Membayangkan orang hampir DO dua kali saja sudah sulit. Tapi, mantan mahasiswa UNY Jogja satu ini benar-benar mengalaminya.
***
Jujur saja, saya sulit mencari kalimat yang tepat untuk memulai tulisan ini. Sebab, kegagalan adalah hal yang tidak pernah menyenangkan untuk dibicarakan, terlebih jika itu terjadi pada kawan sendiri.
Apri, 32 tahun, adalah kawan saya sewaktu saya masih jadi mahasiswa UNY Jogja. Kawan yang amat baik, malah. Saking dekatnya, nasib kami hampir sama: sama-sama terancam DO. Saya berhasil menghindarinya, meski harus mengalami momen paling memalukan karena menjadi wisudawan dengan IPK terindah. Untuk Apri, yang terjadi sebaliknya.
Dia mau tak mau harus menerima fakta bahwa dia tak selamat.
Masalahnya adalah, ini bukan universitas pertama di mana dia “gagal”. Ini adalah universitas kedua dia kuliah. Ini tentu bukan hal yang mudah untuk diterima. Jelas dia harus menghadapi masalah dan konsekuensi yang ada. Tapi untuk masalah ini, jelas tak mudah.
Tapi dia bisa menghadapinya. Meski berdarah-darah, dia bisa bertahan, dan berhasil menjalani hari. Dan inilah cerita Apri, kuliah di 3 kampus—UAD, UNY, dan Unitomo, dan harus menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang muncul setelahnya.
Kegagalan pertama
Saya baru bisa menghubungi Apri saat tengah malam, sekitar jam 12 malam lebih. Sudah masuk Kamis, baru bisa ngobrol meski sudah janjian dari siang. Maklum, dia harus menunggu anaknya tidur terlebih dahulu. Setelah mengabari bahwa dia bisa dihubungi, langsung saya hubungi saat itu juga.
Saya segera menyingkir, mencari tempat yang agak sepi. Belakangan, tiap malam saya di Akademi Bahagia. Selalu ada orang, selalu ada pembicaraan tiap malamnya.
Pertama-tama, yang tentu saya tanyakan adalah kabar. Basa-basi paling menyedihkan, memang, tapi harus. Dan setelah itu, barulah saya menanyakan hal yang jadi topik tulisan ini.
“Pri, gimana ceritanya kamu kuliah di UAD, terus jadi mahasiswa UNY, gagal lulus, terus di Unitomo, hampir gagal juga?”
***
Apri mulai cerita bagaimana dia bisa kuliah di UAD, kampus pertamanya.
“Dulu, aku awalnya tidak berniat sama sekali kuliah di UAD. Justru aku awalnya berniat kuliah di UGM. Tes beberapa kali, gagal, dan akhirnya putus asa. Masak ya aku nggak kuliah?”
“beberapa hari kemudian, di reunian SD, aku ketemu temanku yang mau daftar UAD. Dia bilang, daftar UAD itu gampang, bisa pakai nilai UAN. Akhirnya ya, aku coba. Iseng-iseng berhadiah. Dan setelah daftar, beneran keterima. Segampang kui. Tenan.”
Tidak seperti kuliah
Dia lanjut bercerita bagaimana dia keterima, lalu daftar ulang bersama bapaknya. Juga bercerita kalau staff kampus yang ngasih almamater ke dia bilang kalau almamaternya mirip baju sopir andong. Setelah dengar ceritanya, saya lanjut bertanya, kenapa dia berhenti melanjutkan studinya di UAD?
“Sumpah, Mor (panggilan saya di kampus), kuliah di UAD rasanya nggak kayak kuliah. Atmosfernya nggak kayak UNY. Koe ra bakal betah sih kuliah neng kono. Semester kedua kuliah, aku satu semester milih cabut ke masjid. Berangkat siang, sampe masjid tidur sampe sore, terus pulang. Semester kedua blas ra kuliah.”
Saya nggak kaget, jujur saja, karena hal ini juga saya lihat sendiri saat dia kuliah di UNY. Wong saya juga begitu.
Lalu saya lanjut tanya, bagaimana proses dia cabut dari UAD lalu lanjut kuliah di UNY.
Kegagalan kedua
Yang namanya ngobrol dengan kawan baik, meski itu kebutuhannya untuk wawancara sekali pun, pasti ke mana-mana. Dan memang inilah yang terjadi, beberapa kali kami berdua ngobrol tentang hal-hal bodoh semasa kuliah. ya mau bagaimana lagi, tulisan ini memang tentang cerita bodoh masa kuliah.
Setelah berputar-putar, akhirnya kami kembali fokus ke cerita, bagaimana bisa dia berpindah ke UNY, dan kenapa hidupnya “hancur” setelah jadi mahasiswa UNY?
Dia cerita bahwa saat UNY buka pendaftaran, dia memohon-mohon untuk boleh pindah ke UNY. Akhirnya boleh, dan seperti yang bisa ditebak, dia akhirnya kuliah di Sastra Inggris UNY Jogja.
Saya yakin kalian bertanya-tanya, bagaimana bisa orang yang memohon-mohon untuk pindah, akhirnya malah DO? Prioritas yang salah.
Selama kuliah, Apri keliru dalam menempatkan prioritasnya. Punya kawan-kawan yang kelewat bodo amat dengan kuliah, bikin masalah prioritas jadi makin parah. Dan itu yang terjadi pada Apri. Selama hampir 7 tahun, prioritasnya bukan kuliah. Entah apa, tapi yang jelas, masuk kelas adalah prioritas terakhir.
Tumpukan-tumpukan kesalahan itu akhirnya menemui puncaknya. Apri dipanggil kaprodi, dan dia disarankan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dunianya runtuh.
Puncak kegagalan, ditendang dari UNY
Apri harus membawa kabar buruk tersebut ke keluarganya. Butuh hampir 3 bulan mengumpulkan keberanian, dan akhirnya dia mengabari keluarganya bahwa dia DO dari UNY. Tak perlu ditebak lagi reaksi keluarganya.
Setelah DO dari UNY, Apri memutuskan untuk pindah ke Unitomo Surabay. Dia harus angkat kaki dari Jogja, dan menetap di Surabaya. Memulai baru hidupnya, menjalani konsekuensi yang timbul dari kesalahan-kesalahan yang dia buat. Setelah dua tahun, akhirnya dia lulus. Apakah mulus? Tidak, dia hampir DO, lagi.
Tapi seperti kata orang, third time’s the charm. Meski hampir gagal, dia akhirnya menggenggam gelar sarjana. Gelar yang mungkin bisa dia dapat hampir satu dekade lalu.
Menyesal DO dari UNY
Apri tidak bisa memungkiri, dia begitu menyesal DO dari UNY Jogja. Dia merasa jadi mahasiswa UNY itu kebanggaan, UNY lah tempat dia seharusnya berada. Tapi alih-alih membuktikan diri, dia malah membenamkan diri ke lubang yang seharusnya tidak dia lirik. Yang namanya penyesalan memang datang di akhir. Tapi penyesalan, kadang malah membawa kita ke titik yang lebih baik.
“Mungkin kalau aku tidak DO, aku malah tidak bisa memahami orang tuaku. Tidak bisa jadi orang yang lebih baik. Mungkin hidupku masih belum bisa dikatakan sukses, jauh dari itu, tapi justru versiku sekarang inilah yang aku cari dari dulu.”
“Pri, misal kuliahmu bener, tetep jadi mahasiswa UNY dan lulus, apakah hidupmu lebih baik?”
“Bisa jadi malah tidak.”
“Kok iso?”
“Karena aku nggak akan bisa memahami apa yang orang tuaku selama ini pikirkan. Justru bisa jadi aku malah jadi manusia yang lebih buruk ketimbang ini. Bisa jadi aku sukses secara finansial andai aku lulus dari UNY. Tapi, malah jadi manusia yang lebih buruk.”
Saya terhenyak ketika mendengar hal tersebut. Terkadang, beberapa manusia butuh terjerembab di dasar lubang kehidupan. Sebab, di dasar lubang itulah, manusia baru bisa mengerti bahwa tak ada pilihan lain selain memanjat. Tinggi, dan lebih tinggi.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.