Ada pemandangan yang menyita perhatian saat dalam perjalanan Semarang-Jogja naik Bus Haryanto. Yakni seorang lelaki tua buta yang sangat ingin berkumpul satu rumah dengan anaknya yang telah sukses di Jogja.
Terminal Teroboyo, Semarang, kembali mempertemukan saya dengan sosok-sosok dengan cerita haru.
Sebelumnya, pada Februari 2024 lalu, saya bertemu dengan Mbah Istianah. Nenek asal Demak, Jawa Tengah, yang hobi memberi uang ke anak-anak muda yang ia temui di jalan. Salah satunya adalah saya sendiri.
Meski tak kenal dan baru bertemu sekali itu saja, Mbah Istianah tak segan memberi saya uang untuk ongkos naik bus dari Semarang ke Rembang. Hobi memberi uang ke anak-anak muda itu ia lakukan sebagai obat rindu terhadap cucu-cucu Mbah Istianah yang tinggalnya terpencar-pencar.
Lalu yang paling baru, saya bertemu dengan Pak Salimin dalam momen perjalanan naik Bus Haryanto tujuan Jogja pada Rabu (19/6/2024) sore WIB.
Tertatih naik Bus Haryanto demi anak di Jogja
Saat turun dari Bus Indonesia di Jalan Baru (lokasi pembelian tiket bus jurusan Semarang-Jogja), saya sebenarnya sudah menyadari keberadaan Pak Salimin.
Kakek-kakek bertubuh gempal dan berambut putih itu menggendong tas yang terlihat berisi banyak barang. Ia berjalan dengan tongkat dan digandeng oleh seorang anak muda berpenampilan lusuh.
Keduanya sedang mencari celah untuk menyeberang jalan karena sore itu lalu lalang motor di sekitar Jalan Baru cukup padat. Saya hanya melihatnya sekilas. Lalu saya langsung menuju ke loket untuk membli tiket bus. Sore itu, hanya sisa PO Haryanto saja yang memberangkatkan bus ke jogja.
Tak lama setelah saya duduk di kursi tunggu, bapak-bapak yang dituntun anak muda tiba. Barulah saya sadar kalau di balik kacamata gelap yang si bapak pakai, ternyata ia tunanetra. Terbukti dengan caranya mencari tempat duduk yang agak tertatih.
“Bos, tulung yo, mudun Jogja, Giwangan (Bos, tolong ya, turun Jogja, Giwangan),” ujar si pemuda yang menuntun kakek itu kepada agen tiket Bus Haryanto.
“Oh bukan, bukan bapakku, aku cuma nolong,” bisik si pemuda saat seorang calon penumpang di sebelah saya bertanya.
Usai menitipkan si kakek buta, pemuda tersebut lantas berpamitan. Si kakek sempat memegang tangan si pemuda: memberikan sejumlah uang. Tapi si pemuda menolak.
Keramahan kru Bus Haryanto
Beruntung sekali, antara agen dan kru Bus Haryanto yang saya tumpangi sore itu sangat ramah dan manusiawi.
Saya sempat menyimak, karena tak bisa melihat, si kakek yang kemudian saya tahu bernama Salimin meminta si agen Bus Haryanto mengambil uang dari saku Pak Salimin: mengambil nominal ongkos untuk tujuan Semarang-Jogja.
“Mpun jenengan pendetke mawon, sak-sak’e (Udah Anda ambilkan saja, sedapatnya),” ujar si agen Bus Hariyanto.
Pak Salimin lantas merogoh saku. Ia lalu tampak meraba-raba uang yang ia dapatkan. Sejumlah Rp50 ribu. Masih kurang Rp20 ribu. Karena ongkos Semarang-Jogja sendiri sebesar Rp70 ribu.
Akan tetapi si agen Bus Haryanto itu tak keberatan. Ia menerima uang tebusan tiket dari Pak Salimin. Bahkan si agen itu pun menuntun Pak Salimin untuk duduk di kursi tunggu hingga akhirnya dituntun naik ke dalam bus saat bus tiba setengah lima sore.
