Di dalam kelas, mereka mendapat kuliah tentang bagaimana demokrasi dan sistem pemerintahan seharusnya dijalankan dengan baik. Namun, ketika Dosen Fisipol UGM berada dalam lingkaran dekat penguasa, justru membuat malu mahasiswanya.
***
Ghea Annisah (21) mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan di Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM mengaku malu dan kecewa dengan dosen-dosennya yang saat ini ada di lingkaran dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia melihat, materi yang dosen-dosen itu berikan di dalam kelas, sangat berbeda dengan kenyataan yang ia lihat sekarang.
Dua dosen UGM yang kini berada di lingkaran dekat kekuasaan Jokowi dan ramai dalam pemberitaan media adalah dosennya. “Pak Tik, dan Mas Ari, sama-sama mengajar di mata kuliah Sistem Institusi Pemerintahan,” ujarnya.
Mahasiswa UGM kecewa dengan dosennya di Fisipol UGM
Ghea menyoroti dua hal yang membuatnya malu dan kecewa kepada dosen-dosenya. Peristiwa pertama adalah munculnya Petisi Bulaksumur yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar Profesor Koentjoro pada, Rabu 31 Januari 2024 di Balairung UGM. Hadir dalam aksi tersebut sekelompok guru besar, dosen, mahasiswa hingga alumni.
Ghea hadir dalam acara tersebut sebagai bagian dari perwakilan mahasiswa. Beberapa hari kemudian Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana kepada Tempo menyebut bahwa aksi kritik sejumlah kampus terhadap Jokowi karena adanya pihak yang melakukan orkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral.
Hal lain yang membuatnya malu adalah setelah membaca dan menonton reportase tentang sosok Pratikno yang Tempo sebut sebagai operator politik Jokowi. “Saya nonton Bocor Alus dan dari laporan Tempo, itu menurutku clear. Sangat-sangat memalukan gitu loh. Memalukan dalam artian orang yang memiliki intelektualitas melakukan hal itu,” katanya kepada Mojok, 6 Februari 2024.
Petisi Bulaksumur sudah seharusnya ada, bukan orkestrasi elektoral
Ghea juga tidak habis pikir, Ari Dwipayana yang juga pernah mengajarnya di UGM menyebut berbagai aksi dari berbagai kampus sebagai aksi orkestrasi elektoral.
“Wah itu sebagai mahasiswa Fisipol UGM, kecewa berat, banget. Rasa-rasanya sangat-sangat memalukan aku, Mas. Aku sebagai mahasiswa di Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan, ingat pesan guruku, juga guru bersama di Politik Pemerintahan, Prof Cony (Cornelis Lay) sangat menekankan tentang hal-hal terkait dengan demokrasi dan kekuasaan,” katanya.
Menurut Ghea, aksi Petisi Bulaksumur dan kampus-kampus lain yang mengkritik Jokowi memang sudah seharusnya perguruan tinggi lakukan. Kampus mengedepankan intelektualitas dan menjadi pihak yang seharusnya selalu berada di tengah.
“Jadi kalau melihat ada yang melenceng, memang kewajiban kampus untuk memberikan nasihat. Kalau apa-apa disebut sebagai orkestrasi elektoral, terus siapa yang akan mengkritik?,” katanya.
Menurut Gea, apa yang civitas academica UGM lakukan melalui Petisi Bulaksumur itu menurutnya masih cukup halus. Bahkan menurutnya bukan sebuah petisi, tapi lebih ke imbauan. Tidak ada penegasan, bahkan ancaman.
Menurut Ghea, semua orang itu dasarnya memang punya kepentingan. Namun, kalau kemudian muncul banyak petisi, kritik, yang terkait dengan demokrasi, artinya orang-orang tersebut sadar memang ada yang salah dalam persoalan yang mereka kritik.
“Artinya mereka punya kepentingan yang sama dalam demokrasi. Mereka melihat ada yang salah pada apa yang sudah founding father kita bawa yaitu, Pancasila, dan Undang-Undang 1945 yang selama ini jadi koridor agar (kekuasaan) tidak kiri kanan, nggak mencla-mencle. Petisi-petisi itu muncul karena melencengnya kekuasaan sudah jauh,” kata mahasiswa Fisipol UGM yang tengah menyelesaikan skripsi ini.
Kekuasaan itu ibarat racun, penawarnya harusnya dari intelektual di kampus
Menurut Ghea, bahwa kekuasaan bagi politik itu adalah racun. Dan ia melihat seharusnya, penawar dari racun itu adalah intelektual. Siapa yang punya intelektual? Universitas.
Menurut Ghea, kampus harus kembali mengembangkan tradisi intelektualitas sebagai jalan tengah. Bukan malah terlalu dekat dengan kekuasaan. Dia melihat UGM terlalu baik untuk berada di dekat kekuasaan.
Masalahnya lagi menurut Ghea, meski Jokowi adalah alumni UGM yang menjadi presiden, dosen-dosen yang saat ini berada di lingkaran kekuasaan harus tahu, mereka di sana bukan sepenuhnya milik negara.
“UGM meminjamkan mereka kepada negara. Meminjamkan loh! Bahasanya bukan memberikan ke negara. Kalau meminjamkan, kamu harus balik lagi ke rumah pada saatnya,” kata Ghea.
Sebagai mahasiswa UGM, ia melihat, dosen-dosennya yang dari Fisipol sudah merasa nyaman di lingkaran kekuasaan, nyaman di singgasananya saat ini, merasa nggak harus balik ke rumah. “Kalau itu yang terjadi, kami kecewa,” kata Gea.
Ghea paham, keresahan yang ia rasakan soal dosen-dosen Fisipol UGM di lingkaran dekat kekuasaan juga pastinya dirasakan oleh dosen-dosen di Departemen Politik Pemerintahan yang kini masih aktif mengajar.
“Mungkin ada pertanyaan, apa dosen-dosen Fisipol UGM nggak ngasih tahu Pak Pratik ya? Aku sih yakin dosen-dosenku semuanya tahu politik, tahu pemerintahan, mereka lebih jago. Mereka akan memberikan imbauan pertama, itu pasti, imbauan-imbauan itu mungkin sudah mereka lakukan,” kata Ghea.
Baca halaman selanjutnya
Mahasiswa UGM nilai dosen-dosen UGM yang ada di dekat Jokowi karena punya kepentingan