MOJOK.CO – Pengamat media menyebut, riuhnya berita negatif kepolisian karena masyarakat mendapat momentum untuk mengkritik masalah yang sudah lama ada di tubuh Polri.
Serangkaian berita kriminal yang pelakunya adalah polisi sedang gencar-gencarnya muncul beberapa minggu terakhir. Paling baru adalah video viral pemukulan anak buah oleh Kapolres Nunukan di Kalimantan Utara dan polisi menembak rekan sendiri hingga tewas di NTB. Berbagai kekerasan yang dilakukan polisi itu ramai diperbincangkan di media sosial. Tak jarang warganet malah curhat berjamaah soal pengalaman negatifnya saat bersinggungan dengan polisi.
Kamu mungkin merasakan hal yang sama. Tiba-tiba merasa dijejali berita polisi tiap hari. Mungkin kamu pun sama dengan kami, bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi?
Dosen Komunikasi UGM yang juga pengamat media, Wisnu Prasetya Utomo, menyebut fenomena ramainya berita negatif tentang kepolisian adalah hal yang wajar. Alasannya, kepolisian merupakan salah satu institusi di Indonesia yang berpengaruh dan sehari-hari berinteraksi dengan warga. Macam-macam curhat di media sosial menunjukkan, banyak dari interaksi tidak menyenangkan. Akibatnya, ketika ada berita negatif, warga lain yang pernah merasakan hal serupa merasa perlu ikut menggaungkannya.
“Pengalaman negatif itu kan sifatnya kolektif, artinya bisa dirasakan banyak orang. Nah, menurutku itu yang membuat kenapa berita-berita itu bisa muncul berhari-hari di media. Kemudian problem ini (kinerja polisi) kan sebetulnya sudah lama, cuma baru belakangan saja ramai di media,” ungkap Wisnu kepada Mojok.
Wisnu menyebut, kasus-kasus yang membelit kepolisian menjadi momentum warga untuk mengkritik kinerja kepolisian. “Kita berada di era keterbukaan di mana semua institusi negara nggak bisa berlindung dari transparansi. Karena ada yang akan mendokumentasikan berbagai pelanggaran yang muncul, baik itu di video, karya jurnalistik, atau sesederhana rekaman video. Itu kan bukan karena warga mengekspose ada masalah, tapi karena institusi polisi ini yang mengekspose masalahnya sendiri,” jelas Wisnu.
Sayangnya, sebagaimana yang Wisnu dan publik lihat, respons awal kepolisian malah mengecewakan. Pakemnya, kritik dijawab dengan sanggahan, ancaman, serta label hoax pada media massa yang memberitakan. Poin terakhir ini sempat dialami Project Multatuli dan Republika. Padahal seharusnya Polri memaknai kritik sebagai masukan untuk memperbaiki diri alih-alih serangan.
Di tengah respons tak asyik kepolisian, Wisnu mengapresiasi sikap Kapolri yang mulai meminta jajarannya menindak tegas anggota yang bermasalah. Gestur ini memang tak cukup, belum sampai pada reformasi Polri, namun ada tanda-tanda baik berupa pendekatan yang berbeda atas kritik.
“Denial menurutku juga percuma karena lagi-lagi kita tidak bisa memaknai kritik dari warga sebagai serangan, saya kira institusi kepolisian mestinya terbuka dengan kritik karena dibiayai oleh dana publik, dan kita sebagai publik juga berhak untuk melakukan kritik ketika menemui ada penyimpangan,” pungkasnya.
BACA JUGA Brigadir Sony yang Dipukul Kapolres Nunukan Minta Maaf Kepada Pelaku dan kabar terbaru lainnya di KILAS.