Nestapa, tapi Rela: Tinggal di Kos Murah Rp125 Ribu per Bulan di Jogja

Harga sewa nggak berubah sejak tahun 2000-an.

Ini Tahun 2023 dan Saya Menemukan Ada Kos Murah Rp125 Ribu Per Bulan di Jogja

Ilustrasi Ini Tahun 2023 dan Saya Menemukan Ada Kos Murah Rp125 Ribu Per Bulan di Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Harga kos mahasiswa di Jogja semakin mahal. Menemukan kos murah dengan lokasi strategis bukan hal mudah. Namun, Mojok menemukan di tahun 2023 ini, masih ada kos dengan harga sewa Rp125 per bulan! Meski terlihat nelangsa, yang tinggal di sana harus berkompromi dengan keadaan. 

***

Menurut data Mamikos.com, harga sewa kamar kos di Jogja memiliki variasi yang beragam. Terdapat tiga tipe kos yaitu harga murah di bawah Rp500 ribu, kos standar dengan harga sekitar Rp500-700 ribu, dan kos mewah atau eksklusif dengan harga di atas Rp900 ribu. 

Saya coba mencari kos dengan harga termurah di aplikasi tersebut. Namun, hampir semuanya Rp300 ribu ke atas. Tidak ada yang harganya di bawah itu. Apalagi yang harganya Rp100 ribuan sebulan. 

Saya bertemu dengan penghuni kos di murah Jogja. Salah satunya  harga kamarnya Rp125 ribu per bulan. Di balik kos-kos murah yang semakin jarang dijumpai, ada cerita unik dari para penghuninya. Kisah nelangsa di tengah keterbatasan fasilitas tempat tinggal, tapi tetap jadi pilihan.

Kos murah di kawasan eksklusif

Saya berkunjung ke kos Nasir (25) mahasiswa Fisika Murni semester 7 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Perjalanan menuju kos Nasir itu lumayan mblusuk. Mahasiswa asal Klaten tersebut tinggal di kos yang terletak di sekitar Caturtunggal, Depok, Sleman, tepatnya di belakang STP AMPTA. 

Dengan akses hanya melalui jalan setapak yang sempit bahkan hanya cukup untuk satu motor, membuat saya sedikit kesulitan. Di gang sempit itu juga, banyak ceceran kotoran kucing yang menghiasi dan menghasilkan aroma yang menyengat hidung.

Begitu saya tiba di sana, kos itu seperti rumah yang terbengkalai. Ternyata, bangunan ini masih bertahan sejak tahun 1984 tanpa perombakan menyeluruh, hanya sedikit renovasi.

Kondisi parkiran di kos murah Rp125 ribu per bulan. (Salim Zaki/Mojok.co)

Saya tiba pukul 08.00 saat Nasir hendak ke luar kos untuk mengambil data dan fokus untuk mengerjakan skripsi. Bukan tanpa alasan, kamar tinggalnya memang serba terbatas. Bahkan untuk sekadar mengerjakan skripsi di laptop saja.

“Aku di kos cuma untuk mandi dan tidur saja,” ujarnya. Saya kemudian mengajaknya berbincang tentang kosnya yang katanya sangat murah itu. Lokasi kos Nasir sebenarnya terbilang strategis. Berada di lingkungan kos eksklusif dan diapit oleh rumah-rumah mewah. Lokasinya bahkan cuma beberapa ratus meter dari salah satu mal terbesar di Yogyakarta. 

Kos murah yang harganya Rp125 ribu per bulan

Namun, meski berada di lokasi yang nggak jauh dari pusat keramaian, harga yang dipatok untuk biaya kos dengan ukuran 2,5×3 meter tersebut hanya Rp1,5 juta per tahun. Itu belum termasuk WiFi dan listrik. Nasir membayar biaya tersebut setahun sekali. Artinya kalau Rp1,5 juta dibagi per bulan, Nasir cukup membayar Rp125 ribu! 

Angka ini tentu sangat murah, jika melihat harga kos di Jogja yang saat ini sudah sangat umum menemukan harga mulai Rp1,5 juta per bulan. 

Saking murahnya harga sewa kos, besarannya hampir setara dengan biaya listrik, air, dan wifi. Nasir mengatakan, penghuni kos membayar biaya listrik, wifi, dan air setiap bulan. Besarannya Rp115 ribu. Artinya kalau ditotal sebulan untuk pengeluaran kos Rp240 ribu. Masih sangat murah untuk sebuah kos di Jogja.

Ada harga, ada rupa. Biaya sewa kos memang murah, tapi kondisi bangunannya cukup memprihatinkan. Beberapa kali, anak kos harus kerja bakti sendiri untuk membenahi kerusakan di tempat tinggal mereka.

Saat menjelajahi setiap kamar, debu berterbangan di udara. Saya sampai di kamar Nasir yang terletak di pojok kanan kos. Seperti yang saya rasakan, Nasir mengeluhkan debu yang mengganggu pernapasan. Beruntung, area kos yang sedikit terbuka dapat menjaga udara tetap segar dan kamar tidak menjadi lembab.

