Sisi metafisika gamelan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional
Pada saat bersamaan, ia juga mengakui bahwa alat musik ini punya sisi metafisika yang kadang tak bisa ia jelaskan secara rasional. “Saya yang sudah lama dekat dengan gamelan pernah mengalaminya sendiri. Bukan sekali dua kali,” katanya.
Suatu ketika ia mengaku pernah menyaksikan tabuh di sebuah ruangan jatuh secara tiba-tiba. Padahal tidak ada goncangan maupun angin kencang lantaran areanya tertutup.
Pada kesempatan lain ia juga mengaku sempat mendengar gamelan berbunyi di sebuah ruangan. Padahal tidak ada seseorang pun yang berada di dalam tempat tersebut.
“Ya itu pengalaman nyata yang saya alami,” tuturnya.
Baginya gamelan memang punya sisi sakral. Di Keraton misalnya, ada alat musik yang menjadi bagian dari pusaka dan tidak bisa sembarang orang yang memainkannya. Namun, tetap ada yang untuk kebutuhan wisata dan bisa diakses oleh semua kalangan.
“Gamelan untuk wisata biasanya ada di Bangsal Sri Manganti misalnya,” terangnya.
Penting untuk memisahkan kedua hal ini sehingga tidak saling tumpang tindih. Terlebih, membuat sisi seram dari kesenian ini lebih dominan. Di luar lokasi yang memang menjadikannya sebagai pusaka, gamelan adalah alat musik biasa yang inklusif untuk siapa saja yang ingin memainkannya.
Perihal suara gamelan tengah malam, sebenarnya ia punya beberapa penjelasan rasional. Jogja adalah salah satu pusat pelestarian alat musik ini. Sehingga lumrah jika banyak terdengar suara tabuhan di beragam titik. Terutama di sekitar Keraton maupun pusat-pusat kebudayaan.
Bukan hal yang muskil pula jika tengah malam ada yang menyetel suara gamelan dari perangkat audio. Saat tengah malam suara merayap lebih jauh karena suasananya sunyi.
“Misalnya saya main gamelan di atas Taman Sari tengah malam, tanpa amplifikasi sound, suaranya pasti terdengar lebih jauh,” ujarnya seraya menunjuk bangunan bersejarah di belakangnya.
Melestarikan tradisi panjang di Jogja
Kini menurutnya, jadi momen untuk bersama-sama melestarikan alat musik ini. Terutama bagi kalangan muda di Jogja. Sebab wilayah ini punya gamelan dengan instrument yang kompleks dan khas.
“Instrumentasi gamelan paling lengkap itu ya di Jogja dan Solo. Walaupun alat musik ini ada di mana-mana dari Banyuwangi sampai Betawi,” terangnya.
Kedua daerah ini, menurut Sudaryanto, dulunya memiliki karakter yang sama yakni Mataraman. Perpisahan kedua wilayah ini menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti akhirnya turut membuat corak kesenian musiknya berbeda.
“Saat itu empu-empunya juga kemudian menjadi dua bagian,” katanya.
Belakangan ia melihat kedua tradisi gamelan di kedua daerah ini juga mulai kembali berakulturasi. Selain itu juga mulai banyak anak muda yang memadukan alat musik ini dengan beragam instrument lain seperti orkestra sampai musik elektronik.
Hal semacam ini jadi salah satu cara agar tradisi Jawa ini terus bertahan melintas zaman. Seperti malam di Plaza Ngasem saat itu, anak-anak menabuh gamelan dengan riang dan gembira.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Sedih Burung Kuntul di Dusun Ketingan karena Kena Jalan Tol
Cek berita dan artikel lainnya di Google News