Saat sedang melakukan riset terkait tradisi perayaan kelulusan mahasiswa di Universitas Kristen Petra Surabaya, saya dipertemukan dengan Adi, yang menolak dituliskan nama sebenarnya. Ia merupakan dosen muda di kampus ini. Di luar dugaan, pembicaraan justru melebar ke kisah masa lalunya, yang pernah diolok-olok guru SMA gara-gara dua kali gagal masuk Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebagai informasi, sebelumnya saya menemukan arsip pemberitaan koran Republik edisi 10 November 1975 di Perpustakaan Nasional terkait tradisi “menggantung” para sarjana yang baru lulus di Universitas Kristen Petra Surabaya. Khususnya di Fakultas Teknik.
Nah, beberapa pihak pun saya hubungi untuk mengonfirmasi soal kebenaran hal tersebut, atau bahkan mencari tahu latar belakang tradisi itu jika memang benar pernah terjadi di sana.
Akhirnya, saya terhubung dengan Adi, dosen muda yang kontaknya saya dapat dari salah satu pengurus BEM. Uniknya, alih-alih mendapat ulasan yang saya inginkan terkait topik tadi, saya justru diperdengarkan dengan kisah hidupnya yang–kalau boleh jujur–tak kalah menarik.
Hattrick ditolak UGM meski sudah mati-matian ngambil pelajaran tambahan
Biarpun sekarang sudah berhasil menjadi dosen di Universitas Kristen Petra Surabaya, perjalanan Adi buat sampai ke tahap ini tak begitu mulus.
Sepuluh tahun lalu, ia mengalami empat kali patah hati. Patah hati pertama adalah gagal masuk UGM di SNMPTN 2013 (sekarang SNBP). Padahal, selama masih SMA di Sidoarjo, nilai rata-ratanya cukup mumpuni. Dia juga selalu ranking, minimal masuk 3 besar di penjurusannya.
“Logika SNMPTN memang susah kita tebak. Bahkan yang lolos sekalipun kadang secara prestasi jauh di bawah kita,” ujar Adi kepada Mojok, Selasa (26/3/2024).
Gugur di perjuangan pertama, Adi mencoba lagi di SBMPTN (sekarang SNBT). Berbagai upaya pun ia lakukan. Namun, karena keterbatasan ekonomi, ia meminta gurunya untuk memberikan pembekalan berupa pelajaran tambahan di luar kelas.
Gurunya setuju. Ia tahu, UGM memang jadi dambaan Adi. Dia juga paham kalau Adi memang punya potensi buat kuliah di sana. Selama beberapa minggu pun ia rutin memberikan pembekalan kepada Adi buat mengahadapi SBMPTN di rumpun Saintek.
Sayangnya, upaya ini belum berhasil. Adi kembali gagal di percobaan kedua. “Lebih sakitnya lagi di percobaan ketiga, tes Utul, juga gagal. Yang artinya kegagalanku buat masuk UGM sudah hattrick.”
4 kali gagal, diolok-olok “UGM bukan levelmu”
Pada tahun tersebut, Adi memutuskan buat kuliah di salah satu PTS di Surabaya. Beruntungnya, berkat bantuan dari beberapa guru di SMA-nya, ia mendapat beasiswa karena prestasinya selama sekolah. “Ada keringanan bebas biaya kuliah asalkan kita lulus tepat waktu maksimal 8 semester,” ujarnya, menjelaskan beasiswa tersebut.
Akan tetapi, nyatanya hati Adi masih berada di cinta pertamanya bernama UGM. Bukannya tak bersyukur bisa kuliah bebas UKT. Namun, karena jalan buat kuliah di UGM masih terbuka, mengapa tidak mencoba lagi. “Di SBMPTN 2014 aku coba lagi. Dan tahu apa hasilnya? Ya, masih gagal, suruh coba lagi.”
Patah hati karena total sudah empat kali ditolak UGM, Adi sempat menuliskan perasaannya di status Facebook. Kata dia, statusnya kala itu lumayan viral. Banyak support datang dari banyak orang, yang rata-rata tak ia kenal tapi ya berteman saja di Facebook.
Akan tetapi respons berbeda justru datang dari guru-guru SMA-nya, termasuk yang memberinya pembelakan tahun sebelumnya. Bukannya ngasih support, mereka malah meremehkan dan mengatainya kurang bersyukur. “Yang paling aku ingat sampai sekarang, ‘kalau gagal terus artinya UGM bukan levelmu, lupakan saja! Boleh mimpi asal jangan ketinggian’,” kata Adi menirukan gurunya.
Kalimat tersebut menyengatnya. Jujur, kata dia, rasa sakitnya masih membekas bahkan ketika dia sudah berhasil lulus dengan predikat cumlaude pada 2016.
Baca halaman selanjutnya…
Bungkam guru SMA-nya dengan sugudang prestasi dan kesuksesan