Kos di Kawasan Argomulyo merekam sisi gelap mahasiswa Salatiga. Kos kawasan Argomulyo menawarkan segenap kebebasan yang sepintas mirip-mirip dengan kos-kos di Seturan sebagai salah satu “kawasan bebas” di Jogja.
***
Sejak tiba di Salatiga pada Selasa (30/4/2024) malam WIB, Bisri (23) sudah memberi disclaimer agar saya tidak kaget dengan apa yang akan saya lihat. Kata Bisri sebenarnya mirip suasana di Seturan, Jogja. Tapi saya kan tidak tahu persis. Saya orang baru di Jogja.
Pun saat saya masih di Surabaya, saya juga nyaris tak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri perihal aktivias-aktivitas para penghuni kos bebas. Sejauh ini gambaran soal kos bebas hanya saya tahu dari apa yang saya dengar lewat cerita teman-teman.
“Nanti agak malam akan kutunjukkan,” ujar Bisri saat kami masih menikmati semangkuk bakso di warung bakso langganannya di Argomulyo, Salatiga, sekitar jam setengah tujuh malam.
Saya ngikut saja. Karena dalam perjalanan ke Jogja hari itu, Bisri memang mengiming-imingi akan memberi saya informasi menarik jika saya mau mampir. Syukur-syukur kaluh saya mau nginep. Toh esok harinya, Rabu (1/5/2024) adalah tanggal merah Hari Buruh.
Bisri kuliah di Jogja. Namun ia punya banyak teman dan kenalan di Salatiga karena beberapa teman seangkatannya di SMA memang kuliah di sana.
Ia pun terbilang cukup sering main-main ke Salatiga, terutama ke kos temannya di kawasan Argomulyo. Misalnya saat ada tanggal merah dan kebetulan ia sedang tak ingin pulang ke Rembang, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Bisri terbilang cukup paham seluk-beluk kawasan Argomulyo, Salatiga.
Kos bebas yang merata di Argomulyo Salatiga
Setelah makan bakso dan udud-udud sebentar, Bisri lalu sengaja mengajak saya motoran menyisir beberapa kos di kawasan Argomulyo, Salatiga. Ada dua kos yang kami tuju sebelum kami menuju kos Bisri untuk istirahat.
Dua kos tersebut berada di sebuah gang sempit dan lokasinya cenderung nyempil. Satu kos di sudut gang ditempati oleh teman cewek Bisri. Sementara satu kos di sudut gang lain penghuninya adalah kenalan Bisri, teman dari teman Bisri yang lain yang kuliah di Salatiga.
Bisri pertama-tama mengajak saya ke kos temannya yang cewek. Kami lalu berbincang basa-basi sejenak di halaman kos yang memang tersedia meja kursi untuk tamu. Dalam rentang 20 menitan saat kami ngobrol, ada satu cowok yang datang. Usai memarkir motor, cowok itu langsung melenggang menuju satu kamar di lantai dua.
“Sebenarnya kos bebas nggak sih?” bisik saya pada Bisri. Mendengar pertanyaan itu, teman cewek Bisri hanya tersenyum kecut.
“Ini kos cewek. Tapi cowok leluasa masuk. Beginilah Salatiga,” ujar Bisri. “Mirip Seturan, Jogja, bukan?” Jawaban Bisri membuat teman ceweknya malah makin kecut.
Baru saya tahu kemudian, saat dalam perjalanan balik, kalau teman cewek Bisri termasuk yang beberapa kali membawa cowok dan bahkan menginapkan cowok di kosannya. Bisri tahu karena pacar dari teman cewek Bisri sebenarnya ya teman Bisri juga semasa SMA yang saat ini kuliah di Jogja.
Menyelinapkan pacar menjelang tengah malam
Bersama Bisri saya menginap di kos teman Bisri yang berbelakangan dengan sebuah kebun. Lokasinya agak jauh dengan rumah warga setempat kerena berada di atas semacam gumukan. Jalanan di sekitarnya pun terbilang gelap karena tak ada lampu yang menerangi.
“Di kawasan Argomulyo ini rata-rata kos seperti itu,” ujar teman Bisri yang merupakan mahasiswa di Salatiga.
