Gabung PSHT Biar Kuat tapi Selalu Kalah saat Duel 1 Lawan 1, Hanya Menang kalau Keroyokan

Gabung perguruan pencak silat PSHT biar kuat, tapi selalu kalah kalau duel 1 lawan 1 MOJOK.CO

Ilustrasi - Gabung perguruan pencak silat PSHT biar kuat, tapi selalu kalah kalau duel 1 lawan 1. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Di atas sebuah ring tarung bebas, seorang anggota pencak silat PSHT tampak melakukan beberapa gerakan jurus. Lengkap dengan pakaian serba hitam dan logo besar perguruan silat. Sementara lawannya hanya barkaos dan bercelana pendek, tanpa memeragakan beberapa gerak kembangan.

Beberapa saat kemudian, si anggota pencat silat PSHT itu diserang dengan beberapa pukulan dan bantingan. Dia tidak bisa banyak berkutik.

Netizen ramai-ramai memberi komentar sarkas atas video duel tersebut. Mayoritas punya konteks komentar yang sama: “Orang jago keroyokan kok diajak duel.”

Komentar-komentar itu lantas memancing mantan anggota perguruan pencak silat PSHT, Sakroni (24) merespons. Tidak ada penyangkalan. Sakroni justru membenarkan dan turut meresahkan.

Gabung perguruan pencak silat PSHT biar tahan banting

Perkenalan Sakroni dengan perguruan pencak silat PSHT terjadi ketika dia masih kelas 2 SMP. Dia tertarik mendalami seni bela diri karena tidak ingin tumbuh sebagai bocah lemah.

Apalagi di antara teman-teman SMP-nya, Sakroni memang sering dicap cupu. Sebab, tidak seperti anak-anak lain, tiap ada masalah Sakroni lebih memilih diam ketimbang harus ribut atau gelut.

Dia tidak punya keberanian, sekaligus merasa tidak punya kekuatan fisik dan keterampilan berkelahi. Sehingga, dalam bayangannya, kalau dia nekat konfrontatif, sudah pasti dia akan babak belur dihajar lawan.

“Aku merasa terpancing belajar bela diri pas nonton film The Karate Kid. Ternyata ada loh orang yang awalnya lemah, terus berlatih keras, akhirnya jadi petarung hebat,” ungkap Sakroni dalam ceritanya kepada Mojok, Minggu (25/5/2025).

Waktu itu, sebagai orang asli Madiun, Jawa Timur, perguruan pencak silat PSHT menjadi wadah paling dekat yang bisa Sakroni jangkau untuk belajar bela diri. Atas izin orangtuanyapun, Sakroni lantas bergabung.

Berkat PSHT jadi lebih percaya diri

Sakroni tergabung dalam perguruan pencak silat PSHT hingga kelas 2 SMA. Selama itu pula, dia mengaku belum pernah menggunakan kemampuan bela dirinya untuk “bertarung sungguhan” jika menghadapi musuh di jalan.

“Paling ya sabung sesama anggota PSHT pas latihan,” tutur Sakroni.

“Selebihnya aku suka nikmati aja pemeragaan jurus-jurus (kembangan). Indah dan luwes,” sambungnya.

Tapi itu saja sudah cukup membuat Sakroni percaya diri. Dia merasa fisiknya makin kuat. Dia juga merasa sangat siap baku hantam jika ada orang macam-macam dengannya. Karena Sakroni merasa sudah dibekali dengan jurus-jurus untuk menangkis serangan atau untuk melumpuhkan lawan.

Baca halaman selanjutnya…

Duel satu lawan satu kalah, bisa menang kalau keroyokan

Konvoi dan bentrok dengan perguruan lain

Sudah sejak SMP sebenarnya Sakroni akrab dengan konvoi-konvoi yang dilakukan oleh anggota perguruan pencak silat PSHT di kampungnya. Dia mengaku hanya sekali saja ikut.

Dia lupa kala itu dalam rangka menyambut apa. Tapi Sakroni ingat betul, saat itu dia ikut dala rombongan motor dengan dibonceng.

Para pengendara motor geber-geber sambil mengibarkan bendera-bendera berlogo perguruan. Setelahnya, Sakroni lebih sering tidak ikut lantaran ada satu momen ketika ternyata perguruannya terlibat bentrok dengan perguruan pencak silat lain.

“Awalnya aku merasa bentrok itu wajar. Karena saling mempertahankan harga diri. Geruduk perguruan lain juga wajar aja karena kadang mereka menghina PSHT,” tutur Sakroni.

Kalah satu lawan satu, menang saat keroyokan

Suatu hari ketika Sakroni sudah duduk di bangku kelas 1 SMA, dia terlibat konfrontasi dengan salah seorang siswa yang bukan dari perguran pencak silat. Sakroni menantangnya duel.

