Mie Ayam Pak Kliwon, Kesayangan Anak Teladan

Mie Ayam Pak Kliwon di SMA 1 Teladan Yogyakarta memang penuh dengan kenangan. Para siswa yang jadi pelanggannya punya cara sendiri buat bayar mie ayam ini.

***

Jika cuaca sedang panas-panasnya, apa yang biasanya ingin Anda santap? Kebanyakan mungkin menjawab minuman dingin. Tapi buat saya, mumpung cuaca panas, sekalian saja menyantap hidangan yang juga panas. Biar terbakar sekalian!

Nah, Kamis (12/5/2022) siang, cuaca di Jogja luar biasa panas. Maka, berangkatlah saya mencari menu makan siang yang panas. Apa yang saya cari? Sudah tentu mie ayam. Makanan favorit je!

Destinasi siang itu adalah mie ayam di daerah Pakuncen, Wirobrajan. Tepatnya di seberang SMA N 1 Teladan Yogyakarta. Sekolah yang konon katanya muridnya cerdas bin pinter. Penasaran ngga sih kenapa mereka bisa pinter gitu?

Lha ternyata mereka makannya juga mie ayam juga lur. Di seberang, sebelah utara sekolah ini, ada mie ayam yang begitu melegenda. Melekat di hati, rasanya jadi kenangan tersendiri. Namanya Mie Ayam Pak Kliwon.

gerobak mie ayam pak kliwon mojok.co
Gerobak Mie Ayam Pak Kliwon. (Oktavolama/Mojok.co)

Saya sampai di sana beberapa menit sebelum bel istirahat berbunyi. Suasana masih kondusif. Saya langung pesan mie ayam jamur pangsit ekstra pangsit minimalis. Saya duduk di kursi dengan meja kecil yang hanya bisa diisi sekitar 3 orang. Kalau mau lesehan sebenarnya juga bisa.

Tak sampai 5 menit pesanan saya sampai. Tampilan mie ayamnya cantik sekali, meski porsinya sudah jelas kalau menurut saya ya porsi makanan pembuka. Hehe. Tanpa berlama-lama saya sruput kuahnya. Rasa gurih segar cenderung asin terasa dominan. Ada sedikit hempasan bau bawang putih yang mengalun lembut. Sedap sekali.

Tipikal kuah yang saya suka dan biasanya tidak akan saya “nodai” dengan sambal, kecap, saos dan kawan-kawan lainnya. Mie-nya menggunakan mie pipih ukuran kecil. Kematangannya paripurna. Kekenyalannya masih terasa namun rasa tepungnya sudah hilang. Ini menandakan mie matang sempurna.

Ayamnya dipotong dadu kecil-kecil, dimasak ala semur agak gurih. Jamurnya juga dipotong dadu sehingga agak tersamarkan dengan ayam. Secara keseluruhan, rasa manis topping-nya tampil serasa malu-malu kucing.

Seporsi Mie Ayam Pak Kliwon ekstra pangsit. (Oktavolama/Mojok.co)

Pangsitnya adalah pangsit basah. Favorit saya. Meski sudah ada pangsit dalam seporsi mie ayamnya, saya biasa pesan pangsit tambahan. Menunya dinamakan pangsit minimalis. Isinya 5 pangsit basah plus kuah ditambah sawi dan sedikit potongan ayam.

Seporsi mie ayam jamur pangsit cukup ditebus dengan harga Rp8 ribu saja. Dan untuk pangsit tambahannya cukup dibayar seharga Rp5 ribu. Harganya bikin bahagia, bukan?

Makanan sudah saya tandaskan. Selanjutnya, mari kita mengulik kisah Mie Ayam Pak Kliwon yang konon bagi teman-teman alumni Teladan, mie ayam ini penuh kenangan.

Berawal dari ibukota, sukses di Yogyakarta

“Ini mau mendekati jam makan siang, Mas. Kalau anak-anak udah budhal (keluar) akan ramai. Nanti saya sambi (ngobrol sambil melayani pelanggan) nggak papa ya?” jawab Pak Gito (51) ketika saya meminta waktu beliau untuk ngobrol-ngobrol.

