Sebagai anak guru, Adiani sering menyaksikan ibunya yang mengajar di sebuah TK di pelosok desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah kerap kerepotan dengan tugas sebagai guru. Terutama pekerjaan-pekerjaan administratif usai mengajar. Namun, ibunya tetap menikmati profesinya itu.
“Mulai dari gaji dan tunjangan yang tergolong kecil, pelaporan tugas mengajar yang sangat banyak dan semakin rumit dengan perkembangan kebijakan yang baru saat ini,” katanya kepada Mojok, Senin (5/2/2024).
Ibunya sudah berusia 53 tahun saat ini. Statusnya adalah guru PNS yang mendapat penugasan untuk mengajar di sebuah TK yayasan. Adiani saat ini kuliah di sebuah kampus swasta di Bandung. Sedangkan kedua orang tuanya tinggal di pelosok desa di Kabupaten Wonosobo.
“Kalau dari ibu kota kabupaten jaraknya sekitar 30 kilometer. Kalau dari ibu kota kecamatan sekitar 8 kilometeran,” ujarnya.
Sebagai anak guru, prihatin melihat tugas administratif lebih banyak daripada sekadar mengajar
Adiani merasa perlu bercerita ke Mojok karena sebagai anak guru, ia melihat beban ibunya yang cukup berat. Kondisi yang ibunya hadapi ia yakin banyak juga guru-guru lain di desa juga menghadapi. Bahkan mungkin lebih berat. Di sisi lain, masih ada orang yang meremehkan profesi mulia ini.
Adiani mengatakan di TK tempat ibunya bekerja hanya ada dua guru yang mengajar sekitar 80 siswa. Ia melihat, seorang guru memiliki tanggung jawab administrasi yang sangat banyak bahkan lebih dominan dari pada kewajiban mereka sebagai seorang pendidik.
“Mulai dari pelaporan dapodik, membuat rancangan pembelajaran, melakukan penilaian perkembangan setiap siswa, dan itu mereka harus melaporkan secara berkala. Itu untuk pemenuhan syarat agar sekolah dapat menerima dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP),” kata Adiani. Itu belum tuntutan menggunakan kurikulum baru yaitu Merdeka Belajar.
Menurut Adiani, hal di atas sebenarnya bisa berjalan dengan baik apabila jumlah tenaga di sekolah tersebut memadai atau mencukupi. “Berbeda dengan PAUD atau TK dimana hanya terdapat 2 tenaga sekolah meliputi 1 kepala sekolah yang merangkap menjadi guru kelas B, dan 1 guru kelas A,” kata Adiani.
Ini menjadi semakin berat saat ada undangan rapat untuk kepala sekolah yang membuat kelas A dan B hanya satu orang guru yang mengampu dan guru itu juga harus tetap membuat laporan harian dari setiap siswa.
Sekolah di desa yang tak mungkin menaikan biaya SPP
Adiani mengatakan, bukan tanpa alasan sekolah tempat ibunya bekerja tidak mau menambah personel sebagai admin atau tenaga entry data. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh sekolah yang tak mampu untuk menggaji tambahan personel tersebut, mengingat SPP yang dibebankan pada setiap siswa perbulan hanya berkisar Rp15 ribu per bulan.
Tentu bukan angka yang cukup apabila harus diakumulasikan untuk operasional sekolah. Mengingat sekolah ini berdiri di salah satu desa yang cukup jauh dari ibu kota kabupaten dengan mayoritas profesi masyarakatnya adalah bertani. Dengan masyarakat mayoritas berpendidikan SD–SMP, akan sangat berat apabila menaikan biaya SPP.
Menurut Adiani, dengan banyaknya pekerjaan tak jarang ibunya harus membawa pekerjaan kantor ke rumah. Ibunya kerap kali meminta bantuannya untuk menyelesaikan laporan tersebut. “Ibuku itu kan generasi X, sementara pelaporan berbasiskan internet, agak susah ibu untuk mengikuti perkembangan teknologi saat ini,” ujarnya.
Adiani sudah berusaha untuk mengajari bagaimana mengerjakan sistem pelaporan online, tapi karena ibunya sudah lelah memenuhi administrasi sebagai kepala sekolah, membuat administrasi kelas, mengajar kelas membuat ibunya meminta bantuannya.
Baca halaman selanjutnya…
Orang tua siswa yang melabrak guru sampai rumah