Padatnya Kota Jakarta tak terlepas dari fenomena urbanisasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan jumlah pendatang baru di Jakarta tahun 2025 sekitar 10 ribu sampai 15 ribu orang. Meski pun jumlahnya terus turun dari tiga tahun terakhir, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung tetap membuka peluang luas bagi mereka yang ingin mengadu nasibnya ke ibu kota.
Ia menjelaskan, salah satu penyebab penurunan terjadi karena rencana pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara atau IKN yang terletak di Kalimantan Timur. Para perantau pun tak lagi memusatkan hati di Jakarta, tapi tersebar merata ke kota lain.
“Sekarang ini pemerataan pembangunan tidak hanya terpusat di Jakarta, juga terjadi di mana-mana,” ujar Pramono dikutip dari laman resmi RRI, Rabu (9/4/2025).
Belum ada yang menandingi panasnya Surabaya
Tak pelak, hiruk-pikuk Kota Jakarta membuat Elyza maupun Maulia sering kelelahan secara fisik maupun mental. Lebih-lebih saat terjebak macet. Rasanya, energi mereka langsung terkuras habis.
“Sangking suntuknya dengan hustlelife di sana, terkadang aku butuh waktu sendiri sambil mengisi energi,” ujar Maulia.
Masalahnya, Maul lebih suka ke wisata alam untuk menghilangkan penat. Sedangkan, Jakarta jauh dari ekspetasi itu bahkan sekadar taman-taman kota saja jarang terlihat. Oleh karena itu, Maul memilih solusi dengan berjalan-jalan di tempat ramai seperti pasar.
Khususnya pasar yang tidak pernah dia datangi sebelumnya. Di sanalah, Maul merasa tak ada orang lain yang mengenalnya secara pribadi. Namun, dari sana pula ia bisa bertemu dengan orang-orang baru.
“Bertemu dan berbincang dengan orang yang nggak aku kenal bisa membuatkan menemukan cerita-cerita hidup yang menarik dan memotivasi,” ujarnya.
Lagi-lagi, Elyza sepakat dengan Maul. Ia berujar taman kota di Surabaya lebih banyak dijumpai dan sering dikunjungi oleh warga ketimbang di Jakarta. Bahkan, kota yang sempat menempati posisi pertama dengan tingkat polusi terburuk di dunia itu terasa pengap.
“Pertama kali datang ke Jakarta aku langsung sakit panas dalam dan batuk. Akhirnya aku pindah ke daerah Jakarta Selatan karena menurutku lebih rindang,” ujar Elyza.
Untuk menghadapi setres, Elyza lebih memilih menonton konser gratis dan berkunjung ke berbagai festival. Kalau ke alam-alam, supaya melihat yang ijo-ijo, paling mentok ya di Gelora Bung Karno. Anehnya, panas di Surabaya masih tak bisa ditandingi meski lebih banyak taman kota.
“Kalau di Surabaya aku lebih mending me time atau di rumah aja, panasnya bukan main!” kata dia.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Merindukan Lebaran “Berdarah” di Negeri Mamala, Pengalaman yang Tidak Bisa Dirasakan di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.









