Cerita tentang Suster Yani, hantu di sebuah sekolah di Yogyakarta bukan hanya sekadar mitos. Banyak siswa yang mengalami dan menyaksikan kehadiran dari hantu di sekolah yang dulunya adalah sebuah rumah sakit.
***
“Kamu anggap enteng sekolahku dengan cara nulis liputan horor mecam itu, ya?” Sebut saja Kim (31) dalam sebuah pesan WhatsApp yang membuat pagi saya terasa amat kemecer.
Ia kemudian mengirimkan pesan tambahan. “Sekolah aku itu seram sekali, kok kesannya dibuat cemen sama liputanmu?” Lengkap sudah, pagi saya yang harusnya indah, menjadi runtuh secara perlahan.
“Hanya bisikan dan sekelebat bayangan? Ah, sialan, itu nggak ada apa-apanya dengan cerita horor pada jamanku dulu!” Kim memberondong kolom pesan WhatsApp kami, tanpa menunggu jeda guna saya sela untuk membela.
“Kamu kalau mau, aku ceritakan semua. Nggak perlu kamu ragukan keabsahannya, aku dan tim teaterku saksi mata eksistensi Suster Yani!”
Pagi yang amat dingin di Bantul, marah-marah seorang Kim, dan suasana suwung di kamar saya, memaksa saya untuk kembali membaca liputan Mitos Cerita Seram Sekolah Angker yang Ada di Jogja untuk yang kesekian kalinya. Sekolah yang dimaksud oleh Kim, dalam liputan tersebut, memang terkesan paling cupu dari cerita horor sekolah yang lain.
Padahal, menurut kisah dari mulut ke mulut siswa Jogja, sekolah tersebut berada di garda terdepan perihal sekolah yang paling angker. Setelah membaca ulang liputan tersebut, saya melamun di pagi buta sembari ditemani kokokan ayam yang bekerja sebagaimana mestinya. Kabut tak pernah sampai ke Banguntapan, bahkan Pleret pun jarang dilaluinya. Namun, pagi itu, rasanya amat baik untuk menyadari, bahwa manusia tidak sendiri tinggal di bumi. Ada sebuah dunia, di mana hanya spirit tertentu yang bisa menjangkaunya.
Marah-marahnya Kim perihal Suster Yani, tentu beralasan. Sebagai orang yang pernah mengalami, lantas membaca cerita yang kesannya jauh dari kondisi—seram—yang sebenarnya, Kim layak muntab. Tentu ini bukan salah narasumber, hanya saja ini perihal tingkat seram yang saya angkat dalam liputan.
Mungkin sama saat saya menuliskan Mitos Hantu di UGM dan Mereka yang Pernah Mengalaminya pasti ada cerita-cerita yang mungkin lebih seram, namun kebetulan saya tidak mendapatkan narasumber yang menceritakan pengalamannya.
Lamunan saya kemepyar. Tiba-tiba ponsel saya kembali berdering, ah, Kim lagi. Pesan tersebut, dengan nada yang—entah—marah atau bersemangat guna bercerita, berisikan ajakan untuk bertemu. “Untuk meluruskan saja. Suster Yani nggak bisa diperlakukan seperti ini, Gus,” jelasnya, saya pun hanya manthuk-manthuk sembari membalas; Bisa, mas. Ketemu sekarang pun bisa.
Ternyata pagi di Banguntapan tidak berjalan sendirian, ia ditemani mendung yang bergelayut mesra menimbulkan kesan bahwa cahaya matahari tak bisa menerobos sempurna. Pagi dan mendung seperti berkawan, mereka seperti hendak membuat kamar kecil saya ini makin terasa suwung dan nyeyat.
Kim is typing…, begitu ujar kolom chat kami pada bagian atas. Setelah lama mengetik, akhirnya ponsel saya kembali berdering. Isi pesan tersebut bertuliskan begini. “Kita ketemunya malam, ya? Itupun kalau kamu punya nyali!” Terasa seperti sebuah ancaman ketimbang sebuah janjian pertemuan.
Kelompok teater yang sudah biasa diganggu Suster Yani
Malam telah larut ketika saya sampai di tempat yang dimaksud. Saya datang terlebih dahulu. Di sebuah kedai kopi di Bilangan Lempuyangan, Yogyakarta. Kedai kopi yang berdekatan dengan rel kereta api, bak beririsan ketika kereta melintas dan saya bisa melihat beberapa orang di dalam gerbong yang sedang dalam keadaan pergi atau pulang, dengan muara yang sama—menuju Stasiun Lempuyangan.
