Meski pihak rektorat mengklaim punya tujuan positif, pada praktiknya kritikan menghujani program tersebut. Bahkan, pada Maret 2011 sempat ada demonstrasi mahasiswa yang menuntut pencabutan aturan KIK.
Saat itu, mahasiswa menuntut agar Peraturan Rektor No Rektor No 408/P/SK/HT/2010 tentang pemberlakuan KIK di kampus UGM karena jadi bentuk komersialisasi kampus. Saat itu, motor tanpa KIK kena tarif Rp1000 sementara mobil Rp2000.
Selain itu, koordinator massa aksi saat itu, Wisnu Prasetya justru menilai penerapan KIK berimbas pada kemacetan di pintu masuk kampus. Selain itu satpam yang tugas menjaga keamanan malah jadi tukang pungut karcis,” kata Wisnu melansir Detik.
Ombudsman RI sampai turun tangan
Setelah mendapat banyak protes, pada 2012, Ombudsman RI juga sempat menyoroti kebijakan KIK tersebut. Anggota Ombdusman RI, Budi Santoso menilai pembatasan kendaraan masuk kampus sebenarnya hal yang wajar, tapi pemungutan uang menjadi sorotan publik.
“Ori melakukan klarifikasi kebijakan KIK UGM berdasarkan laporan dari Kelompok Kerja Akuntabilitas Pendidikan Tinggi,” kata Budi.
Setelah berjalan beberapa waktu akhirnya kebijakan disensitif KIK berhenti. Pada 2013, UGM sempat mengeluarkan produk smartcard pengganti KIK yang tidak membatasi pengendara dari kalangan umum untuk masuk.
Hingga saat ini, setelah melewati berbagai perubahan kebijakan, masyarakat umum tanpa kepentingan tetap bisa mengakses berbagai titik di UGM tanpa perlu membayar. Beberapa lokasi seperti Taman Kearifan dan sudut ruang terbuka UGM lainnya jadi area yang kerap dikunjungi masyarakat luas.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News