Di balik keramaian wisata Jogja hingga permasalahan UMR rendahnya, ada kisah wisatawan hingga musafir yang mengalami kehabisan uang hingga terdesak tak mampu makan. Seorang pelukis, lebih dari setahun belakangan membuka rumahnya untuk menyelamatkan mereka.
***
Tepat sehabis isya, saat jalanan Jogja masih basah sehabis hujan, saya tiba di sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas di daerah Ngabean, Nogotirto, Gamping, Sleman. Beberapa hari terakhir, rumah ini selalu kedatangan tamu yang bermalam.
Tidak seperti tamu pada umumnya yang dikenal oleh tuan rumah, mereka datang dengan maksud meminta bantuan sementara untuk tinggal dan makan. Pada Selasa (16/1/2024) lalu misalnya, jam 10 malam ada seorang lelaki yang mengontak sang pemilik rumah.
Lelaki itu mengaku seorang musafir yang berangkat dari Semarang dengan tujuan Bogor. Namun, malam itu ia bernasib apes, mengaku tak punya cukup uang untuk menyewa tempat untuk beristirahat. Saat itu ia berada di dekat Stadion Kridosono bersama istrinya.
“Saya lagi butuh tempat istirahat tapi kehabisan ongkos,” kata lelaki itu lewat chat.
Pemilik rumah kemudian mempersilakan lelaki itu untuk datang. Lantaran tak membawa kendaraan dan mengaku kehabisan ongkos, akhirnya pemilik rumah memesankan ojek online untuk mereka.
Sepasang suami istri yang kebingungan di Jogja itu pun terselamatkan. Bisa makan dan bermalam sebelum meneruskan perjalanan keesokan siangnya dengan sedikit bantuan dari pemilik rumah.
“Mereka cerita kalau dompetnya hilang di jalan. Entah bagaimana, saya nggak perlu tahu detailnya yang jelas mereka butuh bantuan,” kata Miftah Rizaq (36), sang pemilik rumah yang ia beri nama Miftah Rizaq Art Studio.
“Tadi sore baru saja ada yang pulang setelah nginap dua malam di sini. Mas-mas, orang Jogja, tapi mungkin sedang ada satu dan dua hal yang membuatnya nggak bisa pulang ke rumah,” imbuh lelaki kelahiran Kudus ini saat saya jumpai pada Jumat (19/1).
Dari mahasiswa, musafir, hingga wisatawan di Jogja yang terselamatkan
Miftah bercerita lelaki itu seharian duduk di teras seperti sedang ingin menyendiri sebelum pergi. Padahal pagi hingga sore tadi hujan turun deras.
Beberapa saat setelah kami duduk nyaman sambil merokok, tiba-tiba Miftah bercerita kalau pernah ada wartawan yang mewawancarainya di rumah sebelumnya. Namun, ia mengaku agak sedikit kesal.
“Soalnya dia nggak mau diajak makan,” tuturnya.
“Tapi setelah pulang dia kirim pesan, bilang makasih dan minta maaf karena nggak makan. Alasannya puasa,” sambungnya tertawa.
Mendengar cerita itu saya langsung menyiapkan diri. Artinya malam itu harus makan dua kali lantaran sebelum kemari sempat mampir angkringan untuk mengganjal lapar.
Tak berselang lama, Dina Setiyawati (37), istri Miftah datang dari luar membawa plastik berisi makanan dan minuman. Setelah masuk ke dapur untuk mempersiapkan, ia langsung menyuguhi kami dengan kopi dan roti.
Mereka lantas bercerita, awal mula membuka diri dan rumah yang masih mengontrak ini untuk mereka yang butuh tempat singgah dan logistik pengganjal perut. Hal itu bermula pada Agustus 2022 silam, suatu hari mereka sedang makan sederhana dengan nasi dan telur saat ada unggahan di Facebook tentang seseorang yang hendak menggadaikan KTP demi makanan.
“Saya jadi mikir, kami bersyukur masih bisa makan begini. Akhirnya saya coba koontak orang itu suruh datang kesini atau kami antarkan makan buatnya,” kenang Miftah.
Spontan saja, setelah itu Miftah mencoba mencuit di Twitter mengumumkan bahwa siapa saja, wisatawan hingga mahasiswa, yang terdesak butuh makanan bisa datang ke studio miliknya. Miftah dan Dina akan mempersiapkan makan sebagaimana mereka biasa menjamu teman atau tamu.
Menunya tidak macam-macam, pokoknya sesuai denga napa yang biasa keluarga kecil ini konsumsi. Kadang ayam, telur, nasi goreng, hingga mi instan. “Pokoknya makan bareng,” cetus lelaki berbadan gempal dengan tato di sekujur tubuhnya ini.
Awalnya banyak mahasiswa, beralih ke musafir dan wisatawan
Sejak ia membuat utas di akun Twitternya, perlahan ada banyak orang yang datang. Awalnya lebih banyak mahasiswa yang sedang berhemat karena uang saku mau habis sampai yang benar-benar sudah kelaparan. Jumlahnya memang tidak fantastis, namun saat itu hampir setiap hari ada yang mampir.
Miftah masih ingat betul, pernah ada seorang anak muda yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Ia sempat mengira bahwa itu adalah salah satu pengunjung pameran yang kebetulan hari itu sedang ia buat.
“Tapi, kayanya aneh kalau ada yang datang sebelum waktu buka,” katanya.
Akhirnya, ia mengajaknya duduk di depan, sebelum beranjak ke topik-topik mendalam ia hanya melempar pertanyaan, ”Masnya merokok?”
Ternyata, ia memang perokok, sehingga situasi mulai cair. Anak muda itu ternyata mengaku sedang benar-benar kehabisan uang dan belum makan. Akhirnya, Miftah pun mengajak bersantap dengan menu yang ada di rumah.
Setelah perut terisi, Miftah mempersilakannya istirahat di kamar yang memang ia sediakan untuk tamu. Saat hendak pulang, pelukis ini sedikit memberikan sangu meski anak muda itu bilang “aman” saat ditanya soal uang untuk makan esok hari.
“Pokoknya yang datang ke sini tanpa mengabari dulu seperti masnya itu, biasanya benar-benar terdesak, karena kuota pun mereka nggak punya. Sudah pernah baca info tentang lokasi ini jauh-jauh hari,” kata Miftah.
Miftah mengatakan, belakangan ada perubahan tren orang yang datang. Jika dulu kebanyakan merupakan kalangan mahasiswa, maka saat ini lebih banyak musafir atau wisatawan Jogja. Ada pemotor yang kehabisan ongkos hingga pasutri yang butuh tempat beristirahat.
Mereka yang datang tidak melulu soal urusan perut. Lebih dari itu, banyak yang butuh teman untuk berbagi keresahan dan masalah hidup. Jika Dina harus menyiapkan logistik di dapur, maka Miftah harus menyediakan waktu dan energi lebih untuk jadi pendengar yang baik.
“Asal mereka benar-benar memang ingin cerita. Jika nggak, kami tidak mau menggali-gali, malah jadi tidak nyaman,” ungkapnya.
Baca halaman selanjutnya…
Dua kali serangan jantung yang mendorong untuk hidup bermanfaat bagi sesama