Angkringan Majas dan filosofinya
Sebelum merintis Angkringan Majas, bersama suaminya ia sudah mengelola Kopi Kuwali. Sayangnya, usaha ini tak berjalan mulus. Kata Dyan, ada saja rintangan di tengah jalan yang menghambat usahanya untuk berkembang.
Misalnya, kedai Kopi Kuwali tak pernah awet di satu tempat. Ada saja hambatan yang bikin kedainya itu harus berpindah ketika pelanggan sudah mulai berdatangan. Lucunya lagi, seperti diceritakan Dyan, Kopi Kuwali bahkan pernah hanya bertahan selama empat hari di lapak barunya.
“Kalau kataku, sih, mungkin kita dulu salah ngasih nama. Kata ‘Kopi Kuwali’ itu mungkin terlalu berat ya,” kata Dyan dengan nada bercanda.
Akhirnya, pada 2020, Dyan memutuskan mengganti nama “Kopi Kuwali” menjadi “Majas” dan membuka kedai baru di tempat yang sekarang ini. Kata “Majas” sendiri ia pilih karena punya makna yang mendalam.
Sebenarnya, “Majas” punya kepanjangan “mari jajan sini”. Namun, dalam terminologi Jawa, kata “Majas” berarti tajam dan ampuh. Dyan pun berharap, dengan hadirnya Angkringan Majas, dirinya bisa lebih tajam dalam melihat setiap peluang rezeki di hadapannya.
“Bahkan, huruf ‘J’ di papan nama Majas ‘kan kita pakai gambar gajah, hewan yang kuat dan cerdas. Harapannya bisnis kita bisa mereplikasi sifat gajah tersebut,” ujarnya.
Alhasil, sejak dibukanya Angkringan Majas, pelanggannya makin bertambah. Kedainya sendiri terpantau tak pernah sepi. Khususnya di malam hari, di mana kedai ini menjadi tempat makan sekaligus berbagi gogon politik oleh para pelanggannya.
Tempat ngobrol dan berbagi cerita
Meskipun kedainya kecil dan sederhana, nyatanya Majas jadi tempat nongkrong favorit buat para seniman Jogja. Saat datang malam hari, tak sulit bagi kalian untuk menemui seniman-seniman lokal seperti Encik Krishna, Anang Batas dan seniman-seniman lainnya.
Tokoh-tokoh Alumni Gelanggang UGM, yang kini sudah menjadi peneliti, aktivis, hingga dosen pun, juga menjadikan Majas sebagai tempat mereka berkumpul dan berbagi cerita. Maka, makan di sini tak sekadar bikin kenyang, tapi juga pulang dengan pengetahuan baru.
Selain itu, Dyan juga menyebut, kedainya ini jadi tempat ngumpul anak-anak skena film Jogja. Saat membahas proyek tertentu, biasanya mereka akan begadang semalaman di tempat ini.
“Pernah suatu kali, mereka ini reading di sini. Jadi, orang-orang yang lewat juga pada heran, pada ngeliatin,” kata Dyan.
Dengan senang hati ngajarin resep masakan
Meski usahanya ini semakin berkembang, hingga saat ini Dyan mengaku belum mau untuk melebarkan sayap. Seperti membuka kedai di tempat yang lebih luas ataupun buka cabang. Baginya, kedainya kini sudah seperti apa yang ia cita-citakan dulu.
“Visiku ‘kan pengen bikin tempat yang family feeling, kalau datang itu rasanya kayak pulang ke rumah sendiri,” ujarnya.
“Aku belum berpikir mau buka cabang, tapi kalau ada yang minta ajarin resep, dengan senang hati bakal kuajarin,” pungkas Dyan, menutup obrolan kita malam itu.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari
Cek berita dan artikel lainnya di Google News