“Ini nanti turun Giwangan. Aku nitip. Tapi bayarnya nggak jangkep (utuh),” ujar si agen kepada kernet Bus Haryanto saat mengangkut penumpang di jalan baru.
“Alah nggak apa-apa,” balas di kernet bus. Percakapan keduanya sangat jelas terdengar karena mereka ngobrol persis di pintu bus. Saat saya hendak naik, saya tentu mendengarnya.
Hanya saja tempat duduk saya dan Pak Salimin terpisah. Pak Salimin duduk di bagian depan. Sementara saya agak di tengah karena beberapa kursi bagian depan sudah penuh. Alhasil, saya tak punya kesempatan untuk ngobrol panjang dengan Pak Salimin.
Bapak yang ingin bertemu anak
Saya akhirnya baru bisa duduk berdampingan dengan Pak Salimin sekitar setengah jam sebelum Bus Haryanto sampai di Terminal Jombor, Jogja. Kira-kira setengah delapan malam. Di momen itulah saya akhirnya tahu kalau nama kakek tersebut adalah Pak Salimin.
“Anu, Mas, mau dolani anak saya di Jogja. Kangen main sama cucu juga,” kata Pak Salimin halus.
Pak Salimin punya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Satu anak-anak lakinya sudah berumah tangga dan kerja mapan di Jogja. Sementara di Semarang ia tinggal bersama anak perempuannya yang sebenarnya juga sudah berumah tangga. Sedangkan istri Pak Salimin sudah wafat 2020 lalu, di tengah badai Covid-19.
“Dulu saya sempat ikut anak laki-laki saya yang di Jogja ini setelah istri saya wafat. Terus saya sakit, mata nggak bisa melihat,” tutur Pak Salimin dengan suara serak.
“Terus saya diminta ikut anak perempuan saya saja di Semarang karena kalau di Jogja nggak ada yang ngurus. Pada kerja semua. Kalau anak perempuan saya di Semarang kan ibu rumah tangga. Yang kerja suami,” sambungnya.
Dari rumah (di Semarang), anak perempuan Pak Salimin sebenarnya hendak mengantarnya ke Jalan Baru untuk cari bus. Namun Pak Salimin menolak karena ia ingin menikmati jalan sendiri. Ia hanya minta anak perempuannya memesankan ojek online.
Karena Pak Salimin tak bisa melihat, alhasil si ojol menurunkannya agak ngasal. Tidak persis di loket bus di Jalan Baru. Sebelum akhirnya seorang pemuda menghampirinya dan menuntunnya.
“Kalau nanti di Giwangan, anak saya mungkin sudah menjemput. Karena saya tadi minta anak perempuan saya menghubungi kakaknya kalau saya mau ke Jogja,” ungkap Pak Salimin saat saya tanya siapa yang bakal menjemputnya di Terminal Giwangan, Jogja, nanti.
“Saya tidak tahu anak saya suka atau tidak dengan kedatangan saya. Apakah saya bakal ia anggap beban. Saya hanya kangen,” sambung Pak Salimin dengan bahasa tubuh penuh kekhawatiran.
Sayang sekali tempat turun kami tak sama. Saya harus turun lebih dulu di Terminal Jombor. Sedangkan Pak Salimin masih harus meneruskan perjalanan ke Terminal Giwangan. Jadi tak bisa menemaninya.
Namun, keramahan kru Bus Haryanto yang kami naiki sore itu sedikit memberi rasa tenang: Pak Salimin akan sampai ke Terminal Giwangan dengan selamat. Karena sore itu adalah kali pertama Pak Salimin bepergian sendiri naik bus sejak ia tak bisa melihat pada akhir 2021 lalu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tembalang Semarang, Saksi Sisi Gelap Mahasiswa Undip yang Erat dengan “Hal Kotor”
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.