Fatherless ada karena struktur kerja yang maskulin
Alih-alih disambut baik, kebijakan ini justru menuai kritik. Beragam komentar muncul karena adanya gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah. Beberapa dari mereka tak sepakat karena tak semua ayah bisa bekerja dan tinggal serumah dengan anak mereka.
Prayogi salah satunya. Ia berujar kewajiban mengantar anak ke sekolah menyusahkan karena ia harus bekerja di luar kota. Namun, untuk mendekatkan diri secara emosional, Prayogi mengaku tak pernah berhenti video call bersama keluarganya.
“Ayah-ayah macam kami ini yang long distance mariage, cuman bisa menghela napas. Ya sudahlah, jadinya kita maksimalkan di hari libur,” ujar Prayogi saat dikonfirmasi Mojok, Selasa (15/7/2025).
Tak hanya Prayogi, sejumlah komentar juga menyatakan bahwa gerakan itu seharusnya tidak jadi gerakan simbolis semata. Sebab, nyatanya ada masalah mendasar yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah.
“Sadar nggak sih, yang bikin fatherless adalah kebutuhan hidup meninggi yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Ditambah dengan pajak berlapis yang membebani,” tulis akun Instagram @drr***.
“Padahal masalah fatherless itu rumit. Nggak bisa pakai solusi simbolis atau seremonial saja. Kalau mau anak-anak nggak fatherless atau motherless, kasih atmosphere dunia kerja yang work life balance. Pastikan UMR/UMK besarannya merata dan sesuai dengan kebutuhan utama wilayahnya, tertibkan instansi yang ngasih gaji di bawah UMR…,” tulis akun Instagram @alt***.
Tugas seorang ayah
Senada dengan komentar-komentar di atas, dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni mengimbau perlu adanya upaya bersama dalam membangun kesadaran fatherless ini. Baik di ranah keluarga, institusi kerja, dan kebijakan publik. Dengan begitu, keterlibatan ayah tidak berhenti pada simbol seremonial.
“Penghargaan memang penting, tetapi normalisasi peran ayah pengasuh jauh lebih mendasar,” ucapnya.
Ia berharap fenomena ini tidak membuat kita sekadar menguliti peran ayah semata. Atau sekadar membahas kesetaraan gender soal pembagian kerja antara suami dan istri. Lebih dari itu, ada struktur sosial yang “terpaksa” menuntut mereka hingga memunculkan fenomena fatherless tadi.
“Struktur kerja yang maskulin, budaya jam kerja panjang, hingga stereotip sosial yang mengecilkan figur ayah pengasuh, semuanya turut andil membatasi peran ayah,” kata Holy melalui keterangan tertulis yang diterima Mojok, Selasa (15/7/2025).
Menurut dia, menjadi ayah bukan hanya hadir di pagi hari untuk mengantar anak, tapi juga hadir dalam dialog batin anak, kelekatan emosi, dan penguatan karakter.
Dengan memperluas praktik fathernitas, masyarakat tidak hanya merayakan satu momen, tetapi membangun kultur keluarga yang setara dan hangat. Di mana ayah dan ibu benar-benar setara dalam cinta dan tanggung jawab.
“Akhirnya, mari kita maknai setiap momen ayah yang terlibat sebagai awal, bukan akhir.”
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lulusan Universitas Jadi Sarjana Pengangguran, Langsung Dituntut Bapak Ganti Rugi Biaya Besar Semasa Kuliah sampai Hidup Kebingungan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












