Lulus dari kampus sekaliber Universitas Gadjah Mada (UGM) tak bikin Salim* (29) cepat dapat kerja. Penyebabnya, IPK-nya hanya 2,9 yang bikin lamaran kerjanya ditolak sana-sini. Ia pun kudu “nyuci ijazah” ke kampus swasta untuk mempermudah jalannya mencari pekerjaan.
“Soalnya, kalau modal ijazah UGM yang ada angka [IPK] 2,9 bikin aku bosen banget berkali-kali ditolak masuk kerja,” ujar Salim, saat Mojok hubungi Sabtu (6/4/2024). “Enggak ada cara lain. Kudu cuci ijazah,” sambungnya.
Mati-matian masuk UGM buat meneruskan tradisi keluarga
Salim masuk UGM pad 2013 lalu. Ia masuk ke salah satu jurusan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) melalui jalur terakhir yang bisa diikuti, yakni Utul alias ujian tulis.
Prosedur itu kudu Salim ambil lantaran gagal di dua jalur sebelumnya. Pada SNBP (dulu SNMPTN), ia sudah gagal sejak awal karena bukan siswa eligible alias tak memenuhi syarat. Sementara pada SNBT (SBMPTN) Salim juga gagal meski menaruh UGM di dua pilihan pertama. Alhasil, buat mewujudkan mimpinya kuliah di UGM, mau tak mau ia kudu mengikuti Utul.
“Dua orang kakakku lulusan UGM semua. Masku yang pertama lulusan teknik. Kalau yang kedua alumni Peternakan. Makanya, mau enggak mau aku kudu masuk UGM biar enggak mutus tradisi keluarga,” kelakar lelaki asal Jogja ini, menjelaskan alasannya ngebet masuk UGM.
Untungnya, Salim tak perlu gap year buat bisa kuliah di UGM, sebab ia lolos jalur Utul. Satu fase kehidupannya pun berhasil ia lewati, meskipun ada istilah “keluar UGM jauh lebih sulit ketimbang masuknya”.
Memilih lulus lebih cepat tapi IPK ancur, ketimbang jadi mahasiswa bangkotan di UGM
Istilah “keluar UGM jauh lebih sulit ketimbang masuknya” tadi nyatanya bukan isapan jempol. Di fakultasnya, FIB, setidaknya Salim menjumpai cukup banyak kakak tingkatnya yang enggak lulus-lulus. Mereka struggle sebagai mahasiswa tua yang kejar-kejaran dengan ambang batas waktu DO.
“Malah di jurusanku, kakak tingkat teman nongkrong, udah DO,” jelas alumni UGM ini.
Melihat fakta itu, Salim punya prinsip, jangan sampai dirinya ikut-ikutan jadi mahasiswa bangkotan, apalagi DO. Kebetulan juga nilai kuliahnya memang sedang ancur-ancuran lantaran karena kuliah yang ogah-ogahan, sehingga IPK-nya selalu jeblok.
“Tapi sesuai prinsipku tadi, mending aku lulus cepat tapi IPK jeblok ketimbang harus jadi mahasiswa tua seperti yang lain,” ujarnya. “Pertimbangannya kan, minimal kalau sudah lulus kuliah, bisa langsung cari kerja. Aku enggak mau juga lama-lama hidup di kampus.”
Sampai semester 10, IPK Salim adalah 2,9. Menyentuh angka 3.00 saja tidak. Bahkan, pada empat semester sebelumnya, IPK-nya lebih jeblok lagi, hanya 2,65.
“Jadi, waktu itu aku sudah berhitung, kalau mau lulus dengan IPK di atas 3, paling enggak di semester sisanya semua nilaiku harus A,” kata Salim. Nyatanya target itu susah ia kejar. Saat lulus UGM pada 2018 lalu, IPK-nya mentok di 2,9.
Lamaran pekerjaan ditolak 20 gara-gara IPK mentok tanah
Tak lama setelah lulus kuliah, mahasiswa UGM dengan IPK kecil ini langsung hunting pekerjaan. Ia memasukkan banyak lamaran ke kantor-kantor yang sedang buka lowongan. Awalnya, dia masih cukup idealis, hanya memasukan lamaran ke bidang pekerjaan yang masih linier dengan jurusannya.
“Tapi kok susah, saingannya banyak. Apalagi aku lulus IPK-nya cuma 2,9. Udah jelas bakal disikat sama lulusan yang lebih oke.”
Suatu kali, Salim lolos interview di sebuah instansi di Kota Bandung. Ia optimis bakal dapat pekerjaan, karena di kepalanya ada dugaan, “kalau lolos interview, 90 persen bakal keterima kerja”. Sayangnya asumsi itu sepenuhnya keliru. Ruang interview malah jadi tempat penghakiman baginya.
“Berkali-kali orang yang nginterview aku malah nanya-nanya, ‘kok bisa IPK kamu enggak sampai 3’, ‘kamu kuliah ngapain aja’, ‘IPK segitu tanda enggak punya skill’, pokoknya nyakitin semua,” kesalnya. “Kalau emang mau nolak, minimal enggak usah nyerang yang bagian itu lah.”
Berikut hari, Salim coba membuang idealismenya. Ia mulai melebarkan sayap, tak lagi melamar pekerjaan yang linier dengan jurusannya. Sayangnya, nasibnya tetap sama saja, penolakan terus terjadi. Hampir enam bulan sana sini masukin lamaran, ia hitung ada 20 kantor lebih yang menolaknya. Dugaan dia, persoalannya sama, yakni karena IPK cuma 2,9.
Baca halaman selanjutnya…
Harus cuci ijazah ke PTS buat bersihin ijazah S1-nya yang enggak laku.