Sudah dua kereta mentas di depan saya. Ada yang langsung melintas dengan membunyikan klakson yang memekakkan telinga, ada pula yang melambat lantaran akan masuk stasiun dan menjemput penumpang. Dari sekian banyak kejadian yang berkelindan di pandangan mata saya, Kim tak kunjung datang.
Kedai tutup jam sepuluh. Begitu informasi dari pihak kedai kopi. Apa asiknya minum kopi hanya sampai jam sepuluh? Namun itulah konsekuensi dari mata rantai Covid-19 yang tak kunjung teratasi. Sekelebat, laki-laki langsung dan rambut berponi melihat saya dari kejauhan. Bagaimana pun, usia tak menunjukan gaya dan tampang. Malam itu, Kim nampak amat segar seperti kopi taro yang saya pesan.
Ketika duduk, wajahnya yang riang berubah menjadi tegang. Saya baru ingat, ini adalah Kim yang tidak terima lantaran sekolahnya yang angker, saya wartakan dengan kesan tidak seram-seram amat. “Mau cerita yang lebih seram?” begitu kalimat pembukanya. Tanpa tedeng aling-aling, mak tratap membuat saya harus menyeruput kopi saya cepat-cepat sambil mengangguk dengan mantap.
“Sekolahku itu bekas rumah sakit. Itu adalah sebuah fakta. Pasca-kemerdekaan, sekolahku masih digunakan sebagai rumah sakit dan aktif. Entah pada tahun berapa, bangunan itu dialihfungsikan menjadi sebuah pindahan dari bangunan sekolah sore untuk salah satu SMA negeri di Jogja. Pada tahun 80-an, lahirlah sekolahku—bukan hanya sekolah sore saja—namun dengan bangunan layaknya rumah sakit,” katanya.
Kim lebih banyak menjelaskan bagaimana keadaan sekolahnya yang menurutnya, lebih cocok disebut rumah sakit ketimbang sekolah. “Dinding yang tinggi, serta jendela yang besar-besar, menimbulkan kesan dingin dan singup. Sekolahku pada 2004 itu masih seperti rumah sakit. Banyak bangunan yang belum dipugar, walau banyak juga pembangunan gedung yang baru.”
Lebih lanjut lagi, Kim mengatakan bahwa bangsal dan lorong yang menghubungkan antara bangunan tersebut dengan ruang kelas yang baru, adalah asli seasli-aslinya asli bekas rumah sakit. Ada beberapa bangunan lagi selain bangsal dan lorong penghubung, yakni kamar mandi. “Jarang dipakai kecuali kalau mau mesum,” katanya sambil bercanda ketika menjelaskan detail kamar mandi yang terkenal angker itu.
Kim menjabarkan sejarah hantu Suster Yani. Menurutnya, ada beberapa versi. Pertama, hantu suster itu ada karena mitos dirinya bunuh diri. Dalih dan di mana ia bunuh diri, menjadi suatu sub-mitos tersendiri yang rasanya akan selalu abadi menjadi perbincangan para siswa SMA-nya. “Mitos di dalam mitos. Itu seru sekali. Dan aku yakin, sekolah lain juga punya mitos-mitos tersebut. Seperti mitos kamar mayat di sebuah sekolah bekas rumah sakit,” jelas Kim.
Kedua, mitos Suster Yani dibunuh oleh dokter. “Mungkin mitos ini ada karena kami banyak nonton film horor-aksi,” katanya, memberi sebuah isyarat bahwa mitos Suster Yani, biarkan ada tanpa harus dicari tahu penyebab kematiannya.
Dengan sedikit adanya jeda lantaran ia membakar Djarum Super kesukaannya, Kim mengatakan bahwa di antara lorong dan bangsal tersebut, terdapat sebuah pintu yang dominan dari kaca dengan konsep geser-tekuk khas jaman dahulu.
“Pintu itu, banyak meninggalkan kisah-kisah menyeramkan sekaligus kenanganku sebagai anak teater,” katanya, matanya berkilat dan poninya tidak bergerak lantaran kedai kopi tersebut, entah kenapa, enggan disambangi angin. Padahal, Jogja malam ini adalah Jogja yang lembab. Amat lembab.
Kim merokok, kemudian menghembuskan asap ke udara, membentuk kepul seperti awan putih yang kemudian ia cabik-cabik dengan tangannya sendiri. Ia mendesis, sambat sedikit lantaran kopi pesanannya tak kunjung datang, namun ia tetap melanjutkan ceritanya.