Sepulang sekolah, terjadilah duel tersebut. Benar-benar satu lawan satu. Tidak boleh ada yang membantu.

“Aku berusaha keras menerapkan apa yang kupelajari dari silat. Sementara lawanku agresif. Asal mukul dan nendang,” ungkap Sakroni.

Sakroni tumbang dengan memar di beberapa bagian tubuh. Bibirnya juga pecah: berdarah.

Mendengar kabar itu, sekelompok teman kampung dari perguruan pencak silat PSHT mendatangi rumah Sakroni. Pertama, untuk menjenguk Sakroni. Kedua, mereka mencari tahu siapa orang yang menghajar Sakroni.

Setelah mengantongi nama si lawan Sakroni, mereka langsung melayangkan aksi mengeroyok lawan Sakroni sepulang sekolah di keesokan harinya.

Memilih berhenti

Hingga kelas 2 SMA, Sakroni beberapa kali sempat terlibat duel satu lawan satu. Sering kali berakhir babak belur. Setelahnya selalu bisa ditebak karena berulang: teman-teman seperguruannya akan melabrak lawan Sakroni, lalu dihajar beramai-ramai.

“Kakakku bukan orang perguruan. Terus satu momen dia nyeletuk, ‘Ikut pencak silat kok duel kalahan. Beraninya keroyokan.’ Itu membuatku sempat kesel, tapi juga sadar, kalau ternyata selama ini aku cuma sok jagoan,” ungkap Sakroni.

Apalagi dia makin tahu, banyak orang mulai mencitrakan PSHT sebagai tukang onar dan tukang keroyok. Meskipun sebenarnya ada banyak juga anggota perguruan pencak silat PSHT yang tidak begitu. Maka Sakronipun memilih tidak lanjut sebagai anggota perguruan.

Apalagi di era media sosial sekarang. Citra-citra buruk itu semakin teramplifikasi secara masif. Di titik tertentu, itu kadang membuat Sakroni merenung: “Iya, ya, kenapa anak perguruan kesannya sok jagoan tapi cuma berani keroyokan?”

Ilmu kelahi bukan untuk kelahi

Mojok pernah berbincang dengan Adri (21), seorang guru pencak silat PSHT muda asal Nganjuk, Jawa Timur.

Adri mengaku sudah bergabung PSHT sejak SMP.  Namun, hingga sekarang dia belum pernah mampraktikkan ilmu bela diri yang dia pelajari untuk duel sungguhan.

“Karena pencak silat itu sebenarnya juga tentang kontrol diri. Oke kita bisa bela diri, tapi yang lebih penting adalah bagaimana cara mengendalikan diri agar tidak serta-merta suka gelut,” ungkapnya.

Selain itu, Adri juga menyoroti kenapa sering kali anggota pencak silat PSHT ada yang terkesan sok jagoan. Adri pernah mengulasnya dalam wawancara tulisan “Perguruan Silat seperti PSHT Kerap Buru-buru Angkat Bocah SMP Jadi Guru alias Warga, Mental Belum Matang Alhasil Jadi Tukang Onar”. 

Falsafah luhur

Lahirnya PSHT di Jawa Timur—tepatnya di Madiun pada 1922—sebenarnya bisa menjadi catatan sejarah penting. Sebab, perguruan pencak silat ini, terutama pendirinya (Ki Hadjar Hardjo Oetmomo), menjadi bagian dari perjalanan panjang kemerdekaan RI.

PSHT didirikan bukan semata untuk belajar ilmu bela diri. Tapi juga belajar falsafah hidup perihal bagaimana seharusnya menjadi manusia.

“Manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan, namun manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu setia kepada hatinya sendiri.” Begitu falsafah hidup bagi para pendekat PSHT (seharusnya).

Itulah kenapa PSHT menekankan betul prinsip: mendidik manusia khususnya para anggota agar berbudi luhur, tahu mana benar dan mana salah, serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Juga prinsip untuk Memayu Hayuning Bawono”: Menjaga kedamaian dan stabilitas dunia, serta memberantas sifat angkara murka dan serakah pada diri. Menjadi khalifatullah fil ardl.

Perguruan pencak silat ini juga menekankan implementasi falsafah Jawa Aja adigang, adigung, adiguna”: Jangan sok kuasa, gumedhe, sok sakti. Melainkan biasa saja, tawadu, serta menghormati dan menghargai sesama.

Falsafah luhur ini tidak hanya relevan bagi anggota, tapi juga bagi semua orang bahkan yang tidak belajar silat sekalipun. Sayangnya, kerap kali kasus bentrokan oleh oknum tak bertanggung jawab membuat nilai-nilai luhur itu menjadi kabur.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Curhat Guru Pencak Silat Kera Sakti: Seumur Hidup Belum Pernah Berkelahi, Tapi Tiap PSHT Kisruh Selalu Dibawa-bawa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

Exit mobile version