Di balik postingan Instagram yang nyentrik, siapa sangka terdapat mental dan fisik yang mobat-mabit. Di balik kopi mahal yang ia seruput dan tempat nongkrong Instagramable itu, nyatanya ada keringat yang harus diperas buat mendapatkannya. Itulah gambaran Adam (21), mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY, yang sejak dua tahun terakhir kudu jungkir balik ambil kerja sampingan alias part time. Motivasinya satu: demi mendapat validasi “hits” dari tongkrongannya.
Bagi sebagian besar mahasiswa, pengakuan dari tongkrongannya memang penting. Bahkan, sampai ada istilah “nongkrong nomor satu, makan nanti dulu.”
Awalnya, saya mengira kalau istilah itu guyonan saja. Namun, sejak bertemu Adam, persepsi saya berbalik. Ternyata, itu adalah ungkapan yang serius, tulus dari dalam hati, dan sudah menjadi budaya yang mereka akui.
Kalau ada superhero yang siap menjemput ajal demi sang pujaan hati, mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY ini rela mati demi validasi.
Kaget, dapat circle yang “hits” di kalangan mahasiswa UNY
Sebagai orang yang bertahun-tahun jadi dedengkot UNY, saya sadar betul kalau “fenomena Adam” ini tidak tunggal. Ada banyak mahasiswa serupa Adam di luar sana, yang rela melakukan beberapa hal demi dapat pengakuan circle-nya.
Namun, berkorban waktu dan tenaga secara berlebihan buat dapat kata “keren!” dari tongkrongannya, sebenarnya saya cukup jarang melihatnya. Setidaknya, hal itu tidak ada di tongkrongan saya dulu.
Adam pun sebenarnya juga demikian. Ia berangkat dari lingkar pertemanan yang biasa-biasa saja saat SMA. Satu hal yang bikin mahasiswa asal Jawa Timur ini mengalami culture shock, teman-teman seangkatannya–kalau mengutip kata-katanya, “hits banget”.
“Outfit, cara bergaul, tongkrongan, rasa-rasanya aku enggak bisa mengikuti,” ujar mahasiswa UNY ini.
Tapi apalah daya, kata mahasiswa Ilmu Komunikasi ini, budaya itu harus ia terima. Tak mau terjebak menjadi mahasiswa kupu-kupu, ia harus bergaul dan mengikuti “cara main” teman-temannya yang hits itu.
Paling sederhana, Adam mulai mengarsipkan beberapa postingan Instagramnya yang ia rasa kurang estetik. Kemudian menggantinya dengan beberapa foto baru yang lebih nyentrik. Sederhana memang, tapi cukup untuk mendapat “rispek!” dari teman-temannya.
“Kadang sepatu, flanel, sebenarnya juga modal minjem aja. Cari yang belum pernah diposting teman-temanku, biar keliatan punya sendiri.”
Transferan ortu tak cukup buat mengejar gengsi
Adam mengaku, keluarganya tak miskin-miskin amat. Buktinya, UKT mahal dan uang pangkal yang nominalnya enggak ngotak pun tetap mereka jabani. Tapi mereka juga tak tajir-tajir amat. Transferan Rp200 ribu per minggu adalah buktinya.
“Buat bensin aja udah habis berapa. Belum lagi buat makan. Ya pasti kurang,” kata mahasiswa Ilkom ini.
Buat makan saja pas-pasan, apalagi buat mengejar gengsi. Kadang ia juga cukup gelagapan kalau teman-temannya mengajak nonton konser atau sekadar nongkrong di coffee shop mahal.
“Kalau lagi enggak ada uang bingung juga. Tapi bingung nolaknya,” sambungnya.
Ada kalanya, mahasiswa UNY ini berpikir untuk menipu kedua orang tuanya agar dapat uang lebih. Seperti mengaku ada tagihan darurat dari kampus, atau harus membeli beberapa keperluan kuliah. Namun, apa daya, ia tak sampai hati buat berbohong kepada orang tua itu.