Kerja bakti untuk atasi kerusakan kos murah

Ada tujuh orang penghuni di kos tersebut dan seorang penanggung jawab atau penjaga. Dalam dua tahun sejak kedatangan Nasir, bangunan kos telah mengalami kerusakan tiga kali. Oleh karena itu, Nasir dan para penghuni kos yang lainnya wajib berperan aktif dalam pembenahan kos melalui kerja bakti.

Kondisi lorong kamar kos Nasir. (Salim Zaki/Mojok.co)

“Selama ngekos di sini tuh yang rusak ya kamar mandi tengah, atap kamar, atap garasi, kran air, pompa air. Kerja baktinya wajib kalau yang bisa aja, kalau ada kepentingan ya nggak ikut nggak papa mas. Selesai kerja bakti kita biasanya pada beli gorengan sama es,” ungkapnya.

Ia mengaku bisa menjalani peraturan kerja bakti usulan pemilik kos. Baginya, ketimbang menderita karena kondisi bangunan, mending sedikit bekerja keras.

Nasir pun juga menceritakan bahwa ia mendapatkan informasi kos murah tersebut dari temannya yang dulu ngekos di tempat tersebut. Ia memutuskan tinggal di kos tersebut walaupun jauh dari kampus UAD. Keputusannya untuk bertahan di kos tersebut adalah kenyataan bahwa harga kos di sana sangat terjangkau dan tergolong super murah.

“Saya tetep tahan di kos ini ya karena murah banget. Selain itu, saya tinggal skripsi jadi nggak harus sering ke kampus. Lebih sering ambil data di luar,” ujar Nasir.

Meski mungkin orang menganggap tinggal di kosnya adalah nestapa, tapi Nasi sepertinya rela. Asal, sewa kos tidak naik. Nasir berharap kepada pengurus kos untuk tetap mematok harga di Rp1,5 juta per tahun. Selama harga masih bersahabat ia mengaku siap kerja bakti jika muncul permasalahan bangunan rusak. 

Sayangnya, setelah berbincang panjang, Nasir enggan kamar fotonya saya dokumentasi. Sehingga hanya ada foto penampakan sekelilingnya.

Sewa kamar kos nggak berubah sejak tahun 2000-an

Karena penasaran dengan murahnya harga dan kepengurusan kos tersebut, saya bertemu juga dengan pemilik kos yang saat ini bertempat tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Pria Bernama Wawan (56) itu berujar bangunan tersebut merupakan warisan keluarga yang telah menjadi tempat kos sejak tahun 1986. 

Keluarga Wawan tinggal di luar Jogja, sehingga ia mempercayakan pengelolaan dan tanggung jawab kos kepada Sadam sejak tahun 2000-an.  Menurutnya, Rp1,5 juta per tahun merupakan harga yang lumrah pada masa lalu.

“Harganya nggak saya naikin ya karena kumuh sama nggak ada perbaikan. Terus kalau ada yang rusak uang itu buat memperbaiki bangunan yang rusak, lha tukang di Jogja mahal,” terang Wawan. 

Dengan biaya itu, Wawan mengaku tidak mengambil untung, yang terpenting rumah warisan keluarga itu ada yang menjaga.

Sampah berserakan di depan kamar salah satu kos murah. (Salim Zaki/Mojok.co)

Kos murah dan strategis itu butuh pengorbanan

Kos murah dan strategis itu butuh pengorbanan

Pengalaman tinggal di kos murah juga disampaikan Mail (24), seorang mahasiswa tingkat akhir di UIN Sunan Kalijaga. Ia sempat tinggal di sebuah kamar yang terletak di Padukuhan Samirono. Lokasi yang terbilang strategis lantaran cukup dekat dengan kampusnya, sekaligus berada di pusat keramaian. Dekat dengan tempat hiburan seperti mal, kafe, dan sentra-sentra kuliner.

Ia tinggal di sana pada medio 2018 hingga 2020. Tarif sewanya juga hanya Rp250 ribu per bulan. Belum termasuk listrik dan WiFi. Untuk listrik, ia hanya mengeluarkan kocek, maksimal Rp50 ribu per bulan. Seringnya kurang dari jumlah tersebut.

Tempat tinggalnya bisa dibilang kos paling terjangkau di kawasan strategis itu. Selain perkara harga, tempat tinggalnya juga punya aturan yang bebas. Lebih tepatnya, tidak begitu terawasi.

“Biasa bawa pacar. Cukup bebas, asal tidak ketahuan. Tapi memang pemiliknya nggak ngurus dan mengawasi,” terangnya.

Tantangannya, ia harus benar-benar memastikan gang utama sedang sepi saat hendak membawa pacar di malam hari. Jika kondisi mendukung, ia bisa membawa kekasihnya masuk ke gang yang lebih sempit menuju kosnya. Gang yang hanya bisa untuk lewat satu motor.

