Yudi Sapta Pranoto (45) sempat gagal mendapatkan beasiswa untuk membantunya kuliah S3 di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Gadjah Mada (UGM), karena syarat usia. Namun, hambatan itu tak menghalanginya untuk belajar. Ia berhasil membuktikan diri, hingga mendapatkan gelar doktor di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan dengan nilai sempurna.
Mahasiswa S3 UGM tak lolos beasiswa karena usia
Yudi merupakan dosen di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan di Universitas Bangka Belitung. Untuk mengembangkan kemampuannya, Yudi melanjutkan kuliah S3 di SPs Universitas Gadjah Mada (UGM).
Maka, ia pun mendaftar kuliah S3 Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di UGM tahun 2021. Bersamaan dengan itu, ia sempat melamar Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Namun, ia dinyatakan tidak lolos karena syarat usia pelamar tak boleh lebih dari 40 tahun, sementara saat itu usianya sudah 41 tahun.
Kegagalan itu tak membuat semangatnnya surut. Ia justru menjadi pelopor untuk memperjuangkan hak-hak mahasiswa berkuliah. Isu ini bahkan menjadi perhatian nasional.
Tidak ditanggapi oleh Kemendikbudristek
Tentu saja ada rasa kecewa saat Yudi dinyatakan tidak lolos, karena usianya melebihi syarat penerima beasiswa. Namun, ia merasa syarat itu terlalu membatasi mahasiswa. Oleh karena itu, ia mengumpulkan para mahasiswa di program doktoral dengan nasib serupa.
Yudi mengumpulkan mereka di grup Whatsapp “Ikatan Studi Doktoral UGM”. Di sana ia membahas cara untuk memperjuangkan nasib mereka, terutama yang tidak mendapatkan beasiswa.

Beberapa usaha pun mereka upayakan, termasuk membuat surat permohonanan dukungan ke Rektor UGM. Rencananya, surat permohonan yang sudah disetujui rektor dapat diteruskan ke Kemendikbudristek.
“Sayangnya, hal tersebut tidak membuahkan tanggapan,” ujar alumnus S3 UGM tersebut dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu, (1/2/2025).
Mencari jalan keluar lewat DPR
Yudi tak menyerah meski tak mendapatkan tanggapan dari Kemendikbudristek. Sebab, ia merasa hal ini bukan hanya persoalan pribadi, bahkan mahasiswa studi doktoral dari kampus lain turut mengalami persoalan yang sama.
Akhirnya, masalah syarat usia dalam penerimaan beasiswa menjadi hal yang diperjuangkan secara nasional, khususnya oleh para mahasiswa doktoral. Berangkat dari persamaan nasib kolektif tersebut, mereka pun mengajukan audiensi bersama Komisi X Bidang Pendidikan. Pada saat itu yang mefasilitasi adalah Fraksi PKS di DPR RI.
“Singkat cerita, hasil pertemuan tersebut membuahkan hasil bahwa syarat BPI, terutama syarat usia maksimal bertambah menjadi 48 tahun,” ujar Yudi.
Perubahan itu, kata BPI, berlaku sejak tahun 2022. Tepatnya, beasiswa untuk perkuliahan di semester genap 2021/2022, sehingga mahasiswa yang sudah menjalankan perkuliahan di semester ganjil 2021 tidak dapat mendaftar BPI 2022. Itu berarti, Yudi tetap tidak bisa mendapatkan beasiswa tersebut.
Beasiswa dari Universitas Bangka Belitung untuk mahasiswa S3 UGM
Yudi hanya bisa mengambil hikmah dari apa yang ia perjuangkan selama ini. Menurutnya, tak semua perjuangan dapat langsung dinikmati oleh dirinya sendiri. Justru yang terpenting, perjuangan itu bisa dinikmati oleh orang lain.
Kesabarannya Yudi itu akhirnya membuahkan hasil, saat ia memperoleh beasiswa pendidikan institusi dari Universitas Bangka Belitung untuk tahun kedua sampai selesai.
Pengalaman itu tak membuat semangat Yudi surut untuk terus bekerja keras dan membantu orang lain. Usahanya tercermin dalam disertasi miliknya yang berjudul “Faktor Penentu Peran Penyuluh Pertanian dalam Penerapan Good Agricultural Practices Lada Putih Muntok White Pepper di Provinsi Bangka Belitung”.

Disertasi itu menguraikan soal peran penyuluh dan praktik Good Agricultural Practices (GAP) oleh para petani. Menurutnya, Provinsi Bangka Belitung memiliki komoditi rempah terbaik di dunia, yang dikenal dengan Lada Putih Muntok (Muntok white pepper).
“Lada ini memiliki aroma yang khas dan peperin yg tinggi dibandingkan lada lainnya di dunia, dan sudah diusahakan sejak abad ke 18,” jelasnya.
Sayangnya, produksi sekaligus ekspor komoditi lada putih montok sering mengalami pasang surut, bahkan trennya menurun. Salah satunya karena teknologi yang digunakan petani masih tradisional dan belum menerapkan standar budidaya lada yang baik dan benar alias GAP.
Lulus S3 UGM dengan IPK 4
Selama proses penulisan disertasinya, Yudi merasa dipermudah dan mendapatkan dukungan dari para promotor dan ko-promotor. Hingga akhirnya ia berhasil menyelesaikan pendidikan S3 di SPs UGM dengan masa studi 3 tahun, 1 bulan, dan 14 hari.
Yudi menjadi bagian dari 59 wisudawan lulusan Program Doktor yang dikukuhkan pada Kamis (23/1/2025) lalu di UGM. Untuk program Doktor, rerata masa studi adalah 4 tahun 8 bulan, dengan 6 wisudawan memiliki IPK 4,00, termasuk Yudi.
Ia pun berpesan kepada mahasiswa yang juga sedang menempuh pendidikan di UGM, agar terus semangat tidak berputus asa.
“Di setiap kesulitan akan ada kemudahan, dan jangan lupa untuk terus berprasangka baik kepada Tuhan dan mendoakan siapapun,” pesannya.
Selain itu, ia berharap UGM dapat terus menjadi kampus rakyat pelopor dalam pendidikan yang berbasis keilmuan dan pengabdian, serta mempertahankan tradisi akademik yang unggul dan memperkuat jaringan global.
“Selama berkuliah di UGM, kita dilatih untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berintegritas. Nilai-nilai tersebut menjadi modal untuk mengabdi kepada masyarakat bangsa dan negara,” kata mahasiswa lulusan S3 UGM tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Cara Mereka Dapat IPK 4 di ITS hingga UGM, Awalnya Sulit Memahami Materi tapi Lulusnya Sempurna atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan