Lewat akun TikTok pribadinya, @galuh.hanna meminta maaf kepada pemilik Alfamart karena telah menjarah toko itu untuk mendapat beberapa bahan makanan saat bencana banjir dan longsor di Sumatera.
Dalam videonya yang telah ditonton oleh 784 ribu orang lebih, Galuh mengaku telah mengambil tiga mie instan, air mineral, dan snack.
“Saya sebenarnya tidak ada niat untuk berbuat itu, cuman karena keterbatasan makanan yang kami miliki, kami juga terjebak banjir, tidak ada uang untuk membeli, dan tidak ada bantuan sama sekali. Jadi akhirnya saya ikut mengambil,” tutur @galuh.hanna dikutip Mojok, Senin (1/12/2025).
Galuh mengaku khilaf dan berjanji akan mengembalikan barang yang telah dia curi saat kondisi Sumatera membaik.
“Jika nanti hari telah membaik, saat saya sudah kembali lagi beraktivitas, saya pasti kembali ke toko Alfamat tersebut, saya akan membayar semuanya. Tadi saya ambil ini tiga (mie instan), sudah saya masak untuk anak saya, sekali lagi saya memohon maaf atas kekhilafan saya.” Ujarnya.
@galuh.hanna Maaf kan saya, semoga ujian ini menjadikan kami lebih ikhlas #banjirbandang #brandatiktok #bencanaalam #banjirsibolga #fypシ ♬ suara asli – Muchlis Lepaslajang
Galuh hanyalah satu di antara puluhan orang yang menjarah retail modern seperti Alfamart akibat bantuan logistik yang terlambat dari pemerintah. Akses jalan yang terputus membuat warga harus bertahan selama beberapa hari di tengah keterbatasan.
Tak hanya bisnis retail modern, warga korban banjir dan longsor juga menjarah Gudang Bulog Sarudik di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Dalam video yang beredar di media sosial, tampak warga–baik dewasa maupun anak-anak membawa karung-karung beras dan minyak goreng.
Korban banjir Sumatra tak bisa disalahkan
Melansir dari berbagai komentar di video tersebut, sebagian orang tak membenarkan apa yang dilakukan korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. Namun sebaliknya, Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Khudori berujar kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka.
Dalam situasi darurat, yang berlaku harus lah prosedur kedaruratan bukan prosedur normal. Bencana yang datang tiba-tiba berskala besar mendesak korban untuk berbuat jauh demi bertahan hidup.
“Kalau kebutuhan dasar (makanan dan minuman) itu tidak segera tersedia dan disediakan, bisa terjadi penjarahan seperti kali ini. Warga tak bisa disalahkan,” ujar Khudori dikutip dari keterangan resmi, Minggu (30/11/2025).
Ia menegaskan bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera seharusnya menyadarkan otoritas yang berkuasa untuk sigap memitigasi bencana, mengingat Indonesia adalah negara rawan bencana.
“Namun, pengandaian itu tidak selalu benar. Terbukti kali ini otoritas yang berkuasa tampak kewalahan menghadapi situasi lapangan,” kata Khudori.
Banjir Sumatera parah tapi birokrasi terlalu ribet
Khudori mengungkap pemerintah sebenarnya punya instrumen Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). CPP ini seharusnya bisa digerakkan setiap saat untuk melayani kebutuhan bencana dan darurat hingga pasca bencana. Seperti saat banjir di Sumatera.
Dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 30/2023 tentang Penyaluran CPP untuk Menanggulangi Bencana dan Keadaan Darurat, pangan yang bisa disalurkan ada sembilan jenis yakni beras, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan kembung.
“Masalahnya, prosedur penyaluran untuk bencana dan keadaan darurat dalam Peraturan Bapanas ini terbilang cukup panjang. Kental nuansa birokratisnya,” ujar Khudori.
Ia menduga prosedur birokratis tersebut juga memperlambat penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) ke warga, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No. 22/2019 tentang Prosedur dan Mekanisme Penyaluran CBP untuk Penanggulangan Keadaan Darurat Bencana dan Kerawanan Pangan Pasca Bencana.