“Sudah begitu, mesinnya harus mati jadi mendorong motor kos,” ujarnya. Gang sempit menuju bangunan panjangnya sekitar 30 meter. Bangunan ini memang berada di tengah impitan permukiman yang cukup padat.

Kos murah, antre kamar mandi

Kebebasan itu jadi daya tarik tersendiri. Meski urusan fasilitas memang tidak banyak yang ditawarkan. Luas kamarnya 3×3 meter. Bangunan dengan delapan kamar itu hanya punya satu kamar mandi.

Susahnya, saat bangun tidur dan ingin segera buang air, ternyata banyak yang sudah antre. Belum lagi jika bangunnya sudah mepet jam kuliah, sering mahasiswa ini harus rela terlambat.

Urusan buang sampah juga harus mengurus sendiri. Membawa tumpukan sampah ke TPS terdekat. Tak jarang, lantaran penghuni kos yang sama-sama malas, sampah menumpuk lebih dari sepekan sehingga menimbulkan bau tak sedap yang menjalar ke kamar.

Dua tahun tinggal di sana, ia hanya merogoh kocek sebanyak Rp4,5 juta dari yang seharusnya Rp6 juta. Alasannya pun terbilang kocak, “Pengurus kosnya nggak ingat aku belum bayar. Ya sudah aku diam saja,” begitu katanya sambil terkekeh.

Hal itu lantaran pemilik kos, yang merupakan seorang ibu-ibu, sudah meninggal. Pengurusan kos dilimpahkan ke anaknya yang ternyata tidak begitu mengurus bangunan itu. Bahkan hingga urusan pembayaran pun tidak tercatat dengen benar.

Dua tahun tinggal di tempat itu membuat ia bisa menekan pengeluaran. Namun, lama-lama ada rasa ingin meningkatkan kualitas tempat tinggal. Ia pun pindah mengontrak rumah bersama teman pada awal masa pandemi.

Kos penuh Tikus

Selanjutnya, saya menemui Fajar (19) seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia tinggal di kos berukuran 2×3 meter dengan harga Rp650 ribu per bulan. Harga sewanya memang terbilang normal, namun ternyata banyak pengalaman kurang mengenakkan yang ia rasakan.

Pernah suatu ketika ia sedang terburu-buru berangkat ke kampus. Naasnya Fajar mendapati kabel listrik motornya putus putus akibat gigitan tikus. Ia tinggal di bangunan yang penuh sampah berserakan dan sekawanan tikus nakal. 

Begitulah culture shock yang dialami Fajar, ketika memulai kehidupannya sebagai mahasiswa dan tinggal di kos-kosan. Dengan penuh kekesalan, ia menceritakan bahwa dua kali kosnya telah disusupi tikus, dan yang lebih mengkhawatirkan, tikus nakal tersebut sering kali berkeliaran di depan kamar kosnya.

“Dua kali si brengsek itu masuk ke kamar gua, yang pertama pas gua bangun tidur, eh dia masuk tuh dari jendela, gua kaget kan,” terang mahasiswa asal Bogor tersebut dengan kesal.

Sebenarnya lingkungan kos Fajar belum dibilang kumuh, dan kamar Fajar pun tidak pengap maupun lembab. Namun, permasalahan kos fajar dikarenakan seluruh kamar mandinya yang bau dan sampah yang berserakan dimana-mana hingga membuat sekawanan tikus tersebut datang ke kos Fajar.

Setelah insiden mengenaskan tersebut, rekan-rekan Fajar menyebut kosnya sebagai “Kos Tikus” karena saking banyaknya tikus itu berkeliaran. Fajar tetap memilih berada di kos tersebut dikarenakan sudah membayar selama satu tahun, dan akan berpindah kos ketika tenggat waktunya tiba.

Kos Fajar berukuran 2×3 meter dengan harga 650 ribu perbulan terbilang standar untuk seorang mahasiswa. Belakangan, harga kos di Jogja memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Harga kamar kos di Jogja rata-rata Rp600 ribu

Selain itu, saya sempat berbincang dengan Nova Kartika, pengelola Kampus Kost, sebuah manajemen yang mengelola lebih dari 100 kos di Jogja. Ia memaparkan bahwa harga sewa kamar di area sekitar kampus wilayah Depok, Sleman saja saat ini rata-rata ada di harga Rp600 ribu.

Nova juga melihat tren mahasiswa Jogja belakangan semakin menginginkan kepraktisan. Tidak mau repot mencari perabot besar untuk mengisi kamar. 

Kecenderungan mereka untuk berpindah-pindah juga tinggi sehingga kos isian lengkap hingga eksklusif sekarang semakin banyak dicari. Meski harganya tentu lebih mahal ketimbang kos biasa tanpa fasilitas memadahi.

Reporter: Salim Zaki Aflah
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bebas dan Nyaman, Kos Eksklusif Menjamur di Jogja, Kaum Mendang-mending Minggir Dulu

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version