“Tim teaterku, rasanya seperti sudah bersahabat dengan Suster Yani. Ketika hendak berlatih dan mengisi presensi, selalu ada nama Yani pada bagian paling akhir. Itu kami lakukan karena sering banget blio muncul.”
Tim teater Kim, menurut keterangannya, mendapat jatah menggunakan bangsal pada malam hari karena harus mengalah dengan acara-acara OSIS. “Pulang sekolah sampai sore biasanya bangsal dipakai kegiatan-kegiatan OSIS. Tim teater kebagian pada malam hari. Waktu itu, tahun 2004 sebagai siswa baru, melihat SMA-ku pada malam hari, rasanya sungguh berbeda. Makin mencekam. Bikin bulu kuduk meremang.”
Kim melanjutkan, “Hal-hal seperti ini yang bikin tim teater kebal akan godaan Suster Yani. Ya, walau pun nggak kebal-kebal amat, takut sudah pasti, namun mau bagaimana lagi, kan? The show must go on. Pementasan di depan mata.”
“Goadaan apa aja yang biasanya dilakukan oleh Suster Yani, Mas?” tanya saya, kembali menyeruput kopi, amat dikit, entah yang keberapa.
Kereta datang menuju arah Stasiun Lempuyangan. Klaksonnya sungguh memekakan telinga. Dan saat itu pula poni milik Kim akhirnya bergerak dengan bebas. Mobat-mabit seperti berteriak dengan girang. Seperti ilalang yang disambit oleh orang yang sedang ngarit. Tatapannya dingin, ia berkata, “Mulai dari menampakkan wujud, sampai orang yang memanjat dinding bangsal saat kerasukan, semua pernah aku alami…”
Mulai dari dirasuki, melihat, sampai diganggu saat pementasan
“Malam kembali datang, itu tandanya aku harus menyiapkan pementasan yang akan menjelang. Malam itu udaranya terasa amat berat. Di dalam bangsal, setelah OSIS selesai dengan kegiatannya, kami bersiap untuk latihan. Lagi-lagi, nama Yani terpampang pada kertas bagian bawah sendiri. Kata kawanku, kehadiran Yani harus dihargai.
“Kami berlatih dan berlatih sampai jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku melihat ke pintu yang membatasi bangsal dengan lorong bekas rumah sakit, pintu geser-tekuk yang dominan dari kaca itu, malam itu agak sedikit aneh. Ah, barangkali karena aku kecapekan, awalnya begitu pikirku. Sebuah pikiran yang selalu positif—atau setidaknya mencoba selalu positif.
“Kami beristirahat. Tidak banyak berbincang. Sebagai siswa baru dan baru beberapa kali melakoni latihan malam di bangsal, sekolah ini terasa amat menyeramkan sekalipun seluruh lampu di bangsal dinyalakan secara total. Aku minum air, menyeka keringat. Lamat-lamat, terdengar suara….”
Klethak… klethak… klethak…
“Begitu suaranya. Aku langsung melihat ke arah pintu geser-tekuk, yang seluruh kacanya bergemerutuk. Ah, sial, padahal, pintu-pintu di sebelahnya tidak bergoyang sama sekali. Hanya pintu yang menghubungkan lorong dan bangsal saja yang bergetar. Tidak ada angin, tidak ada gempa.”
Klethak…klethak…klethak…
“Aku melihat kakak kelas, semua tenang. Yang membuatku tercengang, pelatih teater kami yang merupakan mahasiswa asal kampus ISI, berujar; wah, Suster Yani sudah datang. Saatnya pulang. Astaga, sesering itukah Suster Yani menganggu mereka sampai mereka merasa biasa saja ketika digoda? Sebagai murid angkatan baru saat itu, jelas kakiku menjadi ngewel. Malam di tahun 2004 yang amat panjang.”
Saya hanya mengangguk dan mengangguk. Sesekali mengusap lengan lantaran dingin mulai menyerbu. Dari cerita Kim, saya bisa mendapatkan gambaran seberapa kebalnya siswa-siswa tim teater tersebut ketika diganggu oleh sosok Suster Yani.
Kim yang merupakan seorang penulis novel, amat detail dalam menjabarkan tiap ekspresi dan tiap segmen serta penggal sebuah cerita. Bahkan saya takut terdapat kekurangan dalam mewartakan tiap gerak, gestur, dan ekspresi seorang Kim yang atraktif sekali malam itu.