Saya mengangguk tak keberatan. Pak Gito pun memulai cerita.

“Saya dari Wonogiri. Sekitar tahun 1984 merantau ke Jakarta. Di sana saya ikut saudara. Ikut jualan mie ayam. Hingga kemudian saya coba jualan sendiri. Namun ya gitu. Hasilnya nggak seberapa.”

Beberapa pelanggan mulai datang. Pak Gito dengan sigap melayani pesanan. Setelah selesai ia melanjutkan cerita perjalanan hidupnya.

“Sekitar tahun 1991, kakak saya yang sudah jualan mie ayam di Jogja mengajak untuk ikut jualan di sana. Katanya jualan mie ayam di Jogja cukup menjanjikan. Akhirnya saya pindah ke Jogja,” ucap Pak Gito.

Pak Gito sedang meracik mie ayam yang dipesan pelanggannya. (Oktavolama/Mojok.co)

“Dulu jualannya di sana mas (menunjuk Jl. HOS Cokroaminoto yang lokasinya tak jauh dari tempatnya berjualan saat ini), seberang RS AMC Muhammadiyah. Itu kan dulunya kampus UMY.”

“Saya gantian jualannya sama kakak. Kakak saya jualan siang sampai sore. Saya jualan dari sore hingga malam sekitar jam 10. Selain UMY, dulu kan di sana (menunjuk Jogja National Museum) itu kampus ISI. Banyak mahasiswa yang di kampus sampai malam, jadi saya ya jagani (menunggu) para mahasiswa itu,” kata Pak Gito.

“Kemudian tahun 2000-an awal sama satpol PP nggak boleh jualan di situ, akhirnya kita pindah di depan (utara) SMA 1 Teladan ini. Itu pun berkali-kali pindah agar tidak mengganggu arus lalu lintas, sampai kemudian menetap di lokasi sekarang ini,” ucap Pak Gito

“Namun kakak saya sudah nggak jualan lagi, fokus ke produksi mie saja. Saya yang meneruskan jualannya. Alhamdulillah mampu bertahan sampai sekarang.”

Bagian dari keluarga Teladan

Pihak sekolah SMA 1 Yogyakarta tidak melarang Pak Gito untuk jualan di sana. Asalkan tetap menjaga kebersihan dan tidak melayani pelajar yang jajan di luar jam istirahat.

“Prinsipnya itu saya taati, lha wong hal baik juga. Kalau ada anak kok beli di luar jam istirahat ya saya karohke (konfirmasi) dulu.”

“Tapi ya namanya masih anak-anak to, Mas, ya yang ngeyel juga ada”, imbuh Bu Padmi (45) istri Pak Gito ikut nimbrung.

“Malah anak aksel (akselerasi) dulu sekelas malah pada jajan di sini semua. Padahal itu waktunya mau ulangan. Ya kita juga nggak tahu kan, datangnya ramai-ramai ya biasanya karena istirahat. Baru tahu ketika gurunya datang. Eh anak-anaknya pada bilang kalau lapar nggak bisa ngerjain ulangan. Ana-ana wae (ada-ada saja) lah, Mas,” katanya sambil terkekeh.

Pak Gito dan istrinya. (Oktavolama/Mojok.co)

Saya cuma bisa senyum sambil geleng-geleng kepala. Saya kira anak di SMA ini baik-baik semua ternyata kelakuannya ya sama aja kayak SMA lainnya.

“Namun harus saya akui, Mas, nakalnya anak-anak di sini sembada. Begitu lulus ya mereka beneran jadi orang sukses. Jadi pejabat lah, dokter lah,” ucap Padmi.

