Gerai kopi Starbucks selalu tampak mewah dan megah. Mencolok dengan warna bangunan perpaduan cokelat dan hitam. Juga logo “Sirene/Siren” hijau yang kerap terpampang besar di bagian depan.
Parkiran gerai kopi asal Amerika itu mayoritas diisi oleh deretan mobil. Menandakan bahwa gerai Starbucks merupakan jujukan ngopi kalangan kelas atas. Konon, harga menu-menunya hanya ramah bagi yang berkantong tebal.
Setidaknya begitulah kesan Arwan (27) dan Nail (25) saat kali pertama mendapati gerai kopi tersebut, beberapa tahun silam. Sebelum akhirnya untuk pertama kali menikmati sensasi ngopi di dalamnya yang berujung “konyol” dan penuh penyesalan.
Ngopi di coffee shop mewah dan mahal tidak masuk di aspirasi hidup
Sebagai orang yang lama merantau di Surabaya, gerai-gerai kopi besar seperti Starbucks sebenarnya sudah tidak asing bagi Arwan. Gerai-gerainya bertebaran di beberapa titik. Baik di pusat kota maupun di pinggiran.
Hanya saja, seumur-umur hingga usia 23 tahun, Arwan mengaku sama sekali tidak pernah berhasrat mencicipi ngopi di gerai-gerai kopi besar. Sekadar ngopi di coffee shop kelas standard saja masih mikir sekian kali kok.
“Di coffee shop standard ngopi di angka Rp25 ribuan. Itu saja sudah eman. Karena uang segitu bagiku sudah cukup buat makan dan ngopi. Umumnya ngopi di warkop giras cuma Rp4 ribuan,” ujar pemuda asal Situbondo, Jawa Timur tersebut, Minggu (28/9/2025).
Oleh karena itu, Arwan tidak pernah memasukkkan ngopi di gerai kopi besar seperti Starbucks ke dalam salah satu aspirasi hidupnya. Prinsipnya minimalis saja: Jika uang Rp20 ribu sudah bisa buat ngopi dan makan sekaligus, ngapain kalau digunakan untuk menebus segelas kopi saja?
Apalagi bagi orang perantauan sepertinya. Masih ada biaya-biaya lain yang harus dia cover. Biaya indekos misalnya.
Diajak ngopi bos di Starbucks, berujung konyol gara-gara belibet baca menu
Di Surabaya, Arwan bekerja dengan sistem WFH sejak 2021. Jadi amat jarang dia bertemu dengan orang-orang kantor. Termasuk dengan bosnya sendiri.
Pertemuan dengan bosnya pun hanya terjadi dua kali. Saat wawancara kerja dan briefing sebelum hari pertama kerja. Rapat-rapat lebih sering dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting.
Nah, pada 2022, melalui pesan WhatsApp Group, si bos mengajak sejumlah karyawan yang domisili di Surabaya untuk ngopi bersama. Lokasinya di salah satu gerai Starbucks di pusat kota Surabaya.
Sebagai orang desa dan nyaris tak pernah menyentuh kemewahan gerai kopi besar, Arwan terus terang merasa gelagapan. Dia mencoba mencari-cari tahu daftar menu Starbucks di internet. Hasilnya, satupun Arwan tak tahu jenis menunya. Cara menyebutnya pun Arwan tak yakin bisa presisi.
“Akhirnya konyol sekali. Jadi kan satu persatu order. Itu bosku nungguin di depan meja order. Aku langsung gemetar karena nggak paham menu. Jadi asal aja nyebut menu. Itupun salah hahaha,” kata Arwan terkekeh.
Saat Arwan salah mengeja nama menu yang full berbahasa Inggris itu, mbak-mbak di meja order sempat tersenyum geli sebelum akhirnya membetulkan maksud Arwan. “Mungkin maksud masnya.. (nyebut nama menu).”
Si bos pun tak pelak nyengir sendiri. Bahkan kejadian itu menjadi obrolan dan gojlokan di meja mereka. Arwan malu sekali.
Jadi kesempatan sampai bawa pulang cup bekas kopi
Tapi bodoamat sama kejadian konyol tersebut. Yang terpenting bagi Arwan, momen tersebut menjadi kesempatannya untuk icip-icip kemewahan Starbucks—sesuatu yang selama ini hanya bisa dia lihat dari luar.
“Aku itu sampai nggak berani bawa motor loh ke sana. Karena motorku butut. Masa motor butut terparkir di antara mobil-mobil dan motor yang bagus-bagus. Jadi aku pakai ojol,” ujarnya.
Menu yang Arwan salah eja itu ada di harga Rp50 ribuan. Sengaja memang cari yang mahal. Selain itu, dia juga pesan roti-rotian.
Bahkan, sesaat sebelum si bos pamit undur diri—dan menawarkan agar para karyawan pesan lagi—dengan tanpa sungkan Arwan langsung pesan lagi. Kesempatan kok.
“Ya kubawa itu cup bekas kopiku kubawa balik ke kos. Mayan buat gaya-gayaan, pertanda kalau pernah ngopi di Starbucks. Walaupun cuma sekali,” ucapnya.
2022 itu memang menjadi kali pertama dan—untuk sementara—menjadi yang terakhir Arwan ngopi di Starbucks. Tahu harga per-cup-nya hingga Rp50 ribuan, wegah lah.
Ngopi di Starbucks turuti gengsi, berakhir menyesal
Sementara Nail, perempuan asal Jombang, Jawa Timur, mengaku pertama kali ke Starbucks di masa dia kuliah di Surabaya pada 2018 silam. Bedanya dengan Arwan, Nail ke Starbucks murni karena kebutuhan gengsi.
Entah bagaimana mulanya, saat itu ada masa di mana banyak teman kuliah Nail gemar ngopi di Starbucks. Mereka lantas pamer di status WhatsApp masing-masing. Entah sekadar mengunggah foto cup Starbucks atau swafoto dengan latar belakang ruangan gerai kopi tersebut.
“Itu terus terang membuatku ikut FOMO—kalau istilah sekarang. Jadi aku dan teman kosku akhirnya mengagendakan ke Starbucks,” ungkap Nail.
Saat datang, tentu saja Nail merasa agak minder. Karena serasa berada di antara eksekutif-eksekutif muda dan gerombolan orang kaya: Bebrapa orang di umur 27-30-40-an tahun tengah sibuk di hadapan laptop masing-masing. Kalau ada yang meriung dalam satu meja, obrolannya seputar investasi. Sementara Nail dan seorang temannya datang hanya untuk selfie.
“Ya sudah bodoamat saja. Jadi di dalam cuma cekrak-cekrek, unggah status, terus pas kopi udah habis, pulang,” kata Nail.
Keduanya hanya memesan dua cup kopi. Dan sepulang ke kos, barulah mereka kerasa karena untuk dua cup kopi tersebut mereka harus keluar lebih dari Rp100 ribu.
“Apalagi pas sampai di kos, ada teman yang baru order Mie Gacoan. Anjrit lah langsung menyesal. Rp50 ribu udah dapat Gacoan dua porsi plus es teh dan dimsum itu,” sambungnya terkekeh.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang Desa Pertama Kali Makan di Mie Gacoan: Demi Viral Malah Berujung Malu Perkara QRIS dan Sumpit atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












