Warung Jamu Ginggang Pakualaman sudah melegenda di Jogja. Eksis sejak 1920-an, pengelolanya kini merupakan generasi kelima. Dulu, para pembeli di warung ini kebanyakan adalah orang tua. Namun, sekarang wajah-wajah anak muda jauh lebih mendominasi.
***
Aroma khas empon-empon langsung tercium ketika saya masuk ke warung Jamu Ginggang Pakualaman, Kota Jogja, pada Kamis (6/6/2024) siang. Semerbak tersebut, rupanya berasal rempah kering yang dipajang di ruangan, bersebelahan langsung dengan kursi para pembeli.
Ciri khas warung yang menjual ramuan tradisional, pikir saya.
Ketika tiba, saya menjadi satu-satunya pengunjung. Beberapa bapak-bapak berseragam PNS dan sekelompok anak muda baru saja meninggalkan tempat duduk mereka tak lama setelah saya datang.
Saya pun langsung menyambar daftar menu yang terletak di masing-masing meja. Ada puluhan menu yang bisa dipesan. Sejenak, saya terdiam karena bingung menentukan pesanan. Jujur, Ginggangadalah warung jamu pertama yang saya kunjungi, seumur hidup.
“Kalau anak-anak muda, biasanya pesan yang manis, Mas. Ada beras kencur. Bisa ditambah campuran madu, telur, bisa juga pakai anggur,” kata seorang perempuan tua, seolah mengerti kebingungan saya.
Ida (60), nama perempuan tersebut, rupanya adalah sang peracik jamu di Ginggang Pakualaman. Puluhan tahun meracik ramuan herbal di tempat tersebut, Ida tahu betul karakter, keluhan, dan jamu seperti apa yang dibutuhkan para pembeli mereka.
Karena tak ingin lama berpikir, saya pun memesan minuman sesuai rekomendasi Ida. Segelas es beras kencur, lengkap dengan campuran madu, anggur merah, dan telur.
Warung Jamu Ginggang yang masih tradisionalitas
Dirintis sejak 1920-an oleh seorang tabib Kraton Jogja, nuansa jadul warung jamu Ginggang masih dipertahankan hingga sekarang. Ida mengatakan, sejak 1950-an, bentuk ruangan bahkan belum mengalami perubahan signifikan. Pengelola hanya mempermak beberapa bagian yang terlihat kusam, seperti cat dinding.
Sementara untuk alat dan cara pembuatan jamu, semuanya masih dilakukan secara tradisional. Lumpang batu, misalnya, masih mereka gunakan untuk menumbuk rempah-rempah. Begitu pula alat cuci dari batu tetap dipertahankan buat mencuci rempah yang baru datang. Entah benar atau tidak, konon, khasiat ramuan bisa lebih terasa kalau cara mengolahnya masih dengan cara kuno.
Di warung ini, rupanya Ida tak benar-benar meracik semua pesanan secara real time. Di dapur, berbagai jenis jamu sudah dibikin dan dipisahkan di wadah berdasarkan jenisnya.
Misalnya, ia sudah dibedakan mana beras kencur, kunir asem, galian, paitan, sampai serbuk rahasia dan angin alias mentol yang juga dibikin dari bahan herbal. Semua jamu tersebut dibikin tanpa pengawet, pemanis buatan, dan hanya mengambil bahan rempah berkualitas dari Pasar Beringharjo.
“Saat ada pesanan, kita tinggal racik sesuai permintaan,” ujar Ida. “Ini pesanan masnya, saya ambil beras kencurnya. Tinggal ditambahin telur, madu, sama anggur,” sambungnya, sambil meracik jamu pesanan saya.
Oleh karena itu, pesanan saya pun siap secara kilat. Kurang dari lima menit, beras kencur lengkap dengan madu, anggur, dan telur, sudah siap di meja saja.
Tak lama setelah pesanan saya tiba, situasi warung menjadi ramai. Banyak muda-mudi datang. Kata Ida, di antara mereka yang memang langganan tetap. Tapi ada juga wajah-wajah anyar yang baru ia lihat.
Ketagihan jamu karena susah minum obat
Dahulu, jamu memang lekat dengan stigma minumannya kaum sepuh. Namun, berkaca dari para pembeli warung jamu Ginggang, nyatanya banyak anak muda yang mulai menggemari ramuan herbal ini.
Salah satunya Oni (24), mahasiswa UAD yang sudah sejak SMP mulai menggandrungi jamu. Mahasiswa asal Jogja ini mengaku, ia memang susah minum obat. Padahal, semua metode sudah dicoba: digerus, pakai pisang, campur roti, dan sejenisnya.
“Tapi ya balik-balik lagi. Susah ketelen, pasti aku muntahin,” kata Oni, Kamis (6/6/2024).
Karena kesulitan itu, sejak SMP ia rutin mengganti obat dengan jamu. Awalnya memang jamu yang “manis-manis”, tapi lama-lama lidahnya mulai terbiasa dengan paitan alias jamu yang pahit.
“Mungkin sugesti, sih. Tapi jujur tiap sakit terus minum jamu, pasti langsung seger. Tubuh juga kerasa lebih fit juga, apalagi buat mahasiswa semester akhir yang sering begadang gini,” lanjutnya sambil tertawa.
Oni termasuk rutin minum jamu di Ginggang, paling tidak dua sampai tiga kali seminggu. Bahkan, kelakarnya, ia lebih sering njamu ketimbang ngopi di coffee shop.
Oni juga mengaku, awalnya dia kerap datang sendiri ke warung Jamu Ginggang. Namun, belakangan teman-teman kuliahnya juga mulai doyan minum jamu seperti dirinya.
Ramai anak muda sejak pandemi Covid-19
Rudi Supriyadi (60), sang pemilik warung Jamu Ginggang, menyebut sejak meneruskan usaha tersebut sejak 1950-an, pelanggannya kebanyakan orang tua. Kalaupun ada anak muda, bisa dihitung jari.
Namun, semua berubah ketika pandemi Covid-19. Sejak saat itu, entah bagaimana awalnya, mulai banyak anak muda yang datang ke warungnya.
“Tiap saya tanya, katanya biar kondisi bugar. Biar imun kuat dari virus gitu,” ungkap Rudi.
Hal itu kemudian berlanjut sampai sekarang. Para pembeli baru tadi, kini malah menjadi pelanggan setianya. Rudi juga menyebut, sekarang kalau dihitung, rata-rata pelanggannya adalah anak muda.
“Mungkin 60 persen itu anak muda. Kelihatan saja dalam sehari yang kelihatan beli itu anak-anak mahasiswa, bukan orang sepuh lagi,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News