Mahasiswa UIN lulus jadi guru agama
Jika Amran kuliah Universitas Islam Negeri lantaran tidak punya pilihan lain—karena sejalur dengan pesantren—berbeda dengan Kamal (28), pemuda asal Kediri, Jawa Timur.
Kamal awalnya mengincar kampus-kampus di bawah Kemendikbudristek melalui jalur SNBP (dulu SNMPTN) dan UTBK-SNBT (dulu SBMPTN). Namun karena tidak lolos, alhasil dia memilih kampus di bawah Kemenag (Universitas Islam Negeri).
“Kuliah UIN? Itu dulu IAIN ya? Oh mau jadi guru agama.”
Kira-kira begitulah respons banyak orang sedari awal kuliah tiap Kamal mengaku kalau dia adalah mahasiswa UIN. Sampai lulus pun masih ada saja tetangganya yang nyeletuk, “Lulusan IAIN kok nggak jadi guru agama, Mas. Malah tukang foto.”
Setelah lulus, Kamal mencoba merintis bisnis wedding photography. Label mahasiswa UIN—yang identik dengan visual agamis—pun Kamal tanggalkan. Hal itu ternyata juga menjadi masalah. Karena beberapa tetangganya, entah kenapa suka nyindir: arek IAIN kok nggak kayak orang tahu agama. Mumet!
Cara pikir liberal
Situasi tersebut akhirnya memberikan label baru pada Kamal. Yakni “liberal”.
“Nggak tahu gimana mulanya, mahasiswa UIN itu sering dicap liberal. Dianggap menggampangkan agama,” kata Kamal.
Padahal, bagi Kamal sendiri, agama adalah urusan hamba dengan Tuhannya. Yang berhak menilai kualitas relijiusitas seseorang ya Tuhan. Bukan orang lain.
“Kalau seseorang melanggar hukum sosial, misalnya suka mencuri barang orang lain, silakan kalau mau berkomentar. Sepanjang nggak merugikan orang lain walaupun tampilan nggak agamis, kan salahnya di mana?”
Gara-gara PMII dan HMI
Baik Amran maupun Kamal punya pengalaman yang sama soal PMII dan HMI, organisasi ekstra kampus yang eksis di banyak UIN.
PMII dan HMI punya rivalitas tinggi dalam konteks politik elektoral kampus. Saling berebut kuasa dengan huru-hara dan konfrontatif.
Itu membuat citra mahasiswa UIN ikut jadi buruk di mata mahasiswa kampus lain. Sebab, alih-alih menciptakan ekosistem yang produktif, rivalitas antar-kedua organisasi ekstra itu justru seperti terjebak dalam kejumudan dan lebih terkesan sebagai tukang onar.
“Ini masih belum ngomongin soal realita betapa mahasiswa UIN sering kali disisihkan dari persaingan kerja. Kalah pamor dengan nama-nama besar kampus negeri umum,” tutup Kamal.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Dominasi Ormek di Unair dan UINSA Surabaya Bikin Mahasiswa Muak, Bagi-Bagi Kursi Sampai Nilep Duit Organisasi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












