Mato Kopi, sebuah warung kopi murah andalan mahasiswa Jogja berani menolak tukang parkir demi ringankan beban para pelanggan. Padahal, warung kopi dengan lebih dari tiga cabang ini tiap malam berisi puluhan bahkan bisa sampai seratus motor.
Puluhan motor masih berderet di parkiran Mato Kopi 3, Condongcatur, Sleman saat saya dan sejumlah teman usai ngopi. Saat itu, Rabu (21/2/2024), jam sudah menunjukkan pukul 00.30, tapi warung kopi itu masih ramai oleh mahasiswa kampus sekitar seperti Universitas Amikon, FE UII, hingga UPN Jogja.
“Edan ya,” celetuk Mega (28), teman saya yang heran dengan motor sebanyak itu tanpa tukang parkir. Pasalnya, jika dikomersialkan, ini tentu jadi ladang yang cuan yang lumayan bagi tukang parkir.
Di Jogja, saat ini tukang parkir memang jadi isu yang memicu keluhan masyarakat. Mulai dari tukang parkir liar hingga tukang parkir yang mematok tarif lebih dari ketentuan. Saya beberapa kali menjumpai, di plang restoran jelas tertera parkir motor sebesar Rp1000 tapi tukang parkir buang muka dan enggan bantu menyeberang jika pelanggan hanya menyerahkan sebesar nominal tersebut.
Namun, Mato Kopi seakan jadi anomali di antara persoalan itu. Ciri khas warung kopi ini terlihat dari tempatnya yang lapang dengan bangunan dari kayu bergaya limasan. Ada deretan kursi panjang dan juga lesehan untuk menampung banyak pelanggan.
Belum lagi, fasilitas WiFi gratis dan juga pilihan kopi dan makanan yang relatif terjangkau. Kopi hitam hanya Rp7 ribu dan kopi cangkir Rp8 ribu. Selain itu, ada makanan seperti nasi telur hingga nasi pecel yang tak sampai Rp15 ribu. Modal Rp20 ribu saja sudah bisa menemani pelanggan nongkrong seharian lantaran koneksi WiFi-nya pun cukup lumayan.
Mending bayar gaji tukang parkir daripada mahasiswa harus bayar
Tak heran jika setiap cabangnya ramai. Saat ini, Mato Kopi punya cabang di Jalan Selokan Mataram, Condongcatur, hingga di dekat Pasar Gentan. Pendiri warung kopi ini, Hanafi Baedhowi juga mendirikan Secangkir Jawa, kedai dengan gaya mirip yang juga sudah banyak bercabang di Jogja.
Hanafi, yang akrab disapa Cak Hanafi karena asalnya dari Madura, mengawali perjalanannya di Jogja pada 2001. Saat itu ia kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Masa kuliah banyak ia habiskan dengan nongkrong di warung kopi sehingga ia pun terpikir untuk membuka bisnis serupa.
Hingga akhirnya, cikal bakal Mato Kopi ia dirikan pada 2005. “Saya akhirnya beranikan diri buka warung. Modalnya tiga setengah juta,” ujar Cak Hanafi saat saya wawancara beberapa waktu silam.
“Mato” menurutnya berasal dari bahasa Madura yang artinya candu. Nama itu diberikan dengan harapan orang yang datang bisa nyaman dan ingin kembali datang lagi. Tak heran jika pemiliknya ingin menghadirkan suasana warung yang nyaman bagi pelanggan dari segi harga dan tempat. Termasuk urusan parkir.
Di beberapa cabang, sempat ada tukang parkir yang menata kendaraan. Namun, tidak pernah meminta uang kepada pelanggan. Cak Hanafi mengaku kasihan, kopi saja harganya nggak sampai Rp10 ribu kok pelanggannya harus membayar parkir.
“Lha gimana Mas, wong pelanggan saya itu kebanyakan mahasiswa. Sehari bisa ke sini bolak-balik tiga kali. Sebelum kuliah ngopi, jeda kuliah balik ke sini lagi, pulang kuliah ya di sini lagi. Kasihan kalau ada biaya parkir terus. Uang parkirnya mending buat ngeteng rokok,” jelasnya sambil tertawa terbahak.
Baca halaman selanjutnya…
Harus negosiasi urusan parkir dengan warga hingga kisah warung kopi yang punya juru kunci