#2 Kebutuhan nongkrong yang tidak terpenuhi di warteg
Selain perkara lauk, Nimal memang punya kebiasaan makan bersama teman kos atau kontrakannya. Ia suka nongkrong dulu selepas makan. Dan hal itu lebih mudah dilakukan di warmindo yang menurutnya tata letaknya lebih lapang.
Mojok juga pernah mewawancarai Cholid, seorang pengusaha warteg di Jogja. Berjualan sejak 1999, ia mengamati bahwa di Jogja orang lebih suka makan dengan santai. Setelah makan, pelanggan terutama mahasiswa ingin bercengkerama dahulu sembari merokok atau berbincang.
Sementara warteg, penataan tempat duduk yang mengitari etalase makan. Bagi Cholid, selain memudahkan penataan lauk supaya terlihat jelas, juga agar sirkulasi pelanggan yang makan bisa lebih cepat.
“Pas di Jakarta, pangsa pasar kan buruh pabrik. Mereka makan cepat. Sirkulasi yang keluar masuk lebih cepat juga,” paparnya.
Warteg memang menawarkan keragaman lauk dan sayuran yang tidak ditemukan di warmindo. Etalase lauk di warmindo hanya satu dan tidak terlalu besar. Tapi meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan berlimpah.
#3 Suka kalap kalau makan di warteg
Terakhir, ada cerita dari Tasya (23) yang mengaku kalau lebih sering makan di warmindo. Padahal, secara cita rasa dan kebutuhan terhadap lauk, ia suka warteg.
Alasannya ternyata cukup sederhana, Tasya mengaku setiap makan di warteg jadi kalap memilih banyak lauk dan sayur-sayuran. Sehingga habisnya jauh lebih banyak daripada saat makan di warmindo.
“Kalau di warmindo itu biasanya aku lebih praktis. Ya pesan nasi telur, nanti dikasih sayur satu jenis. Harganya pas nggak nambah ini dan itu,” ungkapnya.
Kisah-kisah tersebut menggambarkan keragaman alasan orang memilih tempat makan andalan. Baik warmindo maupun warteg, punya ciri khas dan kelebihan yang membuatnya bisa jadi pilihan tepat untuk mengganjal perut.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.