Dunia riset di perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia tak seideal yang dibayangkan. Bagi Fauzi* (27), idealismenya dipecundangi dengan cara paling murah: riset yang ia garap mati-matian “dicolong” dosennya sendiri, dan diganti dengan uang tutup mulut Rp200 ribu.
Kisah Fauzi bukan anomali, melainkan cermin masalah yang membayangi integritas akademik di banyak kampus.
Isu ini bahkan semakin mencuat setelah laporan Research Integrity Index (RI²) yang digagas Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut.
Laporan itu mengidentifikasi 13 kampus di Indonesia, termasuk nama-nama besar seperti Universitas Bina Nusantara (BINUS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Sumatera Utara (USU), hingga Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), masuk dalam daftar risiko integritas riset.
Ini mengindikasikan betapa rendahnya kualitas riset di kampus kita. Seperti yang Mojok.co ulas sebelumnya dalam “Riset Kampus di Indonesia Cuma Jadi Sampah Ilmiah“, persoalan kualitas dan integritas riset adalah fenomena gunung es.
Ada banyak masalah yang membuat riset di kampus-kampus Indonesia amat rendah mutunya: mulai dari plagiarisme, joki jurnal, jurnal predator, sampai praktik kotor yang dilakukan dosen Fauzi.
Dikasih uang Rp200 ribu untuk tutup mulut
“Ini, 200 ribu. Hitung-hitung ganti bensin sama uang capekmu.”
Kata Fauzi, mahasiswa PTN yang dengan senang hati membagikan kisah pilunya kepada Mojok, Minggu (20/7/2025), kalimat itu diucapkan dengan nada datar, seolah tak ada sesuatu yang aneh. Namun, baginya, kalimat tadi seperti pukulan telak.
Jujur, kalimat tersebut masih membekas di benak Fauzi. Ya, bagaimana nggak membekas membekas; selain karena diucapkan oleh dosen senior yang amat dihormati di kampusnya, konteks dari kalimat itu sebenarnya penuh maksud kotor.
Bahkan, ketika mendengar kalimat tadi diucapkan saja, Fauzi berharap itu cuma mimpi di siang bolong. Saking syok dan tak percayanya dia dengan apa yang didengar.
“Tapi tolong, ini di antara kita saja. Teman-temanmu juga saya kasih uang yang sama, biar adil,” lanjut Fauzi, mengingat kalimat yang disampaikan dosennya itu.
Janji manis berujung “pengkhianatan”
Bisa dibilang, Fauzi dan dua orang temannya adalah korban dari sang dosen. Konteks dosen senior itu memberinya uang Rp200 ribu adalah sebagai uang tutup mulut atas tindakan kotor yang telah dilakukan.
Sekitar dua bulan sebelumnya, Fauzi dan teman se-fakultasnya mengajukan proposal riset. Proposal ini nantinya menjadi prasyarat untuk mendapatkan beasiswa swasta. Ia dan teman-temannya sama-sama menjadi awardee beasiswa tersebut.
“Iya, syarat beasiswa turun kalau kami sudah mengajukan proposal. Nggak perlu dieksekusi jadi hasil penelitian,” ujar mahasiswa PTN ini.
Namun, dua bulan kemudian, Fauzi dihubungi oleh dosen jurusannya. Ia diminta menghadap. Di sana, sang dosen memberi tahu kalau proposal Fauzi dan kawan-kawan sangat menarik, sehingga sayang jika tidak dieksekusi.
Singkatnya, sang dosen meminta Fauzi untuk menindaklanjuti proposal itu menjadi penelitian. Soal akomodasi dan segala pengeluaran selama riset di lapangan bakal ditanggung dosen.
“Dia (sang dosen) juga minta kalau namanya ditulis sebagai dosen pembimbing penelitian. Dia bilang akan membantu kami selama proses penelitian dijalankan,” ujar Fauzi. “Katanya, nanti hasil penelitian bisa diikutkan lomba.”
Namun, janji itu hanyalah manis di awal. Sang dosen nyatanya malah lepas tangan. Tiap dihubungi untuk konsultasi, responsnya amat lambat. Berbagai alasan selalu muncul: sedang di luar kota, kelas padat, atau urusan lain di luar perkuliahan.
Alhasil, tim peneliti Fauzi serasa autopilot di lapangan. Mereka mengerjakan semuanya sendiri: ke lapangan, keluar biaya, brainstorming, hingga mengolah data. Tanpa bantuan sang dosen.
“Baru pas penelitiannya selesai, dia menghubungi. Sok-sokan nanya proses gitu sambil ngasih saran. Padahal mah, penelitian udah kelar,” kata Fauzi.