Ujar Kim, Suster Yani tidak selamanya merugikan tim teater SMA-nya. “Pernah suatu kejadian, sesuatu yang bikin bulu kuduk berdiri dan meremang, justru disambut oleh tepuk tangan meriah tamu undangan pementasan drama,” katanya dengan penuh kenang. Bagaimana bisa?
Kim melanjutkan cerita lainnya. “Pentas pun dimulai. Undangan disebar dan tiket nggak dijual secara umum. Malam sekitar jam delapan, tamu berdatangan menuju bangsal. Aku waktu itu jadi bagian di luar pentas dan mengurusi berbagai keperluan panggung maupun tamu undangan. Semua lancar, baik, dan berjalan sebagaimana mestinya, namun ada satu hal yang bikin aku nggak habis pikir…”
“Satu hal apa, Mas Kim?” tanya saya, suara Kim yang lirih, ha kok bikin saya jadi merinding dan kepuyuh.
“Pementasan itu bercerita tentang….. Eh, sebentar, sebentar, secara umum, pementasan malam itu nggak ada unsur kebudayaan Jawa lantaran ada alunan piano modern gitu. Beberapa saat menjelang, terdengar gamelan yang bertalu. Sumpah, mukaku saat itu langsung mlotrok dan mendelik ke kanan maupun kiri. Kata pelatih, semua harus tetap berjalan. Ya, lagi-lagi, the show must go on…
“Suara gamelan itu terus bertalu. Tidak ada yang menggunakan gamelan dalam pementasan malam ini. Tim audio pun kebingungan. Ternyata yang mendengar tidak hanya kami saja, melainkan seluruh tamu undangan. Semua bertepuk tangan, merasa terpuaskan,” tutupnya. Kopinya datang, wajahnya yang diterjang sinar lampu menampilkan sorot yang bahagia. Kopi, rokok, dan sebuah obrolan, apalagi yang lebih sempurna dari tiga kesatuan itu?
Kim sendiri tidak yakin bahwa kejadian itu masih dalam campur tangan Suster Yani atau bukan. “Itu area Suster Yani karena kalau di lapangan, mitosnya lain lagi, yakni pocong. Tapi ya itu tadi, sampai saat ini, kami nggak tahu siapa yang menyalakan musik gamelan, namun kami harus berterima kasih lantaran pentas itu menjadi tambah semarak.”
Tidak sedikit yang melihat langsung sosok Suster Yani. Keterangan Kim, ada kawannya yang melihat langsung dan Suster Yani, secara penampilan, bisa dibedakan dengan kuntilanak. “Jelas berbeda (antara kuntilanak dan sosok Suster Yani, red). Warna pakaiannya memang sama—serba putih—namun Suster Yani ini memang benar-benar pakai baju suster pada medio 60 sampai 70-an,” katanya.
Kata Kim sendiri, tiap minggu sudah pasti ada isu yang bekata bertemu dengan sosok Suster Yani. “Hampir tiap minggu selalu ada isu melihat Suster Yani. Yang merasakan juga nggak jarang. Apalagi kerasukan, itu seperti makanan pokok murid-murid SMA-ku. Oh iya, ketika upacara dulu, bahkan lebih banyak yang kesurupan ketimbang yang nggak kesurupan,” kata Kim disambut senyum tipis dari bibirnya.
Kerasukan dan merayap di tembok bangsal
“Mau cerita yang lebih gila?” kata Kim sedikit menggoda saya. Kedai makin sepi saja. Ketika saya lihat sekeliling, tinggal kami berdua saja. Kereta yang mentas, rasanya sekarang bukan jadi soal menengok cerita yang dituturkan oleh Kim, lebih seru ketimbang apa yang saya lihat di dalam gerbong yang berlalu-lalang.
Di seberang rel kereta, rumah-rumah berdempetan menghadirkan cahaya-cahaya remang yang seolah seperti sebuah kunang-kunang. Ah, kunang-kunang, mitosnya adalah pendar cahaya kuku orang-orang yang sudah mati. Entah bagaimana konsepnya, sampai-sampai Suster Yani menjadi sosok yang terus menghantui. Tentu sosok suster itu tidak semenyenangkan pendar kunang-kunang, namun, yang jelas, bagi beberapa orang, Suster Yani selalu menghadirkan kenang.
Saya hanya menggukan kepala. Mengiyakan tawaran Kim yang sepertinya akan menjadi pamungkas ceritanya. Kopi saya sudah habis, namun semangat saya mendengarkan tak kunjung menipis alih-alih sepi Bilangan Lempuyangan saat malam bikin jantung kembang-kempis.
