Warkop Aceh Bang Zainal yang terletak di pinggiran berusaha hadirkan kuliner Aceh yang autentik. Tak mau menyesuaikan dengan cita rasa manis ala Jogja.
***
Tahun 1999, awal Zainal (40) seorang warga Aceh yang merantau ke Jakarta dengan harapan bisa mendapat keberuntungan di Ibu Kota. Awalnya ia tak punya tujuan yang pasti ketika pertama kali merantau.
Namun, tak mau berlama-lama hidup tanpa tujuan di kota orang, Zainal memutuskan untuk merintis usaha di bidang makanan dengan produk masakan khas Aceh. Usaha yang dirintis awalnya penuh tantangan. Termasuk masakan Aceh yang khas biasanya dirasa asing oleh lidah orang Jakarta dan sekitarnya.
Zainal kerap merasa rugi lantaran usahanya tidak laku. Ia mulai merasa putus asa, karena dalam membangun usaha dibidang makanan, memerlukan modal yang tidak sedikit.
Perjalanan awal di Jogja
Hingga memasuki tahun 2002 ditemani oleh teman rantau sesama asal Aceh yang mengajak Zainal ke Yogyakarta. Dengan iming-iming membangun usaha bersama yang dinamai Rumah Makan Bungong Jeumpa.
Zainal mengaku ia juga yang turut membantu untuk mendirikan rumah makan Bungong Jeumpa. Hingga terkenal sampai saat ini dikalangan masyarakat jogja. Di sana, Zainal diberi posisi sebagai pemasaran. Posisi ini ia tekuni selama 21 tahun sejak tahun 2004-2021.
Namun ia harus mengakhiri jejaknya tepat 21 tahun lamanya dalam posisi manajemen itu yang berselang mulai 2004 hingga 2021 silam. Pandemi covid-19 yang melanda tentu menjadi dampak besar akibat terperosoknya banyak bisnis yang ada, termasuk bisnis di bidang makanan.
Rumah makan Bungong Jeumpa mengalami penurunan omzet yang memaksakannya untuk memangkas beberapa pekerja. Tentunya hal itulah yang membuat Zainal keluar dari rumah makan bungong jeumpa di tahun 2021.
Bermula dari warkop sederhana
Terpaksa keluar dari pekerjaan lamanya membuat Zainal harus memutar otak lagi agar tetap bisa bertahan hidup di perantauan. Modal nekat dan pengalaman, akhirnya ia coba buka warung sendiri.
Sisa tabungan yang ia punya dijadikan sebagai modal untuk mendirikan warkop sederhana. Lokasinya ada di pinggir Selokan Mataram disertai desain simple bergaya nuansa warkop Aceh.
Zainal memutuskan untuk menjual masakan Aceh di warkopnya. Ia juga menyetorkan beberapa menu masakannya di warung Aceh lainnya di sekitar Yogyakarta untuk memperkenalkan masakannya dengan sistem titip dagangan. Tentunya itu sebagai bentuk usaha Zainal untuk menambah pendapatan yang ia dapat nanti.
Warung Zainal mulai buka dari jam 18.00 – 04.00. Dimana pengunjung warung terbilang cukup ramai setiap harinya dari kalangan mahasiswa yang nongkrong sampai menjelang subuh.
“Saya kan pakai konsep warkop-warkop di Aceh sendiri. Buka habis magrib, tutupnya menjelang subuh, jadi disini saya terapkan seperti itu juga,” tuturnya.
Menu yang dijual punya banyak macam yang terdiri dari beragam makanan khas Aceh, dengan produk paling terkenal ialah Mie Aceh serta Kopi Aceh.
Menu tersebut dijuluki menu andalan di warkop Zainal. Hal itu bisa dibuktikan dari rekapan menu favorit yang ia jual juga pada jejaring online yang menunjukkan bahwa Mie Aceh dan Kopi Aceh paling banyak diminati oleh customer.
