Salahkah jika saya kecanduan baca komik? Mungkin ini hanya keluh kesah saya, karena saya merupakan salah satu orang yang kecanduan membaca buku komik.
Saya termasuk “pecandu” yang tidak tahu tempat dan waktu. Selama ada jeda kosong, duduk maupun berdiri, saya selalu sempatkan buat membaca. Sebelas dua belas lah dengan Wapres Gibran yang konon juga gemar melumat komik.
Tidak peduli saat mengantri di Indomaret, makan di cafe atau burjo, bahkan saat menonton film sekalipun, saya masih bisa menyempatkan diri untuk membaca potongan chapter. Hal seperti ini yang membuat saya dinilai sebelah mata oleh teman-teman saya.
Sulit untuk minder saat sudah dibilang begitu. Apalagi, saya selalu mengaitkan konotasi candu sebagai hal yang buruk. Walaupun membaca sendiri adalah hal yang baik, awalnya saya tidak yakin kalau komik termasuk salah satu yang baik. Beda dengan baca buku-buku berat, nonfiksi, maupun sastra berkelas.
Sering sekali saya ditegur perkara kecanduan baca komik
Teman-teman kerap menganggap saya tidak bisa fokus terhadap satu hal jika sudah membaca komik. Karena hal itu, saya sering ditegur oleh mereka.
Misalnya, saat itu kami sedang makan di sebuah burjo. Bukannya makan sambil mengobrol, saya malah makan sambil sibuk membaca, baik komik fisik maupun digital melalui HP saya.
“Masa iya, lu tiap berapa menit baca. Hidupmu kayak ngga tenang kalo sehari belum baca komik”, kata teman saya sambil tertawa mengejek.
“Kalo makan sama temen, ya ngobrol! Jangan liat hp mulu, ga sopan soalnya.”
Mendengar hal ini terus terusan membuat saya kaget. Sebab, dari kecil saya tidak terlalu memikirkan kalau membaca komik bisa bikin dianggap tak sopan. Lagipula, saya sudah membaca komik sejak kelas 3 SD. Kebiasaan saya baca komik ini jarang dikomentari ataupun dimarahi.
Rela keluar duit banyak demi beli komik
Saya dulu selalu menabung untuk membeli komik. Mulai dari Donald Duck, Doraemon, Naruto, Ben 10, hingga Batman. Sebagai anak kelas 3 SD, mau tak mau saya kudu menabung dulu untuk membeli satu komik bekas.
Biasanya saya membeli komik-komik ini di toko loakan daerah Ponorogo. Satu komik saya beli dengan harga Rp14 ribu–uang yang saya dapatkan dari hasil menabung selama seminggu.
Selain komik fisik, saya juga gandrung dengan komik web. Bahkan, saya rela untuk menghabiskan beberapa uang untuk membaca komik sehari lebih cepat di Webtoon. Setiap bulan saya bisa habis Rp30 ribu sampai Rp100 ribu hanya demi membaca komik di Webtoon–belum dengan pajak.
“Anjing! Nggak betah ‘kah nunggu satu minggu biar baca gratis? Uang segitu mending buat makan,” kata teman saya, terheran-heran.
Begadang dua hari hanya agar bisa mengejar 800 chapter
Omon-omon soal “gila komik”, ingatan saya selalu menuju ke masa SMA. Bahkan kalau boleh dibilang, masa-masa SMA adalah puncak dari kecanduan saya, melebihi sekarang. Misalnya, saking gilanya, saya pernah begadang dua malam hanya untuk menamatkan chapter komik.
Sejujurnya, begadang dua malam itu hal yang mungkin wajar-wajar saja, jika ada gunanya–sebagaimana lagu Rhoma Irama. Namun, begadang saya mungkin terdengar konyol karena demi mengejar 800 chapter komik Kingdom. Padahal, waktu-waktu itu mendekati UTBK.
Awalnya, saya tak bisa fokus mempersiapkan UTBK karena di kepala saya terngiang-ngiang chapter demi chapter di komik Kingdom. Namun, saya juga tak bisa fokus membaca komik, karena kepikiran UTBK. Alhasil, dari 800 chapter di komik tersebut, hanya 200 yang bisa saya baca dalam waktu hampir sebulan.
Alhasil, pada malam di mana saya bedagang selama dua hari itu, 600 chapter sisanya saya sikat habis. Tujuannya, biar saya plong: tidak kepikiran lagi dengan isi komik dan bisa fokus UTBK.
Komik membuka jalanku lulus kuliah di UNS
Membaca komik masih menjadi rutinitas saya hari ini, meskipun memang tak seintens dulu. Jika dulu saya bisa menghabiskan 15 komik dalam sebulan, sekarang paling banyak hanya tujuh judul.
Meski kerap dipandang sebelah mata, toh, kegemaran baca komik malah membuka jalan saya untuk lulus kuliah di Jurusan Sastra Inggris UNS. Bagaimana tidak, topik skripsi saya adalah soal komik.
Sejak awal, saya memang sudah berniat mengerjakan skripsi sesuai dengan hal favorit saya, yakni baca komik. Bagi saya, tema-tema dalam komik cukup luas dan bahkan bisa menyentuh masalah-masalah yang terbilang kompleks.
Pada pertengahan 2024, saat memasuki semester lima, saya mulai mencari bahan-bahan untuk skripsi. Saya memutuskan untuk memilih komik berjudul Garden of the Dead Flowers (2020) sebagai bahan skripsi. Garden of the Dead Flowers merupakan komik asli Indonesia yang sudah rilis di Webtoon internasional
Saat saya mencoba berkonsultasi dengan dosen pembimbing, beliau terlihat girang. Tentunya ini berita baik, sampai saya diarahkan untuk mengambil pendekatan yang dalam skena sastra dianggap sulit, yakni multimodality. Konon, di antara teman satu kelas, hanya saya yang mengambil pendekatan multimodality untuk skripsi.
Penulis: Dwi Akbar Setiawan
Editor: Ahmad Effendi
Catatan:
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo periode Oktober-November 2024
BACA JUGA Orang Indonesia Meremehkan Komik Sementara Tsubasa dan Doraemon Mengubah Dunia
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News