MOJOK.CO – Lembaga pemantau kebebasan berekspresi menyebut pedoman interpretasi UU ITE seperti tak didengarkan penegak hukum. Padahal pedoman ini jadi alasan pemerintah pemerintah menolak desakan revisi UU tersebut.
Stella Monica tak menyangka curhatannya di media sosial tentang perawatan wajah L’Viors Beauty Clinic, Surabaya harus dibayar mahal. Curhatannya itu dilaporkan klinik ke kepolisian atas tuduhan melanggar UU ITE Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 4 tentang pencemaran nama baik. Sidang sudah berjalan sejak 22 April lalu. Dalam sidang tuntutan Kamis kemarin (21/10), jaksa menuntut Stella dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp10 juta.
Tuntutan tersebut segera menjadi isu yang mengemuka. Pasalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi UU ITE ternyata tak bisa menyetop kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE.
“SKB tidak dijalankan Jaksa, padahal isinya pedoman interpretasi bahwa pasal 27 ayat 3 poin c: pencemaran nama bukan untuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi; poin f: pencemaran nama hanya untuk individu, tdk untuk institusi/korporasi. Apa guna SKB, prof @mohmahfudmd?” twit Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto.
Kasus ini bermula ketika Stella menjalani perawatan kulit wajah di L’Viors sepanjang Januari-September 2019. Selama itu, ia mendapatkan tindakan dari dokter klinik, diberi krim wajah, serta mengonsumsi obat dari dokter. Pada Oktober, Stella berhenti memakai obat dari L’Viors karena merasa kondisi kulit wajahnya sangat tergantung pada obat. Sebab, saat ia berhenti melakukan perawatan, kulit wajahnya justru meradang.
Masalah ini membuat Stella curhat di Instagram Story pada Desember tahun itu. Ia juga menggunggah skrinsut chat-nya dengan dokter klinik. Hampir sebulan kemudian, curhat itu berbuah surat somasi dari pengacara klinik L’Viors hingga kemudian berujung laporan ke polisi.
Dalam diskusi publik mengenai kasus ini, Kepala Divisi Kebebasan Berpendapat SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, kasus Stella menambah bukti betapa liarnya penggunaan pasal bermasalah di UU ITE. Salah satunya Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
SAFEnet sendiri, sepanjang 2021, telah mencatat 30 kasus UU ITE yang mereka nilai sebagai kriminalisasi. Kasus-kasus tersebut juga menimpa orang yang mengomentari kinerja institusi atau organisasi, tanpa menyebut nama orang per orang. Padahal, SKB 3 Lembaga tentang Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri telah mengatur pasal pencemaran nama baik UU ITE hanya bisa dipakai untuk dugaan pencemaran nama baik orang perorangan.
Menurut SKB tersebut, UU ITE Pasal 27 ayat 3 terkait dengan KUHP Pasal 310 dan 311, yaitu delik yang menyerang kehormatan seseorang atau tentang kabar tak benar tentang seseorang. SKB itu juga mengatur bahwa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan tak boleh digolongkan sebagai pencemaran nama baik.
Sebagai konteks, SKB ini diteken pada Juni lalu sebagai solusi pemerintah atas desakan masyarakat agar pasal-pasal karet di UU ITE segera direvisi. Pasal karet yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 1 sampai 4, Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 29, dan Pasal 36.
“Ternyata dari kasus Stella pun, SKB seolah-olah tidak didengarkan atau dianggap tidak ada. Bahkan di banyak kasus UU ITE lain yang memang terus ada dan terus kami monitoring bahkan setelah SKB 3 Lembaga ditandatangani, ternyata kasus-kasus masih terus diproses walaupun tidak sesuai dengan pedoman implementasi tersebut,” kata Nenden.
Menurut Nenden, tagar #SemuaBisaKena yang didengungkan SAFEnet benar-benar mencerminkan bahwa siapa pun bisa jadi korban kriminalisasi UU ITE. Karena itu, kebutuhan revisi UU ITE tak bisa digantikan oleh SKB. “Tentunya hal ini jadi alarm juga buat kita, kalau kami kembali lagi terus mengingatkan kepada semua pihak revisi ini akan betul-betul diperlukan,” ujar Nenden.
BACA JUGA Viral Video Penyiksaan Anjing oleh Aparat Aceh, Disebut Terkait Wisata Halal dan kabar terbaru lainnya di KILAS.