Menulis nama pacar di kata pengantar skripsi sering jadi perdebatan. Mojok berbincang dengan mereka yang tidak takut melakukan hal itu meski nantinya hubungan putus dengan pasangan.
***
Saat mengerjakan awal bagian skripsi, saya berkeyakinan untuk menulis nama pacar saya di halaman pengantar. Meski tidak banyak memberikan bantuan teknis, tapi ia punya peran moral yang layak berjajar dengan teman dekat bahkan dosen yang saya beri sederet ucapan terima kasih.
Pada akhirnya nama perempuan itu tidak termaktub dalam halaman ucapan terima kasih di tugas akhir saya. Hubungan kami kandas beberapa bulan setelah proposal penelitian saya mendapat persetujuan dosen.
Saya merasa beruntung skripsi itu selesai saat saya tidak punya pasangan. Jadi, saya tidak perlu mengingat perempuan itu saat membuka lembaran-lembaran tugas akhir pada waktu-waktu mendatang.
Selain itu tidak perlu repot seandainya pacar baru atau pasangan saya kelak membuka skripsi itu dan bertanya, “Seberapa besar peran mantan kamu saat kamu kuliah dulu?”
Namun, bagi sebagian orang, menulis nama pacar di skripsi adalah sebuah keharusan. Bentuk rasa terima kasih pada sosok yang telah banyak menghabiskan waktu bersama pada masa-masa krusial menyelesaikan studi.
Salah satu keyakinan itu tumbuh di benak Hanif Himawan (24), alumnus salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja ini mengaku tidak punya keraguan sama sekali untuk menulis nama pacarnya di halaman pengantar tugas akhir. Buatnya peran kekasihnya sepanjang proses pengerjaan tugas akhir itu fakta yang tidak bisa dikesampingkan.
“Kami mulai benar-benar dekat saat aku sedang mulai mempersiapkan proposal penelitian,” kenangnya.
Saat itu Hanif adalah mahasiswa semester delapan di Jurusan Arsitektur. Kekasihnya merupakan adik tingkat satu tahun di jurusan yang sama. Kesamaan ini membuat mereka bisa banyak berkolaborasi dalam pengerjaan tugas akhir.
Dorongan pacar untuk menyelesaikan skripsi
Jurusan Arsitektur buat Hanif cukup melelahkan. Banyak tugas-tugas berupa proyek yang cukup memakan waktu sehingga ia baru mulai mengerjakan skripsi di semester delapan.
Namun, kehadiran pacar yang merupakan adik tingkatnya itu memacunya untuk bisa lulus dengan segera. Perempuan itu tidak pernah mendorong secara langsung agar ia harus segera lulus, bekerja, kemudian bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius.
“Tapi diriku sendiri yang jadi terpacu,” katanya.
Hanif jadi merasa ingin segera lulus karena tak mau pacarnya mendahului. Ia punya angan-angan untuk segera bekerja, kemudian menyisihkan uang itu untuk menabung. Demi dirinya sendiri, orang tua, dan bayang-bayang hidup bersama pasangan.
“Kalau aku lulus duluan, bisa bantuin dia ngerjakan skripsi juga,” ujarnya.
Buat lelaki asal Magelang ini, pasangan yang sama-sama sedang mengerjakan skripsi justru rawan konflik dan drama. Tugas akhir itu memang kerap menyita waktu, tenaga, dan emosi mahasiswa. Ia punya keyakinan selesai lebih dahulu dapat menghindari konflik-konflik tak perlu.
Pada masa-masa itu, mereka mengerjakan mereka kerap banyak menghabiskan waktu bersama di depan laptop masing-masing. Hanif dengan skripsinya sementara sang kekasih dengan tugas-tugas kuliah.
Menjalani proses bersama itu memang menjadi penguat dalam menjalin hubungan. Ia mengakui bahwa pacaran itu bak pisau bermata dua. Saat sedang berjalan baik, relasi itu bisa menjadi dorongan agar selalu produktif. Namun, saat sedang banyak konflik, pikirannya kerap tersita.
Sehingga ia merasa cukup berterima kasih pada pacarnya. Perempuan itu telah memahami dan tidak mengedepankan ego pribadi saat Hanif melewati masa-masa berat selama mengerjakan skripsi.
Saat suntuk, mereka berdua kerap mengitari jalan-jalan di Sleman untuk mencari angin segar. Berlanjut mampir di destinasi kuliner untuk mengisi tenaga, sebelum kembali lagi memeras pikiran di depan laptop.
Peran secara langsung dan tidak langsung dari pacarnya itu membuat Hanif mantap untuk menuliskan sebuah ucapan terima kasih di kata pengantar skripsi. Baginya, tidak ada keraguan sama sekali mengingat besarnya peran perempuan itu.
