MOJOK.CO- Sudah satu windu lebih, Arif Nuh Safri menjadi sosok guru spiritual bagi para waria yang nyantri di Pesantren Al-Fatah, Kotagede, Yogyakarta. Ketika mayoritas orang menganggap “menjadi waria” sebagai sebuah dosa dan penyimpangan, Ustaz Arif justru berfikir lain. Baginya waria mesti dipandang sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup serta beragama. Tak pelak, kehadiran sosok seperti Ustaz Arif pun menjadi oase bagi puluhan waria yang ingin belajar tentang agama.
Semua bermula di tahun 2010, saat Arif masih bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Akhir Universitas Islam Indonesia (SMA UII), Yogyakarta. Pada suatu hari, Murtidjo, rekan kerja Arif, mengajaknya pergi menyambangi Pesantren Waria. Murtidjo termasuk pendamping pertama sejak Pesantren Waria berdiri tahun 2008. Waktu itu, pesantren tersebut masih terletak di kawasan Notoyudan, tepatnya di rumah seorang waria bernama Maryani.
Ketika melihat para waria yang serius mengaji, Arif jadi terenyuh. Ia langsung meminta izin Maryani supaya bisa ikut mendampingi santri-santri waria itu dalam belajar. Tentu saja Maryani langsung mengiyakan tanpa syarat. Sebab, mencari ustaz yang mau mengajar waria secara sukarela, bukan perkara gampang. Singkat cerita, Arif pun resmi mengajar di Pesantren Waria.
Pada saat awal mengajar, Arif merasa canggung dan gelisah. Bagaimanapun, dia juga masih belum lepas sepenuhnya dari stigma tentang waria yang berkembang di masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini akhrinya bisa memahami kondisi waria.
“Di situ pentingnya lita’arafu, saya memaknai lita’arafu bukan hanya kenal-mengenal saja, tetapi juga memahami. Nah, cara terbaik memahami orang tentu saja dengan berdialog,” kata Arif. “Kalau sekadar mengenal, saya juga kenal Pak Jokowi dari media. Tapi, kan saya ndak memahami beliau,” tambahnya.
Selama mengajar di Pesantren Waria Al-Fatah, Arif kemudian menyadari bila waria kerap tidak diterima oleh masyarakat. Mereka susah memasuki ruang-ruang sosial yang ada. Akibatnya, banyak waria yang sulit mendapat pekerjaan. Kondisi macam inilah yang memaksa para waria untuk bekerja di dunia jalanan, seperti mengamen dan nyebong. Beberapa yang lumayan beruntung biasanya bekerja di salon atau membuka usaha katering.
Tak hanya soal pekerjaan, bahkan dalam ruang ibadah seperti masjid pun, waria kerap memperoleh sikap diskriminatif dari masyarakat. Hal ini yang membuat Arif makin menaruh simpati terhadap mereka.
“Kadang-kadang sebagai manusia, kita ini nggak begitu adil dalam menyikapi masalah,” ujar alumni Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tersebut. “Misalnya, kalau koruptor ingin beribadah di masjid, orang nggak ada masalah tuh. Nggak ada yang keberatan kok. Kenapa kalau waria lain sikapnya? Kan nggak adil. Soal benar atau batil itu bisa dilihat, tapi sebagai mahluk berakal, untuk menyikapinya kita mesti adil.”
Tahun 2016, saat isu gerakan Lesbian Gay Biseks Transgender (LGBT) mencuat dan heboh di Jogja, Pesantren Al-Fatah digeropyok oleh sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi masyarakat Front Jihad Islam (FJI). Waktu itu bulan Februari, tepatnya hari Jumat, tanggal 19. Untungnya, sebelum kedatangan FJI, Arif dan Kepolisian Banguntapan sudah mengevakuasi para santri waria terlebih dahulu.
“Saya sempat nanya sama ketua FJI, Abdurrahman, alasannya apa ingin membubarkan pesantren ini. Dia jawab kalau pesantren ini sedang menyusun fikih waria dan hendak melegalkan pernikahan sejenis, padahal nggak sama sekali. Saya yakin sumbernya dari media provokatif,” ujar Arif. “Boro-boro mikir sampai kesitu, para waria bisa beribadah dengan nyaman dan diterima masyarakat saja sudah luar biasa.”
