Saya juga pernah mewawancarai seorang teknisi pesawat yang dulunya studi di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) bernama Faris (25). Ia dulunya studi di bidang kelistrikan dengan sistem ikatan dinas.
Meski begitu, karena lulusnya di saat masih pandemi, ia pun harus menunggu hingga enam bulan sampai benar-benar dapat panggilan kerja. Penyebabnya karena situasi pandemi yang membuat dunia penerbangan tergoncang.
Pilih kerja jadi tukang sablon
Situasi serupa juga dialami oleh Habsi. Lulus masih di akhir masa pandemi, dunia penerbangan belum sepenuhnya pulih.
“Ternyata cari kerja di dunia penerbangan tak semudah yang dibayangkan,” kelakarnya.
Ia mengaku sudah mengirim cukup banyak lamaran. Namun, penolakan demi penolakan terus menghampirinya.
Demi bertahan di perantauan, Jimi pun rela mencari pekerjaan apa saja. Sampai, ia akhirnya bekerja di tempat seorang relasi yang punya usaha di bidang pembuatan pakaian. Habsi, menjadi tukang press atau tukang sablon.
Sebenarnya, pekerjaan itu sudah ia lakoni sejak masih di akhir masa sekolah penerbangan. Setelah lulus, mengingat sulitnya cari pekerjaan ia putuskan untuk bertahan dan lebih menyerusi pekerjaan sebagai tukang sablon.
“Ya lumayan, gajinya di atas UMR Jogja. Bisa buat bertahan sambil terus coba daftar di bidang penerbangan karena orang tua juga penginnya bisa linear,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, relasi sangat penting untuk mendapatkan kerjaan di bidangnya. Tak heran, jika hubungan senior dan junior harus terus dijaga.
“Banyak di antara temanku tuh yang masuk kerja gara-gara orang dalam. Ya entah saudara atau senior yang benar-benar dekat. Sayangnya aku nggak punya itu,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
)* bukan nama sebenarnya, identitas narasumber disamarkan.
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News