Komunikasi pejabat publik tak mampu meredam amarah publik, justru menimbulkan demo yang menjalar ke berbagai daerah. Lebih-lebih, Presiden Prabowo tak meminta maaf atas kerusuhan yang terjadi. Pengamat komunikasi publik mengimbau keterampilan komunikasi para pejabat negara harus dibenahi.
***
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Suko Widodo menyayangkan buruknya komunikasi pejabat negara di Indonesia. Alih-alih mengajak berdialog, masyarakat justru merasa digurui. Tak ayal, buruknya komunikasi pejabat menjadi salah satu faktor meletupnya demonstrasi di berbagai daerah.
Menurut informasi yang Mojok rangkum dari berbagai media massa, demo besar diawali pada Senin (25/8/2025) oleh berbagai kalangan masyarakat. Mulanya, demo itu sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR. Kenaikan tersebut berbanding terbalik dengan ucapan Presiden Prabowo yang terus-menerus mengatakan adanya efisiensi anggaran.
Buruknya komunikasi pejabat publik
Alih-alih menjelaskan kepada publik mengapa terjadi kenaikan, para anggota DPR RI malah menyampaikan pernyataan yang tak masuk akal dan nirempati. Sebut saja, Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang menilai tunjangan rumah bagi anggota dewan sebesar Rp50 juta per bulan masih wajar. Ia bahkan menjelaskan hitung-hitungan yang tak masuk akal.
Selain itu, komentar bernada sama juga dilontarkan oleh anggota DPR fraksi Nasdem Ahmad Sahroni. Ia mengomentari gaji dan tunjangan anggota DPR sebagai sesuatu yang nantinya akan kembali ke masyarakat, alih-alih minta maaf.
“Kami Anggota DPR sangat menyadari merupakan pejabat publik yang digaji oleh masyarakat dan pada akhirnya uang tersebut akan kembali ke masyarakat. Melalui apa? Salah satunya program kerja dan berbagai bantuan sesuai aspirasi masyarakat di dapil,” ujar Sahroni dikutip dari tvonenews, Rabu (27/08/2025).
Amarah publik pun makin tak terhindarkan usai mendengar respons para pejabat. Maka, unjuk rasa dilakukan lagi pada Kamis (17/8/2025) di depan Gedung DPR. Aksi tersebut mulai ricuh saat malam hari dimana sejumlah orang merusak fasilitas dan melemparkan batu maupun botol ke arah dalam gedung.
Beberapa waktu kemudian, kendaraan taktis milik Brimob mencoba membubarkan massa dan melindas seorang driver ojol Affan Kurniawan hingga tewas. Tak hanya itu, setidaknya tercatat ada 6 korban selain Affan yang meninggal dalam rangkaian aksi massa hingga Minggu (31/8/2025).
Sementara itu, Prabowo sama sekali tak memberikan pernyataan maaf atas kericuhan yang terjadi akibat kebijakannya yang dinilai merugikan rakyat. Dan justru memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menindak tegas massa yang anarkis.
View this post on Instagram
“…Apsirasi dapat disampaikan secara damai. Namun jika ada aktivitas anarkis, perusakan fasilitas umum, hingga penjarahan, itu pelanggaran hukum dan negara wajib hadir untuk melindungi rakyatnya,” ucap Prabowo dikutip dari akun Instagram resminya, Selasa (2/9/2025).
Mengapa Prabowo enggan minta maaf?
Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa komunikasi pejabat publik di Indonesia masih jauh dari ideal. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Suko Widodo mengatakan komunikasi pejabat seperti di atas lebih banyak menggunakan gaya komunikasi elitis, normatif, bahkan arogan.
“Padahal dalam demokrasi, komunikasi pejabat publik mestinya menekankan transparansi, empati, dan partisipasi. Jika ini diabaikan, kepercayaan publik terhadap pemerintah melemah,” ujar Suko dalam keterangan tertulis, Rabu (27/8/2025).
Tak pelak, masyarakat jadi tersulut amarah karena kurangnya keterampilan komunikasi dari pejabat negara. Di sisi lain, sikap minta maaf atau mengundurkan diri belum menjadi budaya di Indonesia. Padahal, di negara maju sikap seperti itu adalah bentuk tanggung jawab moral.
“Sayangnya, di Indonesia, mundur dianggap kelemahan. Padahal, langkah ini justru menjaga kehormatan pribadi sekaligus martabat lembaga,” jelas Suko.
Lebih dari itu, Suko menyebut akar dari permasalahan ini berhubungan dengan kultur politik feodal yang masih berkutat pada pola relasi “atasan-bawahan”. Pejabat merasa dalam posisi superior, sehingga komunikasi berlangsung satu arah.
Selain itu, budaya patrimonial dan oligarkis masih mengakar kuat di Indonesia. Dalam tradisi ini, jabatan sering dipandang sebagai privilese, bukan amanah. Akibatnya, pejabat lebih berperan sebagai penguasa ketimbang pelayan publik, sehingga akuntabilitas pun ikut melemah. Hal itu juga terlihat dari sikap Prabowo.
“Latar belakang sosial politik mereka yang sering kali dibesarkan dalam tradisi feodal, patronase, dan pragmatisme politik, membentuk habitus komunikasi yang jauh dari empati,” ucap Suko.
Komunikasi pejabat negara perlu dibenahi
Suko mengimbau agar pejabat memperbaiki komunikasi publik mereka. Pertama, melatih keterampilan komunikasi dalam hal listening skill dan crisis communication. Sehingga, komunikasi dapat berjalan dua arah.
Kedua, membangun budaya akuntabilitas. Pejabat perlu memahami bahwa sikap minta maaf atau mundur bukan berarti lemah. Ketiga, memanfaatkan media digital untuk dialog dan transparansi, bukan sekadar pencitraan.
Keempat, memberikan teladan komunikasi empatik dari pimpinan tertinggi agar nilai tersebut mengalir ke seluruh lapisan birokrasi.
“Jika empat hal ini dijalankan secara konsisten, pejabat publik bisa lebih dipercaya dan dekat dengan masyarakat. Komunikasi yang baik bukan hanya etika, tetapi juga kunci keberhasilan tata kelola pemerintahan,” kata Suko.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz
Editor: Aisyah Amira Wakang
BACA JUGA: Prabowo Nangis Saat Umumkan Kenaikan Gaji Guru, Guru Honorer Lebih Nangis karena Tetap Terpinggirkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