Alhasil, mau tak mau dia kudu nyari kerja sampingan buat dapat uang lebih. Untungnya, kata Adam, “di Jogja gampang cari kerja. Tapi dapat bayaran layak yang susah.”
Cari kerja sampingan pun harus yang keren
Banyak pekerjaan sampingan telah Adam ambil. Mulai dari part time sebagai pramusaji di rumah makan, petugas delivery di tempat loundry, hingga menjadi pramukopi alias barista di warung kopi kecil–yang kini masih ia kerjakan.
Kata Adam, dua pekerjaan pertamanya itu sebenarnya memberinya upah yang lumayan jika dibanding yang terakhir. Namun, karena–sekali lagi ia anggap–”kurang keren”, dia memutuskan jadi barista saja sampai sekarang.
“Sudah hampir setahun menjadi barista,” kata mahasiwa UNY ini.
Tujuh sampai sembilan jam kerja per hari dengan upah Rp55 ribu per shift ia jalani. Meski kecil, paling tidak upahnya ini cukup untuk membeli beberapa kebutuhan fesyennya. Toh, menjadi barista juga bisa mengangkat “derajat keren” di mata teman-temanya.
Mahasiswa UNY ini sering absen kuliah dan kerap tumbang
Dalam menjalani profesinya itu pasti ada suka dan dukanya. Adam mengaku, gara-gara bekerja di shift malam, dia kerap skip kelas. Apalagi jika ada mata kuliah di jam 7.30 WIB pagi.
“Dulu maunya minta titip absen ke teman. Tapi ya gimana, kadang bangun saja jam sembilan,” ujar mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY ini.
Selain itu, di awal-awal kerja sebagai barista, Adam kerap sakit. Bahkan, ia pernah sampai tiga hari tidak masuk kuliah maupun bekerja karena demam. Hal terburuknya adalah, tak ada satu pun teman dekatnya yang menjenguknya di kos.
“Sakit hati sih enggak. Orang punya prioritasnya masing-masing,” kata Adam, saat saya tanya perasaannya saat tahu tak ada satupun teman yang menjenguk saat sedang sakit.
Sebenarnya Adam sangat sadar kalau yang dia lakukan ini termasuk toksik. Padahal jika mau berhenti, ada banyak hal yang bisa dia lakukan ketimbang harus hidup dalam tempurungnya ini.
“Kadang sering mikir juga, ngapain sih bela-belain begini?,” ujarnya. “Tapi mau gimana lagi, kalau enggak gitu enggak ada temen, sih!”
Tak terlintas untuk pinjol apalagi main judi slot
Satu hal yang perlu dirayakan, Adam tak pernah menempuh cara-cara kotor buat memberi makan egonya. Meski banting-tulang peras-keringat ini hanya demi mendapat validasi circle-nya, setidaknya ia masih waras untuk tak mengambil cara-cara ekstrem dan berisiko.
Misalnya, dalam liputan “Mahasiswa Jogja Merampok 10 Pinjol Ilegal Buat Slot dan Membayari UKT Teman Kuliah”, narasumber Mojok mengaku meminjam uang di banyak pinjol ilegal dan sengaja gagal bayar.
Atau, lebih ekstrem lagi narasumber Mojok dalam liputan “Cerita Mahasiswa Jogja Gelapkan Dana Ormawa Buat Main Slot, Tak Ketar-Ketir karena Dibantu Orang Tua”. Karena sudah kalah banyak saat judi slot, ia nekat menggelapkan dana ormawanya sendiri.
Saya pun menanyakan padanya, apa ia pernah terlintas untuk menempuh jalan-jalan ekstrem ini?
“Pernah ada godaan buat pinjol, soalnya beberapa temanku juga pakai. Tapi enggak kegoda, sih, masih bisa kerja,” katanya. “Apalagi slot. Aku masih ingin waras dengan menjauhinya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mahasiswa Medan Tertipu Biaya Hidup Murah Jogja, Gadaikan Laptop demi Nongkrong di Coffee Shop
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.