Putus bukan jadi persoalan menulis nama pacar di skripsi
Ia menyerahkan versi final skripsinya pada dosen pembimbing dan penguji pada pertengahan 2021 silam. Saat itu karena pandemi sedang cukup parah, proses ujian berlangsung secara daring.
“Pas minta tanda tangan juga nggak ada komentar dari dosen. Mungkin karena daring ya jadinya cuma cek lembar pengesahan dan persetujuan saja,” ujarnya tertawa.
Hanif tak menampik bahwa hubungan ini belum tentu berakhir ke jenjang pernikahan. Meski sudah sama-sama serius menatap masa depan segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Namun, sekali lagi, fakta bahwa pacarnya sudah banyak berperan tidak membuatnya menyesali keputusan untuk menuliskan nama pacar di pengantar skripsi. Sampai sekarang, hubungan mereka sudah berjalan tiga tahun.
“Nggak ada kekhawatiran kalau putus nanti akan bagaimana. Secara realistis dia memang bantu banyak. Temanku yang bantu juga aku tulis namanya masak dia nggak? Memang siapa sih yang mau baca skripsiku? Aku aja malas ha-ha-ha,” selorohnya.
Pendapat serupa juga datang dari Cinde (22), alumnus sebuah sekolah tinggi di Jogja ini sempat menuliskan nama kekasihnya di skripsi. Lelaki itu sudah menemaninya sejak semester enam. Membantu proses pengerjaan skripsi dari awal sampai akhir.
“Aku merasakan dihargai oleh seorang cowok sepanjang hubungan bareng dia,” tuturnya.
Pada masa menentukan itu, pacar Cinde kerap mengingatkan agar fokus menuntaskan skripsi. Ketika ia merasa bosan, lelaki itu pun kerap mengajaknya keluar mencari hiburan. Bahkan pacarnya turut berperan dalam urusan teknis mencari responden penelitian dan pengeditan tulisan.
Cinde lulus ujian skripsi pada Januari 2023 lalu. Rasa bahagia membuncah di hatinya. Namun, selang sebulan, ternyata nasib membawanya ke arah berlawanan. Ia harus menyudahi hubungan dengan kekasihnya.
“Tapi aku nggak pernah menyesal sudah menulis namanya,” katanya.
Buat Cinde, lelaki itu tetap punya peran besar yang tidak perlu disembuyikan. Meski keduanya memutuskan mengambil jalan berbeda di persimpangan hidup.
Perspektif dosen
Sebenarnya tidak ada aturan baku urusan menulis nama pacar di kata pengantar maupun halaman persembahan skripsi. Namun, setiap dosen yang membimbing mahasiswa punya perspektif berbeda-beda urusan ini.
Dr. Hendi Pratama, dosen Universitas Negeri Semarang yang terkenal dengan konten-konten videonya di media sosial pernah menyarankan agar tidak menulis nama pacar di skripsi. Menurut penuturannya, kebanyakan pasangan yang mahasiswa tulis memang tidak berakhir sebagai pasangan resmi di pernikahan.
“90 persen nanti nikahnya sama orang lain. Termasuk saya,” kelakarnya dalam sebuah video unggahan di Instagram.
Ia menceritakan pengalaman diolok-olok istri lantaran menulis nama mantan pacarnya di skripsi. Meski hanya bersifat anjuran, ia berpesan agar mahasiswa yang mencantumkan nama pacarnya dihapus atau diganti inisial saja.
Perspektif lain datang dari dosen sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Dr. Muryanti. Menurutnya menulis nama pacar di tugas akhir tidak perlu menjadi kekhawatiran. Kata pengantar skripsi bukan jadi hal substansial menyangkut konteks penelitian. Sehingga asal dengan menulisnya jadi bahagia, menurut Muryanti, silakan lanjutkan saja.
Ia menerangkan menulis nama pacar memang bisa berpengaruh bagi psikologis mahasiswa. Baik bagi penulisnya maupun sosok yang namanya tercantum.
“Kedua-duanya merasa bahagia saat tulisan tersebut tercantum di skripsi. Dan keputusan mencantumkan itu tidak berlaku surut,” ujarnya.
Menurutnya saat ini justru semakin banyak mahasiswa yang bukannya menulis nama pacar, tapi mencantumkan rasa terima kasih pada diri sendiri. Mungkin ini dampak dari kesadaran anak muda tentang konsep mencintai diri. Namun, apa pun itu, skripsi yang baik adalah yang selesai dan dikerjakan dengan proses yang jujur.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Derita Mahasiswa Skripsi, Dosen Sibuk hingga Dosen Pembimbing Meninggal.
Cek berita dan artikel lainnya di Google News