Jadi guru ekstrakurikuler di SMA Kristen Petra Surabaya membuat seorang guru merasa insecure hingga kena mental. Pasalnya, si guru ekstrakurikuler tersebut merasa kalah pinter dari siswa-siswanya. Si guru sampai ambil kursus setelah berhenti mengajar di SMA tersebut.
***
Ada beberapa SMA Kristen Petra di Surabaya. Namun, Fuadi (24) meminta agar saya tak menulis secara spesifik, SMA Kristen Petra mana yang ia maksud.
FYI, Fuadi sendiri bukan nama asli. Ia meminta saya menyamarkan nama aslinya jika hendak menulis keluh kesahnya saat mengajar ekstrakurikuler di sebuah SMA Petra di Surabaya.
SMA Kristen Pertra sendiri bisa dibilang sebagai SMA prestisius di Surabaya. Isinya banyak dari kalangan orang-orang tajir Surabaya, terutama dari etnis Tionghoa. Soal kecerdasan, tentu jangan dipertanyakan.
Dulunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Fuadi karena bisa mengajar—walaupun hanya mengajar ekstrakurikuler—di SMA Kristen Petra Surabaya. Akan tetapi, saat ini Fuadi justru menyebutnya sebagai kenangan memalukan.
Tak mendapat sambutan antusias di SMA Kristen Petra
Sejak awal orbit sebagai presenter tv junior di Surabaya pada akhir 2021 silam, Fuadi memang seolah kebanjiran job. Ia sering diminta untuk mengisi seminar hingga kelas-kelas broadcasting dan public speaking.
Tak hanya itu, Fuadi pun kemudian mendapat tawaran untuk mengajar ekstrakurikuler broadcasting di beberapa SMA di Surabaya.
“Aku milih SMA Kristen Pertra karena fee-nya lebih oke. Selain itu, biar CV-ku bagus dong kalau ngajar di sana,” ungkapnya lewat sambungan WhatsApp.
Saat itu, narasi yang mengiringi orbitnya Fuadi adalah bahwa orang dari pelosok daerah seperti Fuadi tetap peunya peluang memiliki karier yang cemerlang. Ia, di masa-masa itu, seolah menjelma sebagai sosok yang inspiratif.
“Aku dari pelosok Madura bisa jadi presenter tv nasional, itu yang dijual,” lanjutnya.
Dalam setiap seminar atau kelas yang ia isi, Fuadi selalu mendapat sambutan yang sangat antusias. Banyak yang meminta kiat pada Fuadi bagaimana caranya bisa tembus tv nasional.
Itulah kenapa Fuadi membayangkan, nanti di SMA Kristen Petra pun ia juga akan mendapat sambutan yang serupa.
“Sayangnya tidak. Siswa-siswa SMA Kristen Petra itu malah kelihatan meragukanku. Kayak, nggak salah nih orang ini yang mau ngajarin kita public speaking?,” ujar Fuadi.
Insecure dan kena mental karena nggak bisa bahasa Inggris
Pertemuan pertama mengajar ekstrakurikuler di SMA Kristen Petra Fuadi lalui dengan agak lesu.
Pasalnya, meskipun ia mengajar dengan penuh antusias. sayangnya para siswa justru terlihat ogah-ogahan menyimak.
“Setelah itu aku langsung introspeksi, evaluasi, apa yang salah dengan metodeku mengajar,” ungkapnya.
Pada pertemuan kedua (ekstrakurikuler broadcasting berlangsung dua kali sepekan), Fuadi mengaku sudah lebih siap. Karena ia sudah mempersiapkan metode baru.
Akan tetapi, hal mengejutkan sekaligus memalukan terjadi pada pertemuan kedua tersebut.
Siswa-siswi SMA Kristen Petra di kelasnya mengajaknya berdialog dengan bahasa Inggris selama kelas berlangsung. Fuadi pun sontak gelagapan.
“I’m sorry, my englsih is bad,” hanya itu yang bisa Fuadi sampaikan ke para siswanya.
Mendengar jawaban dari Fuadi, raut wajah para siswa di kelasnya langsung berubah. Semakin tak antusias mengikuti pemaparan-pemaparan dari Fuadi. Di pertemuan-pertemun selanjutnya keadaan malah makin buruk.
“Aku nggak tahu ya, mereka mikirnya ke aku seperti apa. Apakah mereka meremehkanku karena aku nggak bisa bahasa Inggris, aku nggak tahu,” tutur Fuadi. “Atau bisa jadi sebenarnya mereka sudah capek, karena kelasku berlangsung sore.”
“Yang jelas, setiap kelas, mereka kayak males banget. Ada yang tiduran (kepala di atas meja), ada yang asyik sendiri. Aku kena mental,” sambungnya.
Alhasil, Fuadi tak bertahan lama mengajar di salah satu SMA Kristen Petra di Surabaya itu. Ia memilih berhenti.
Langsung kursus bahasa Inggris
Sejak pengalaman tak mengenakkan di salah satu SMA Kristen Petra di Surabaya itu, Fuadi justru tak merasa tersinggung atau kecewa.
Sebaliknya, ia justru makin menyadari kalau bahasa Inggris menjadi kelemahan yang harus ia bereskan. Fuadi tertantang untuk belajar hingga menguasai bahasa Inggris.
Di sela-sela waktu senggangnya, Fuadi meminta kursus privat bahasa Inggris pada temannya sendiri yang saat ini kuliah di Korea Selatan.
“Lewat video call. Nggak gratis, aku tetep bayar, karena ini ilmu,” akunya.
Setelah merasa cukup dengan temannya, Fuadi kemudian mengatur jadwal untuk kursus lagi selama satu bulan di Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur.
Demi bisa kursus di Pare, Fuadi sampai harus ngepres pengeluarannya lagi: untuk nabung, untuk ke Pare, baru sisanya untuk kehidupan sehari-harinya di Surabaya.
“Aku ambil cuti untuk ke Pare, manajemen membolehkan karena memang itu bagian dari ngasah skill,” terangnya.
“Kalau sudah lancar bahasa Inggris, nanti siap nggak ngajar di SMA-SMA prestisius lagi?” tanya saya menggoda.
“Loh jelas berani, tapi kayaknya aku malah punya keinginan kuliah di luar negeri,” jawabnya mantap.
Fuadi memang punya keinginan bisa S2 di luar negeri. Tak ada negara khusus yang pengin ia tuju. Pokoknya luar negeri. Kursus-kursus bahasa Inggris itu ia lakukan pun sebagai bekalnya.
Jika kelak ia benar-benar bisa kuliah S2 di luar negeri, nampaknya ia perlu berterima kasih pada siswa-siswa SMA Kristen Petra Surabaya yang sempat membuatnya kena mental.
Kalau bukan karena mereka, sepertinya ia tak akan punya kesadaran untuk lekas-lekas ambil kursus bahasa Inggris heuheuheu.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Keluh Kesah Presenter TV: Dikira Banyak Duit, Jadi Tempat Ngutang sampai Tak Berani Punya Pacar
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News