“Di platform online aja sekarang omzet penjualan mie Aceh saya bisa sampai 1,7 jt perhari, itu baru di satu platform, di aplikasi lainnya juga ada,” jelasnya bangga.
Usaha untuk mempertahankan cita rasa asli kuliner Aceh
Sejauh ini, Zainal selalu mempertahankan cita rasa khas masakannya, tanpa mengurangi sedikitpun rasa asli dari Mie Aceh sendiri. Hal itu diusahakan dengan pembelian bahan masakan yang harus ia beli langsung dari Aceh.
Tak hanya itu, Zainal juga memasak semuanya sendiri dari awal, bumbu yang digunakan juga berasal dari racikannya sendiri supaya tidak menurunkan rasa autentik dari Mie Aceh yang asli.
“Kalau di jogja inikan rata-rata masakannya ada manis nya ya, saya nggak mau menyesuaikan masakan saya dengan lidah orang Jogja, biar mereka aja yang menyesuaikan lidahnya dengan masakan saya,” terang Zainal.
Zainal sempat mendapatkan beberapa keluhan dari pelanggan karena adanya perubahan rasa makanan di menunya, persis saat itu karyawan Zainal yang memasak masakan tersebut. Itulah yang membuat Zainal bersikeras tetap memasak semua menunya sendiri.
“Sejak saat itu, saya nggak mau lagi pake karyawan untuk masak, jadi beda rasanya, jadi tetap saya yang masak sendiri biar cita rasanya tidak berubah,” sergahnya.
“Sudah beberapa kali rekrut karyawan orang jogja, meskipun udah pakai bumbu-bumbu asli, tetap aja masakannya nggak sama, kalaupun harus nyari karyawan lagi, harus orang Aceh asli, biar rasanya nggak berubah,” sambungnya.
Cita rasa itu selalu Zainal pertahankan karena mayoritas customernya berasal dari Sumatra, termasuk Aceh sendiri. Warkop Zainal menjadi pilihan utama ketika mereka merindukan masakan kampung halamannya, khususnya Aceh.
Namun hal itu tetap tidak menutup kemungkinan masyarakat Jogja juga ikut memesan masakan Aceh milik Zainal apalagi ketika hendak mengadakan acara besar. Karena Zainal juga menerima pesanan masakan Aceh dalam jumlah besar, misalnya kue serta lauk pauk khas Aceh.
Perlahan berkembang dan dikenal
Selama ini Zainal merasa tidak ada kesulitan ketika mengenalkan masakan khas Aceh di Jogja, apalagi ia sudah sempat bekerja 21 tahun di restoran Masakan Aceh yang sangat terkenal di Yogyakarta di bidang marketing dan sudah sangat lihai dalam memperkenalkan masakan Aceh tersebut.
Walaupun awalnya, warkopnya kurang diketahui dan diminati, tapi ia tetap bertekad bahwa ia pasti bisa mengenalkan masakan khas Aceh ini pada masyarakat Jogja.
Kesulitan yang ia alami justru adalah hal lain seperti cara mendapatkan bahan asli dan kekurangan karyawan dengan kemampuan memasak masakan Aceh tanpa mengurangi cita rasa khasnya.
“Sebenernya, kesulitannya cuman di bahan-bahan nya aja, susah nyari bahan/bumbu yang asli disini, harus pesan dari aceh dan lama pengirimannya,” keluhnya.
Selain dari bahan-bahan yang sulit dijumpai, kesulitan selanjutnya yang dialami adalah kekurangan karyawan yang mampu masak masakan Aceh tanpa menghilangkan rasa asli nya.
Penulis: Adelia Melati Putri
Editor: Hammam Izzuddin
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
BACA JUGA: Pengobatan Herbal Pagar Nusa Tak Mau Sekadar Mengobati, Ajari Pasien Obati Diri Sendiri
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.