Kos murah dan strategis itu butuh pengorbanan
Pengalaman tinggal di kos murah juga disampaikan Mail (24), seorang mahasiswa tingkat akhir di UIN Sunan Kalijaga. Ia sempat tinggal di sebuah kamar yang terletak di Padukuhan Samirono. Lokasi yang terbilang strategis lantaran cukup dekat dengan kampusnya, sekaligus berada di pusat keramaian. Dekat dengan tempat hiburan seperti mal, kafe, dan sentra-sentra kuliner.
Ia tinggal di sana pada medio 2018 hingga 2020. Tarif sewanya juga hanya Rp250 ribu per bulan. Belum termasuk listrik dan WiFi. Untuk listrik, ia hanya mengeluarkan kocek, maksimal Rp50 ribu per bulan. Seringnya kurang dari jumlah tersebut.
Tempat tinggalnya bisa dibilang kos paling terjangkau di kawasan strategis itu. Selain perkara harga, tempat tinggalnya juga punya aturan yang bebas. Lebih tepatnya, tidak begitu terawasi.
“Biasa bawa pacar. Cukup bebas, asal tidak ketahuan. Tapi memang pemiliknya nggak ngurus dan mengawasi,” terangnya.
Tantangannya, ia harus benar-benar memastikan gang utama sedang sepi saat hendak membawa pacar di malam hari. Jika kondisi mendukung, ia bisa membawa kekasihnya masuk ke gang yang lebih sempit menuju kosnya. Gang yang hanya bisa untuk lewat satu motor.
“Sudah begitu, mesinnya harus mati jadi mendorong motor kos,” ujarnya. Gang sempit menuju bangunan panjangnya sekitar 30 meter. Bangunan ini memang berada di tengah impitan permukiman yang cukup padat.
Kos murah, antre kamar mandi
Kebebasan itu jadi daya tarik tersendiri. Meski urusan fasilitas memang tidak banyak yang ditawarkan. Luas kamarnya 3×3 meter. Bangunan dengan delapan kamar itu hanya punya satu kamar mandi.
Susahnya, saat bangun tidur dan ingin segera buang air, ternyata banyak yang sudah antre. Belum lagi jika bangunnya sudah mepet jam kuliah, sering mahasiswa ini harus rela terlambat.
Urusan buang sampah juga harus mengurus sendiri. Membawa tumpukan sampah ke TPS terdekat. Tak jarang, lantaran penghuni kos yang sama-sama malas, sampah menumpuk lebih dari sepekan sehingga menimbulkan bau tak sedap yang menjalar ke kamar.
Dua tahun tinggal di sana, ia hanya merogoh kocek sebanyak Rp4,5 juta dari yang seharusnya Rp6 juta. Alasannya pun terbilang kocak, “Pengurus kosnya nggak ingat aku belum bayar. Ya sudah aku diam saja,” begitu katanya sambil terkekeh.
Hal itu lantaran pemilik kos, yang merupakan seorang ibu-ibu, sudah meninggal. Pengurusan kos dilimpahkan ke anaknya yang ternyata tidak begitu mengurus bangunan itu. Bahkan hingga urusan pembayaran pun tidak tercatat dengen benar.
Dua tahun tinggal di tempat itu membuat ia bisa menekan pengeluaran. Namun, lama-lama ada rasa ingin meningkatkan kualitas tempat tinggal. Ia pun pindah mengontrak rumah bersama teman pada awal masa pandemi.
Kos penuh Tikus
Selanjutnya, saya menemui Fajar (19) seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia tinggal di kos berukuran 2×3 meter dengan harga Rp650 ribu per bulan. Harga sewanya memang terbilang normal, namun ternyata banyak pengalaman kurang mengenakkan yang ia rasakan.
Pernah suatu ketika ia sedang terburu-buru berangkat ke kampus. Naasnya Fajar mendapati kabel listrik motornya putus putus akibat gigitan tikus. Ia tinggal di bangunan yang penuh sampah berserakan dan sekawanan tikus nakal.
Begitulah culture shock yang dialami Fajar, ketika memulai kehidupannya sebagai mahasiswa dan tinggal di kos-kosan. Dengan penuh kekesalan, ia menceritakan bahwa dua kali kosnya telah disusupi tikus, dan yang lebih mengkhawatirkan, tikus nakal tersebut sering kali berkeliaran di depan kamar kosnya.
“Dua kali si brengsek itu masuk ke kamar gua, yang pertama pas gua bangun tidur, eh dia masuk tuh dari jendela, gua kaget kan,” terang mahasiswa asal Bogor tersebut dengan kesal.
Sebenarnya lingkungan kos Fajar belum dibilang kumuh, dan kamar Fajar pun tidak pengap maupun lembab. Namun, permasalahan kos fajar dikarenakan seluruh kamar mandinya yang bau dan sampah yang berserakan dimana-mana hingga membuat sekawanan tikus tersebut datang ke kos Fajar.
Setelah insiden mengenaskan tersebut, rekan-rekan Fajar menyebut kosnya sebagai “Kos Tikus” karena saking banyaknya tikus itu berkeliaran. Fajar tetap memilih berada di kos tersebut dikarenakan sudah membayar selama satu tahun, dan akan berpindah kos ketika tenggat waktunya tiba.
Kos Fajar berukuran 2×3 meter dengan harga 650 ribu perbulan terbilang standar untuk seorang mahasiswa. Belakangan, harga kos di Jogja memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Harga kamar kos di Jogja rata-rata Rp600 ribu
Selain itu, saya sempat berbincang dengan Nova Kartika, pengelola Kampus Kost, sebuah manajemen yang mengelola lebih dari 100 kos di Jogja. Ia memaparkan bahwa harga sewa kamar di area sekitar kampus wilayah Depok, Sleman saja saat ini rata-rata ada di harga Rp600 ribu.
Nova juga melihat tren mahasiswa Jogja belakangan semakin menginginkan kepraktisan. Tidak mau repot mencari perabot besar untuk mengisi kamar.
Kecenderungan mereka untuk berpindah-pindah juga tinggi sehingga kos isian lengkap hingga eksklusif sekarang semakin banyak dicari. Meski harganya tentu lebih mahal ketimbang kos biasa tanpa fasilitas memadahi.
Reporter: Salim Zaki Aflah
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bebas dan Nyaman, Kos Eksklusif Menjamur di Jogja, Kaum Mendang-mending Minggir Dulu