Indonesia itu pada akhirnya memang menemukan pekerjaan layak. Pekerjaan itu rasa-rasanya tak ingin mereka lepas dalam kondisi apapun—orang-orang sekarang menyebutnya “job hugging”.
“Misalnya aku, di kantorku itu dibilang banyak orang toxic ya banyak. Bikin nggak betah. Tapi nggak mungkin aku nekat karena data BPS menyebut ada 1 juta sekian sarjana yang menjadi pengangguran, saking susahnya mencari kerja in this economy,” beber Dani.
Begitu juga dengan Salma. Dia merasa sudah cukup menanggung malu semasa masih kesulitan mencari kerja. (Masa lulusan kampus terbaik di Indonesia masih susah cari kerja?).
Sehingga, ketika sekarang akhirnya bisa bekerja layak, dia tak akan serta-merta memilih resign kendati hatinya meronta tak betah di kantornya sekarang. Alias memilih job hugging.
Sementara Riko masih bertanya-tanya: situasi serbasulit yang dialami oleh para sarjana ini sebenarnya salah siapa? Apakah salah kampus, si mahasiswa, atau negara saja yang memang tak bisa menyediakan lapangan kerja (Karena 19 juta lapangan kerja nyatanya ilusi belaka)?
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Penyesalan Tak Pernah Magang: Lulus Jadi Fresh Graduate “Kosongan”, Kelabakan Puluhan Kali Ditolak Kerja hingga 2 Tahun Jadi Pengangguran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