“Ada alumni yang sudah jadi pejabat dan anak buahnya ke sini. Anak buahnya malah hormat ke saya, sayanya malah nggak enak. Sering mereka pas jajan ke sini lagi saya godain, guyon soal kenakalan mereka zaman sekolah dulu yang malah bikin mereka malu sendiri,” sambar Pak Gito.

Sepertinya memang Pak Gito ini memegang banyak rahasia kenakalan alumni-alumni Teladan. Tak heran apabila banyak alumni yang dekat dengan beliau. Salah satunya malah ikut membantu Pak Gito melewati masa sulit saat pandemi.

“Ya saat pandemi penjualannya nggak surut banget. Tapi Kita terbantu adanya alumni yang menawarkan mie ayam frozen ke alumni lain lewat grup WA. Jadi kalau ada pesanan, kita siapkan mentahannya, nah si alumni tadi tinggal ambil dan mengemasnya secara khusus untuk di kirim berbagai daerah.”

Kaleng kejujuran

Pak Gito mengaku bahagia menjadi bagian dari keluarga SMA 1 Teladan. Tak jarang ia diundang dalam beberapa acara reuni alumni. Baik reuni siswa maupun guru dan staf SMA 1 Teladan.

“Lihat kaleng yang ada di gerbang itu? Nah itu sistem pembayaran yang dipakai oleh pembeli saya di lingkungan SMA 1. Jadi sistemnya seperti kantin kejujuran gitu. Di balik gerbang ada menu dan harganya, jadi bisa menghitung sendiri harga berapa. Bayarnya tinggal masukkan kaleng. Kalau ada kembalian ya ambil sendiri kembaliannya.”

“Kalau ada yang nggak bayar gimana, Pak?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut saya.

“Ya nggak tak pikir. Kan kadang kita juga lupa tadi pesannya berapa, apalagi kalau banyak. Jadi ya sudah kita relakan saja. Ikhlas.”

Bu Padmi menambahkan: “Malah kemudian banyak yang bayarnya entah kapan. Pernah ada yang tiba-tiba bayar Rp200 ribu. Padahal ya kita nggak tahu apa habisnya dulu segitu. Sering juga alumni kalau mampir jajan ke sini justru bayarnya berkali-kali lipat harga aslinya.”

Kaleng kejujuran yang tergantung di pagar SMA 1 Teladan Yogyakarta. (Oktavolama/Mojok.co)

Cuaca hari itu makin panas siang. Pembeli yang datang makin banyak. Waktu istirahat anak sekolah telah tiba. Pak Gito dan bu Padmi tangannya begitu tangkas melayani pelanggan. Pengalaman 30 tahun lebih di dunia mie ayam benar-benar menunjukkan ajinya.

Saya melihat sendiri, pesanan sekitar 20 mie ayam bisa disiapkan dengan cepat di atas gerobak biru sederhananya. Itu pun sambil meracik mie, seringkali disertai obrolan ataupun candaan dari Pak Gito kepada pelanggannya.

Sempat ada salah pesan, Pak Gito meminta maaf dan memperbaiki pesanan dengan cepat. Tak perlu wawancara ke pembeli. Melihat bagaimana Pak Gito melayani pelanggannya saja saya paham kenapa warung ini begitu dicintai banyak orang.

Tak terasa, jam makan siang telah lewat. Pembeli mulai berkurang. Pak Gito bisa istirahat. Saya pun pamit dan membayar pesanan. Oh ya, ada satu hal yang lupa saya ceritakan. Aslinya ini jadi pembuka obrolan saya dengan Pak Gito.

“Jadi, Mas. Kalau mencari nama Pak Kliwon di KTP saya ya nggak ada. Nama ini adalah parapan (panggilan) kakak saya. Karena yang pertama buka warung ini kan memang kakak saya. Meski kakak saya sudah pensiun jualan, ya nama ini tetap dipakai,” katanya sambil tersenyum.

===

Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga Juni 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.

Reporter: Oktavolama Akbar Budi Santosa
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Bu Tumini dan Warisan Mie Ayam Gagrak Sari Rasa Jatiayu dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version