Bayangkan jika persoalan semacam ini terjadi pada lulusan yang tinggalnya jauh di luar pulau. Mencari orang untuk mewakilkan tidak selalu jadi perkara mudah.
“Ijazah baru keluar sebulan setelah wisuda. Jadi saat itu aku pulang kampung dulu, ini balik lagi malah dapat masalah lain,” kelakarnya.
Bentuk ribetnya birokrasi kampus
Baginya, ini merupakan persoalan yang lebih besar dari sekadar susah legalisir ijazah. “Ini perkara administrasi yang ribet. Di kampusku dari alur ambil ijazah sampai akhir ini infonya nggak detail,” keluhnya.
Bahkan, sebelum mengurus legalisir pun ia sempat harus mondar-mandir ke toko alat tulis karena perkara salah warna map. Dari administrasi kampus pusat tidak ada pemberitahuan warna apa yang harus digunakan sehingga ia asal beli.
“Setibanya di fakultas, kok harus warna khusus,” keluhnya.
Belum lagi, menurutnya batasan dari kampusnya yang hanya membolehkan legalisir 10 lembar membuat sulit.
Selain itu, ia membayangkan kemungkinan masih perlu mengurus perkara lain selain legalisir yakni translate ijazah. Sebab, ia juga ingin mendaftar kerja ke luar negeri.
Keluhan serupa bukan hanya dirasakan Daus. Jika berselancar di media sosial dan mengetikkan kata kunci “legalisir ijazah” akan ada banyak orang yang merasakan kesulitan serupa. Masalah serupa nyatanya jadi derita buat banyak lulusan perguruan tinggi.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News