Alur pengajuan CBP ke Bulog dengan aturan lama
Khudori menjelaskan, dalam aturan lama (Peraturan Menteri Sosial), alurnya begini, kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) mengajukan permohonan penggunaan CBP ke Perum Bulog kantor wilayah atau kantor cabang.
Dalam permohonan tersebut, kepala daerah harus menyertakan data jumlah korban, penetapan status keadaan darurat bencana, dan penugasan kepada kepala dinas sosial daerah untuk penyaluran. Kemudian dilaporkan ke Menteri Sosial.
“Kala situasi memungkinkan dilengkapi administrasi yang dibutuhkan untuk menjaga tata kelola yang baik,” ucapnya.
Bupati atau walikota memiliki hak mengeluarkan CBP 100 ton setahun, sedangkan gubernur memiliki hak lebih besar yakni 200 ton setahun. Apabila kuota hak setahun ini masih kurang, kepala daerah bisa mengajukan tambahan penggunaan CBP.

Selain darurat bencana seperti banjir di Sumatera, kepala daerah juga bisa menggunakan CBP untuk penanggulangan kerawanan pasca bencana. Bupati atau wali kota mengajukan ke gubernur, gubernur lalu meneruskan ke Menteri Sosial. Tentu disertai kebutuhan, jangka waktu, dan jumlah korban.
Pada prosedur yang baru (Peraturan Bapanas), kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota), menteri atau kepala lembaga mengajukan penyaluran CPP kepada Kepala Bapanas. Surat pengajuan dilampiri jumlah penerima, organisasi pemda yang menyalurkan, dan kesanggupan menanggung biaya distribusi. Lalu dilampiri dengan penetapan status keadaan darurat bencana sesuai kewenangan. Setelah Bapanas menganalisis, ia akan menugaskannya ke Bulog.
Selain Bulog, Bapanas juga bisa menugaskan BUMN Pangan lain. Sebelum menugaskan penyaluran CPP kepada Bulog atau BUMN Pangan dengan tertentu, sesuai Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Bapanas No. 30/2023, Bapanas mesti mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) atau Menteri BUMN jika menugaskan BUMN Pangan lain.
Baru kemudian Bulog pusat memerintahkan pimpinan kantor wilayah/kantor cabang menyalurkan CPP tersebut. Dalam praktik, bisa saja perintah Bapanas ke Bulog itu bersamaan dengan perintah pusat ke kantor wilayah/kantor cabang di daerah.

Belajar dari tsunami Aceh dan gempa di Jogja
Khudori mengungkap kepala daerah di Sumatera yang mengalami banjir dapat belajar dari praktik penanganan tsunami di Aceh pada Desember 2004 dan gempa di Yogyakarta pada Mei 2006. Di mana, gubernur, bupati/wali kota meminta Bulog menyalurkan CBP pada saat terjadi bencana.
Saat itu komputer macet dan aliran listrik mati. Oleh karena itu, otoritas berwenang hanya menuliskan permintaan CBP ke Bulog di kardus mie instan. Setelah situasi memungkinkan, pemda dan Bulog menyusun laporan. Saat itulah kebutuhan administrasi dilengkapi.
“Intinya, berkaca dari kejadian tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, taat prosedur tentu harus. Akan tetapi, kecepatan penanganan dengan menyesuaikan situasi lapangan harus jadi pilihan utama,” ujar Khudori.
Keterlambatan penyaluran bantuan, baik pangan, minuman, maupun logistik lain, tidak hanya berujung pada penjarahan, tapi juga mengancam keselamatan warga. Khudori menegaskan jangan sampai karena taat prosedur justru ada nyawa yang melayang.
Ia mengimbau bencana dan keadaan darurat kali ini sebaiknya dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali mekanisme dan prosedur penggunaan dan penyaluran CPP. Hindari mekanisme yang panjang dan prosedur yang kental bernuansa birokratis, tentu saja dengan mengedepankan aspek akuntabilitas.
“Tak ada salahnya mekanisme dan prosedur lama dipertimbangkan digunakan kembali dengan penyempurnaan di sana-sini,” kata Khudori.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