Selain Argomulyo, kata teman Bisri yang enggan disebut namanya itu, masih ada beberapa kawasan yang saat ini bisa dibilang sebagai Seturan-nya Salatiga. Kawasan-kawasan tersebut berdekatan dengan kampus.
Yang saya penasaran, di Argomulyo, pada dasarnya kos yang tersedia adalah berdasarkan gender. Terpisah antara kos cewek dengan kos cowok. Tak ada yang terang-terangan menyebut kos bebas atau kos campur seperti di Seturan, Jogja. Tapi kok seleluasa itu penghuni kos membawa lawan jenis keluar masuk kamar?
“Begini, di sini aturannya cenderung longgar. Lawan jenis boleh main. Tapi dalam rentang jam 8 pagi sampai malam maksimal jam 10,” jelas Bisri.
Nah, dari sejauh yang Bisri lihat dan alami di Argomulyo, beberapa mahasiswa Salatiga cukup cerdik memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ada yang ajak main pacar di jam-jam pagi hingga sore. Atau sering juga pacar dimasukkan ke dalam kos di jam-jam 8 malam. Setelah itu kos terkunci sampai siang.
“Pokoknya di atas jam 10 malam jangan kelihatan ada aktivitas lawan jenis di luar kamar. Kalau ketahuan mungkin diusir,” beber Bisri.
“Pernah ada yang ketahuan? Digrebek misalnya?” tanya saya.
“Kalau di kosku dan kos beberapa teman kok belum. Ibu kos mungkin sudah tahu, tapi dibiarkan. Karena gimana-gimana itu yang bikin kosnya laku,” ucap teman Bisri. Sebab, untuk model kos yang cenderung bebas di Salatiga sewanya di angka Rp600 ribuan. Untuk ukuran mahasiswa Salatiga, tentu angka tersebut sudah terbilang besar dibanding dengan harga-harga kos biasa yang ada di kisaran Rp350 ribu hingga Ro400 ribu per bulan. Meski begitu, pada akhirnya kos Rp600 ribu banyak peminat karena menawarkan kelongggaran dan kebebasan.
Cewek keluar dari kos cowok Argomulyo
Kos teman Bisri yang saya inapi termasuk salah satu kos yang penghuninya sering membawa cewek keluar masuk. Hanya saja, saat malam itu kami ngobrol hingga menjelang jam 12 malam, tanda-tanda ada cewek masuk tidak saya dapati, sampai akhirnya saya terlelap.
Subuh harinya, saat saya hendak ke kamar mandi, saya tanpa sengaja melihat seorang cewek keluar dari kamar cowok. Kamarnya ada di tengah. Ia lalu manaiki salah satu motor yang terparkir di halaman kos, bergegas pergi dengan tergesa.
“Pemandangan yang biasa di Salatiga, Bos. Sudah kubilang, mirip lah sama Seturan, Jogja,” ucap Bisri saat ia bangun dan saya ceritakan apa yang saya lihat Subuh tadi.
Kota Pelajar membuat Salatiga ternodai
Jauh sebelumnya, saya sempat berbincang dengan Dani (24), salah satu warga asli Salatiga. Ia menyebut bahwa apa yang terjadi pada saat ini adalah imbas dari makin banyaknya pendatang yang kuliah di salah satu kota indah di Jawa Tengah tersebut. Salatiga jadi semacam “Kota Pelajar” baru.
Dulu, kata Dani, membawa lawan jenis ke kosan menjadi hal sangat tabu di Salatiga. Tapi sekarang malah terlihat sangat biasa.
Dani merasa kota kelahirannya kini ternodai. Lebih-lebih, menurutnya, yang memanfaatkan kos bebas di Salatiga lebih banyak dari para pendatang, bukan dari kalangan warga Salatiga sendiri.
“Kalau kelak justru berubah jadi kayak Jogja, ah, kayaknya aku pun kalau bisa pindah ke kota lain aja lah. Purwokerto misalnya,” tutur Dani, Jumat (9/3/2024).
Selama di Argomulyo, Salatiga, saya sebenarnya memotret kos-kos yang saya sisir bersama Bisri. Namun saat saya hendak berpamitan untuk lanjut perjalanan ke Jogja, Bisri meminta saya untuk tidak mengunggahnya. Bahaya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.