Mahasiswa PTN ini merasa dunia runtuh ketika karya sendiri dicolong
Fauzi juga diminta menghadap sang dosen beberapa hari setelahnya. Agendanya, sih, untuk membahas hasil penelitian. Namun, dalam pertemuan itulah adegan di awal: dosen memberi Rp200 sebagai uang tutup mulut terjadi. Sebuah adegan yang Fauzi klaim sebagai tindakan terkotor yang ia saksikan selama kuliah.
Berikut harinya, Fauzi mengetahui kalau penelitiannya terbit di sebuah jurnal nasional. Nama peneliti dalam jurnal tersebut? Ya, nama si dosen.
Fauzi mengaku kalau dunia seolah runtuh. Dadanya sesak. Bukan hanya karena kerja kerasnya direnggut, tapi juga karena ilusi tentang idealisme dunia kampus seketika hancur berkeping. Ia merasa bodoh, naif, karena pernah percaya pada kampus.
Kejadian itu pun tak cuma bikin Fauzi kesal, tapi juga menyadarkannya bahwa kehidupan kampus memang sekotor itu.
“Selama ini aku menganggap joki, plagiarisme, itu cuma jadi masalah mahasiswa. Ternyata di tingkatan dosen pun juga, bahkan boleh dibilang lebih parah,” ujarnya.
Hingga kini, mahasiswa PTN ini tak pernah benar-benar memahami apa motif kotor dari sang dosen. Yang ia tahu, tiap kali menerbitkan jurnal, dosen bakal mendapatkan kredit poin. Poin-poin inilah yang bakal berguna sebagai prasyarat kenaikan jabatan struktural.
Entah berhubungan atau tidak, yang Fauzi ketahui per tulisan ini tayang pada Senin (21/7/2025), sang dosen masih menjabat sebagai kepala jurusan (kajur) di kampusnya. Ia diangkat tahun lalu.
“Kayaknya penelitian kamu dulu yang dicolong itu, berkontribusi bikin dia naik jabatan. Hahaha,” tawanya, sebuah tawa getir yang menyimpan kekecewaan mendalam.
Gairah riset yang mati mahasiswa PTN
Setelah kejadian itu, Fauzi mengaku sempat kehilangan gairah untuk riset. “Rasanya seperti dikhianati oleh sistem yang seharusnya menjunjung tinggi ilmu pengetahuan,” katanya.
Traumanya bukan hanya pada sosok dosen, tapi pada institusi yang seolah menutup mata. Pertanyaan besar selalu menghantuinya: apakah ini akan terulang lagi? Apakah sistem memang memaksa orang-orang baik menjadi culas?
Kisah Fauzi mungkin terasa seperti anomali yang menyakitkan. Namun, bagi para pengamat dan aktivis akademik, praktik semacam ini bukanlah hal baru, justru merupakan simpul dari benang kusut masalah sistemik di dunia riset. Apalagi ini di PTN.
Di lorong-lorong kampus, bisik-bisik tentang “dosen nyolong karya mahasiswa”, seperti kasus Fauzi, bukanlah hal asing. Sayangnya, banyak mahasiswa memilih bungkam, takut nilai terancam, beasiswa dicabut, atau masa depan akademik mereka digantung.
Akar masalah? Tekanan publikasi dan minimnya pengawasan
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menegaskan bahwa fenomena ini adalah bagian dari masalah sistemik yang lebih besar.
Menurut Satria, masalah ini berakar pada beberapa faktor. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang terlalu membebani kampus dengan kewajiban publikasi Scopus bagi dosen dan mahasiswa (level master maupun doktoral).
Kondisi ini menciptakan tekanan luar biasa bagi dosen untuk menghasilkan karya ilmiah. Akibatnya, mereka terpaksa mencari jalan pintas dengan cara, misalnya, memakai jurnal predator, joki, atau mencuri karya mahasiswa—seperti dosen PTN di kampusnya Fauzi.
“Inilah yang sebenarnya menjadi masalah sistemik. Kekeliruan kebijakan ini kemudian berdampak pada reputasi kita di mata global. Kampus-kampus besar ini kemudian justru tercoreng namanya,” tegas dosen hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya saat dihubungi Mojok.
Di sisi lain, belum ada data resmi yang transparan mengenai jumlah kasus pelanggaran integritas riset oleh dosen yang ditindaklanjuti secara serius.
Sanksi yang diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Kode Etik dan Perilaku Dosen, misalnya, sudah jelas mengkategorikan plagiarisme sebagai pelanggaran berat dengan sanksi bisa berupa pembebasan sementara dari jabatan, penurunan pangkat, hingga pemberhentian tidak hormat.
Namun, implementasi dan pengawasan di lapangan masih menjadi pertanyaan besar. Banyak kasus yang berakhir tak terungkap atau diselesaikan secara internal tanpa transparansi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Keculasan Dosen dalam Publikasi Jurnal Internasional bikin Integritas dan Kualitas Riset Kampus di Indonesia Dipertanyakan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