“Dalam sebuah teater, ada yang namanya latihan pernapasan. Ini berguna agar supaya intonasi sesuai, vokal jelas, dan nggak nggerememeng saat pementasan. Hari itu, kami berlatih pernapasan. Jam menunjukkan pukul sepuluh, hening seakan mengintai jauh. Semua lampu dipadamkan. Hanya lilin yang tersisa sebagai alat penerangan.
“Kami berjejer, membentuk setengah lingkaran keluar yang menghadap ke dinding bangsal. Suasanya sangat cocok untuk tidur, tapi siapa sih yang mau tidur dalam suasana nyenyat menyeramkan seperti itu? Ah, itu terlalu nyenyat sampai-sampai kamu bisa mendengar suara bising yang dihasilkan oleh telingamu sendiri.
“Aku ada di deretan tengah. Kami bersimpuh. Dan… A… I… U… E… O…. latihan pernapasan seperti biasanya. Dadaku membusung. Pernapasan dada kan memang melibatkan otot tulang rusuk dan itu menjadi ketenangan tersendiri bagiku. Sampai tiba-tiba, kakak kelas—saat itu kelas 3—jeda dua orang dari tempat saya bersimpuh, ia berdiri….,” Kim menaikan nada suaranya.
“Berdiri?” tanya saya.
“Perempuan itu berdiri. Kemudian berjalan mendekati tembok bangsal. Aku nyengol rekan yang ada di samping, pada akhirnya semua memberhentikan aktifitas latihan pernapasan. Lampu lilin tentu saja menerangi perempuan yang sedang mendekati dinding bangsal. Pelatih memanggil namanya, perempuan itu hanya diam. Diam dan menghadap tembok. Ia seperti menunduk, pelatih berjaga sedang kami disuruh melanjutkan latihan…
A… I… U… E… O….
A… I… U… E… O….
“Satu lilin mati. Lalu, dua lilin mati. Agak gelap. Remang. Lalu gelap. Tak ada angin yang menerpa, namun apinya harus padam juga. Sedang kakak kelasku masih menatap tembok. Bisik kawanku, Suster Yani lagi-lagi beraksi. A… I… U… E… O…. ulang kami. A… I… U… E… Eeeeehhhh, begitu pekik kami secara serempak,” ujar Kim sedikit berteriak, membuat perasaan saya gojlak-gajluk seperti nonton film Beranak dalam Kubur.
“Pada teriak kenapa, Mas?” tanya saya dengan segera.
“Kakak kelasku itu tiba-tiba merayap di tembok!”
“Merayap!” Ulang saya, lebih seperti menegaskan ketimbang bertanya.
“Benar-benar merayap. Sampai ke atas. Kakinya lemas, tidak bertumpu kepada apapun, namun tangannya merayap dan menyentuh langit-langit bangsal, bekas bangunan Belanda yang tentu saja tinggi nggak terkira.
“Kami semua panik. Ia berdiam di atas, pelatih menunggu di bawah, takutnya ia sadar dan terjatuh dari ketinggian kurang lebih 5 meter. Ia berdiam… diam…. diam… lalu kepalanya berputar, melihat ke arah kami. Pucat mukanya, namun matanya bulat, penuh, dan ia menatap kami dengan tatapan kosong…”
PLAAATTTT!!!
“Astagfirullaaaaah!” begitu teriak saya, pas sekali ketika Kim mengakhiri ceritanya. Saya nyebut, padahal beberapa hari yang lalu saya mengaku Agnostik kepada pacar saya.
Lampu mati, gelap, jam sudah menunjukan pukul sepuluh dan sudah waktunya kedai tutup. Beberapa pergawai kadai tertawa kecil, namun peduli setan!
“Akhirnya kakak kelasku itu turun sendiri. Sadar sendiri saat sampai di bawah,” kata Kim mengakhiri cerita.
Hati saya masih mencelus, membayangkan perempuan yang kerasukan Suster Yani, merayap di sebuah tembok. Iya, merayap di tembok! Seperti film-film bertemakan eksorsis.
Ia merayap di sebuah tembok. Hmm, sebuah tembok. Dan… bayangkan saja temboknya itu adalah tembok kamarmu. Saat ini. Ketika kau membaca tulisan ini. Dan ada yang sedang menatapmu dengan tatapan kosong, berwajah pucat.
BACA JUGA Misteri Hutan di Yogyakarta dan Jin Ningrat yang Cantik-cantik menarik lainnya di rubrik SUSUL.