Ekspektasi warga terlalu berlebihan
Saat tiba giliran Pak Lurah yang memberi pesan dan kesan di momen perpisahan mahasiswa KKN itu, suasana jadi serba kikuk. Gatra dan teman-temannya hanya bisa diam dan salah tingkah, sambil membatin kesal.
“Pak Lurah intinya menyayangkan, karena program-program kami nggak ada dampaknya. Seemntara Pak Lurah berharap, keberadaan mahasiswa KKN—sebagai kalangan terpelajar—bisa membantu menyelesaikan beragam persoalan di desa. Abot tenan (berat sekali),” ujar Gatra.
Panjang lebar Pak Lurah memaparkan keresahannya. Dia berharap agar mahasiswa—entah saat mau KKN atau saat ke desa—itu benar-benar punya tawaran solusi yang benar-benar baru. Sehingga keberadaan mahasiswa tidak hanya sekadar ngalor-ngidul, bikin acara remeh-remeh, tapi meninggalkan sesuatu yang berharga bagi warga.
“Dengan begitu, jasa mahasiswa KKN akan kami kenang selamanya,” ucap Pak Lurah yang ditirukan kembali oleh Gatra.
Sementara hanya bisa Gatra membatin, ya kalau mengatasi masalah desa ditanggungkan ke mahasiswa, lantas perangkat desa atau pejabat lebih tinggi ngapain?
Dana nggak ada…
Ngomongin problematika mahasiswa saat KKN memang beragam. Ada yang datang KKN hanya untuk sebatas formalitas. Ada juga yang bernasib seperti Gatra, ingin membuat banyak program tapi terbentur keterbatasan dana dari kampus.
“Jadi program yang bisa kami lakukan ya yang bisa dijangkau. Misalnya, bikin sosialisasi sama warga soal pentingnya pendidikan, soal bank sampah. Sisanya bikin program bimbingan belajar ke anak-anak hingga acara 17 Agustusan. Hanya sebatas itu yang kami bisa,” beber Gatra.
Pak Lurah punya keluh kesah banyak. Di antara yang paling vital menurutnya adalah susah air ketika musim kemarau. Tapi Gatra dan teman-temannya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mengatasi.
“Kami KKN di desa kan bukan untuk sepenuhnya memberi solusi bagi warga desa. Kami malah berniat belajar dari warga desa,” ungkap Gatra.
Tak ada yang mengantar pulang
Usai malam perpisahan tersebut, rombongan mahasiswa KKN pulang keesokan harinya bersiap pulang. Tidak ada yang spesial dari kepulangan tersebut.
Tak ada warga yang mengantar dan melepas dengan penuh haru. Tak ada anak-anak yang membuntuti.
Hanya ada Pak Lurah yang dipamiti dengan enggan. Juga tuan rumah yang menjadi posko Gatra dan kawan-kawan selama hampir tiga bulan.
Di atas kendaraan yang mengantar Gatra meninggalkan desa, para mahasiswa KKN itu hanya bisa saling menggerutu sebal atas malam perpisahan yang tidak mereka sangka bakal menjadi anyep dan penuh kekesalan.
“Sampai saat ini masih suka iri dengan mahasiswa-mahasiswa KKN yang waktu perpisahan dapat kesan mengharu biru,” tutur Gatra.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ironi Mahasiswa KKN: Merasa Berjasa Membangun Desa Orang tapi Tak Berguna di Desa Sendiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan











