Berikut ini cara membedakan pempek asli dan palsu di Jogja menurut lidah orang Palembang. Biar nggak salah pilih.
***
Lima tahun lebih kuliah dan kerja di Jogja, Rahma (25) sudah mencoba puluhan warung pempek yang mengklaim “asli Palembang”. Namun, tiap kali menggigit, selalu ada yang kurang di lidahnya.
“Kadang terlalu manis, kadang terlalu keras, kadang cuko-nya hambar,” kata perempuan asli Palembang ini, Senin (13/10/2025).
Sebagai mahasiswa perantau, Rahma belajar satu hal: menemukan pempek yang cita rasanya benar-benar asli di Jogja ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Setiap warung yang memasang label “asli” membuat dirinya selalu kepo: apakah kali ini benar-benar sesuai harapan, atau sekadar “tipu muslihat”?
Ibu Rahma berjualan pempek di Palembang. Dari kecil, Rahma sudah terbiasa membantu mengaduk adonan ikan tenggiri segar, menakar sagu, dan mencicipi cuko panas yang pekat aroma bawang putih dan gula merah.
Sialnya, ketika pertama kali mencoba pempek di Jogja, Rahma merasa seperti sedang menyantap makanan lain. Padahal, tempat ia makan sudah jelas-jelas memasang spanduk besar: “Pempek Asli Palembang”. Dari pengalaman itu, Rahma akhirnya belajar membedakan mana pempek asli dan yang bukan.
#1 Pempek asli Palembang harus dari ikan yang tepat
Rahma ingat jelas momen di warung pertama yang dikunjungi. Kapal selam dan lenjer (pempek panjang) tersaji hangat di depan mata. Ia kemudian bertanya ke penjual, “Ikan apa yang dipakai?”
Penjual itu tersenyum dan jujur: “Pakai ikan lokal saja, biar murah, Mbak.” Kemudian Rahma mengetahui bahwa itu adalah pempek ikan kakap.
Lidah Rahma langsung mengenali perbedaannya. Pempek asli Palembang yang memakai ikan tenggiri atau belida segar, rasanya kenyal tapi tetap lembut, dengan aroma khas ikan.
Di Jogja, adonannya terasa berbeda, lebih padat, aroma ikan samar. Saat itu Rahma sadar, banyak warung hanya menawarkan versi “ekonomis” pempek, bukan yang asli.
#2 Adonan kenyal tapi tidak keras
Pengalaman lain, ada yang aromanya sudah “tenggiri banget” tapi teksturnya sangat lain. Lebih keras, tidak kenyal seperti pempek asli Palembang.
Di warung lain, Rahma mencoba lenjer yang terlihat menggoda. Gigitan pertama membuat rahangnya bekerja keras. Kata dia, adonan terlalu padat. Ia kemudian membandingkan dengan adonan pempek di rumah yang lebih elastis, ringan, tapi tetap mampu menahan isian telur di kapal selam.
Di momen itu, Rahma merasa seperti “kritikus pempek dadakan”, mencoba menjelaskan pada teman Jogja: “Ini bukan kenyal, ini keras.”
“Kenyal itu seni, anjay! Nggak asal keras kayak karet. Artinya itu ada yang salah sama campuran sagu.”
#3 Cuko yang asli rasanya “seimbang”
Cuko selalu menjadi pusat perhatian Rahma. Ibunya mengajarkan cara membuat cuko yang benar: gula merah larut sempurna, bawang putih dihaluskan dengan tangan, cabai diatur agar pedasnya pas.
Sementara di Jogja? Ia mencicipi cuko yang terlalu manis atau terlalu encer.
Sekali lagi, tatkala Rahma mencoba menanyakan ke penjual: “Apakah ini cuko resep asli Palembang?” Penjual menjawab: “Ya”
“Meskipun aku tahu rasanya nggak Palembang banget. Harus seimbang, nggak bisa terlalu pedas atau terlalu manis.”
#4 Varian pempek asli Palembang itu beragam
Di rumah, Rahma mengenal kapal selam, lenjer, adaan, keriting, bahkan pistel–sebagai varian pempek asli Palembang. Sementara di Jogja, banyak warung hanya menyediakan lenjer dan kapal selam.
Suatu sore, ia datang ke warung yang katanya lengkap. Ia memesan kapal selam, lenjer, dan bertanya: “Ada keriting atau adaan juga?”
Penjual menggeleng, bahkan seperti asing mendengar nama-nama varian tersebut. Rahma pun cuma bisa tersenyum kecut.
Baginya, varian pempek bukan sekadar pilihan, tapi bagian dari budaya dan pengalaman makan yang lengkap. Tanpa varian lengkap, pempek terasa “setengah hati”.
#5 Penyajian yang autentik
Pempek asli disajikan hangat, biasanya di atas daun pisang, dengan irisan timun segar dan cuko kental. Di Jogja, Rahma sering mendapatkan pempek di piring plastik, cuko encer, dan tanpa timun.
Suatu malam, ketika mencoba warung baru, Rahma melihat pempek diletakkan di atas piring keramik, tapi cuko encer dan tanpa daun pisang. Ia tersenyum pahit, mengingat rumah di Palembang: aroma daun pisang, sensasi hangat adonan di tangan, dan rasa timun segar menyeimbangkan cuko.
Detail kecil itu ternyata memengaruhi pengalaman makan, membuatnya terasa jauh dari rumah.
“Aku bukan bermaksud menjadi polisi skena pempek asli Palembang. Hanya saja sebagai orang yang sejak kecil hidup bareng sama makanan ini, rindu aja karena belum nemu yang autentik di perantauan.”
Namun, setiap pengalaman itu membuat Rahma belajar satu hal: menemukan pempek asli di Jogja itu susah, tapi pengalaman mencoba warung demi warung membuat lidahnya semakin peka.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pertama Kali Coba Tahu Gimbal Khas Semarang, Dibuat Bingung dan Khawatir karena Pedagangnya yang Suka Iri-irian atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