Sementara di sisi lain, Arif tak habis fikir mengapa saat membahas soal LGBT atau seks, selalu saja orang kebanyakan mengacu pada isu pernikahan sejenis. Dengan kata lain, orang cenderung bicara seks dalam ranah hubungan badan semata. Padahal, banyak aspek yang juga penting untuk dikritisi.
“Kalau dalam fikih seks secara sederhana cuma ada tiga, yakni laki-laki, perempuan, dan khunsa. Sayangnya khunsa diidentikan dengan waria. Padahal beda. Khunsa bicara seks dalam artian anatomi tubuh. Kalau waria, transgender, itu bicara mukhonats. Eskpresi seks, orientasi, hasrat,” kata Arif.
Menurut Arif, fikih harus menyediakan ruang bagi mukhonats. “Bukan realitas yang mesti menyesuaikan fikih tapi fikih yang harus menyesuaikan realitas,” ujarnya. “Ini bukan berarti saya mendukung pernikahan sejenis lo, jangan dimaknai seperti itu.”
Arif menghimbau supaya masyarakat menghilangkan stigma terhadap waria. Karena, lanjut Arif, pada dasarnya tidak ada yang ingin hidup seperti itu. Dia lalu bercerita mengenai salah seorang temannya yang sampai menjalani terapi ruqyah karena merasa tidak terima dengan orientasi seksnya yang cenderung suka pada sesama lelaki. Tapi, itu tak berhasil. Begitupun santri warianya, tak sedikit yang dulu berontak terhadap diri mereka sendiri.
“Terlepas dari apakah Allah akan menghakimi mereka salah atau benar, itu urusan nanti, urusan Allah, bukan kita. Kalaupun menjadi waria dianggap menyimpang dari ajaran agama, paling nggak terimalah mereka sebagai manusia,” ujar Arif.
Saat ini, Arif sibuk mengajar di Institut Ilmu Al-Quran An-Nur dan Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga. Walau begitu, saban Minggu sore, dia tetap menyempatkan diri untuk pergi ke Pesantren Waria Al-Fatah di Kotagede.
Setiap bakda Magrib, Arif mengampu kelas pengajian Bulughul Maram. Selain Arif, pengajar yang tersisa kini tinggal Masturiah Sya’dan. Kadang, mereka ketambahan tenaga relawan yang berasal dari mahasiswa atau pegiat sosial.
Dulu, Pesantren Waria aktif di hari Senin dan Kamis. Namun, sekarang cuma aktif di hari Minggu saja, lantaran tuntutan hidup para waria yang membuat mereka harus bekerja lebih keras untuk makan. Meski demikian, jam aktif Senin dan Kamis masih berlaku, walau hanya di bulan Ramadan. Di bulan suci tersebut, Arif kerap datang pukul dua dinihari untuk salat tahajud dan kemudian sahur bersama para waria.
Saat ini, waria yang tercatat nyantri di Al-Fatah berjumlah sekitar 40-an orang. Akan tetapi, pada saat jam aktif pesantren, paling banyak cuma 10 waria saja yang biasanya mengikuti kegiatan. Sedangkan mayoritas santri aktif hanya bila ada peringatan hari-hari tertentu, seperti Iduladha atau Transgender Day. Karena memang di hari-hari semacam itu, Pesantren Waria Al-Fatah punya agenda khusus.
Misalnya, pada saat Transgender Day, santri waria Al-Fatah kerap diundang untuk mengisi kuliah singkat di Universitas Gadjah Mada (UGM) atau di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Kemudian di Hari Raya Iduladha, mereka senantiasa berkurban.
Para waria yang nyantri di Al-Fatah biasanya mengenakan pakaian sebagaimana standar pesantren pada umumnya. Di antara mereka ada yang mengenakan sarung, peci, dan baju koko, ada pula yang berjilbab serta mengenakan gamis pada saat kegiatan pesantren aktif.
Meski tak bisa melepas begitu saja kehidupan jalanan mereka. Namun, dengan adanya pesantren tersebut dan orang-orang semacam Arif Nuh Safri, paling tidak ada yang menjadi tempat bagi para waria untuk belajar agama.