Lulusan Ilmu Komunikasi di Malang Ijazahnya Serasa Nggak Berguna, Susah Dapat Kerja Karena Akreditasi Jurusan C

Lulusan Ilmu Komunikasi.MOJOK.CO

ilustrasi - Lulusan Ilmu komunikasi (Ega Fansuri/Mojok.co)

Di mata banyak orang, jurusan Ilmu Komunikasi adalah “jurusan santai” dengan prospek karier yang cerah. Slogan-slogan seperti “jurusan serba bisa,” “bisa masuk ke mana-mana,” hingga “di era digital, ilmu komunikasi adalah segalanya”, selalu terdengar di mana-mana. 

Namun, bagi Aldi* (26), yang menelan mentah-mentah slogan itu, kalimat tersebut cuma seperti pepesan kosong. Ia kini malah harus menanggung derita: susah dapat kerja dan jadi sarjana nganggur. Persoalannya, sih, memang ada di jurusan kampusnya.

Memilih jurusan akreditasi C karena “ketipu brosur”

Aldi merupakan lulusan Ilmu Komunikasi sebuah universitas swasta di Malang. Memang bukan kampus besar, tapi reputasinya tak buruk-buruk amat. Bahkan, di kalangan orang Malang, kampus ini cukup dikenal.

“Waktu masa-masa menjelang SBMPTN [sekarang SNBT], kan ada banyak kampus itu promosi ke sekolah-sekolahku. Nah, salah satunya itu kampus yang jadi almamaterku,” ujarnya, berkisah kepada Mojok, Senin (4/8/2025).

Aldi mengaku, PTS-nya itu sebenarnya tak pernah masuk dalam radarnya. Meskipun “kapasitas otaknya” pas-pasan, ia masih punya cita-cita sama seperti siswa SMA lain: lolos PTN.

Sayangnya, ia gagal seleksi SBMPTN 2018. Mau lanjut coba-coba ke seleksi mandiri pun, sadar diri dengan kemampuannya yang pas-pasan.

Pada momen tersebut, nama kampus yang “tidak masuk radar” tadi tiba-tiba terlintas di kepalanya. Alasannya sederhana: ia ingat kalau PTS itu menawarkan biaya kuliah terjangkau, lokasinya pun juga masih di Malang—tak jauh dari rumahnya.

“Ya meskipun jurusan yang mau kumasuki akreditasinya C waktu itu, tapi nggak masalah sih. Aku dulu mikir nama besar kampus nggak akan memengaruhi daya saing lulusannya. Apalagi, alumni kampus itu kan banyak yang sudah ‘jadi orang’,” ungkapnya.

“Eh, tahunya ketipu brosur!”

Kuliah sungguh-sungguh, sampai IPK-nya pun nyaris sempurna

Pendek cerita, Aldi pun memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi kampus tersebut. Dan, seperti yang sudah ia ketahui, biaya kuliahnya memang terjangkau, meskipun kampusnya kecil dan jurusan tempat ia kuliah akreditasinya C.

Ia pun menjalani perkuliahan laiknya mahasiswa lain. Masuk kelas, belajar, nongkrong bareng teman, hingga menyelesaikan tugas akhir tanpa hambatan. Empat tahun hidupnya dihabiskan di kampus tersebut hingga lulus dengan IPK mentereng: 3.6, pada 2022 lalu.

Namun, sebenarnya mahasiswa Ilmu Komunikasi ini sudah merasakan hal-hal tak mengenakan selama kuliah dengan jurusannya. Misalnya, tiap kali mencari tempat magang, khususnya di luar kota, banyak perusahaan yang asing dengan kampusnya.

“Jadi kepikiran, emang setidak-terkenal itukah kampusku? Sampai banyak perusahaan yang effort nyari tahu nama kampusku ketika aku cari tempat magang,” ujarnya.

Namun, “kecurigaan” itu ia pendam. Dengan anggapan, itu hal biasa yang tak berpengaruh apa-apa bagi masa depannya.

Baca halaman selanjutnya…

Frustrasi sekaligus sakit hati. Berbulan-bulan setelah lulus, beneran susah kerja gara-gara jurusannya akreditasi C.

Mulai cemas, lulusan Ilmu Komunikasi serasa tak ada harganya

Sialnya, tiga bulan setelah kelulusan, ia merasakan ketakutannya dulu memang terbukti benar. Ia sudah mengirimkan puluhan lamaran kerja ke berbagai posisi dan perusahaan. 

Mulai dari jurnalis, penulis, spesialis media sosial, hingga staf public relations alias humas. Namun, yang ia terima hanyalah email-email penolakan. 

Menurutnya, kata-kata seperti, “Kami telah memilih kandidat lain yang lebih sesuai” atau “Anda belum sesuai denga kriteria kami”, lebih sering ia terima ketimbang berita baik.

“Tapi aku dulu masih positive thinking, soalnya habis pandemi, cari kerja memang susah,” ujarnya.

Namun, pikiran positif tersebut akhirnya buyar juga. Penyebabnya, satu tahun setelah lulus, atau hingga awal 2024, lulusan Ilmu Komunikasi ini belum juga dapat pekerjaan.

Yang paling dia ingat, sekaligus paling menyakitkan, ia pernah sampai pada tahap interviu di sebuah perusahaan di Malang. Namun, wawancara itu berakhir dengan kilat setelah HRD terang-terangan bilang “pihaknya salah menginterviu kandidat.”

“Mereka bilang maaf, karena salah orang, yang di posisi itu harusnya bukan aku,” ujarnya. “Dan, waktu mereka lihat nama kampusku, mereka bingung, kayak meragukan gitu. Bahkan terlihat kaget karena waktu cek akreditasi masih C.”

Saat ijazah Ilmu Komunikasi serasa nggak guna

Rasa frustrasi yang menumpuk, akhirnya mencapai puncaknya saat Aldi menemukan sebuah iklan lowongan kerja di LinkedIn. Posisi yang ditawarkan sangat cocok dengannya. Sayangnya, di bagian kualifikasi, tertulis dengan jelas dan tanpa tedeng aling-aling: “Diutamakan lulusan jurusan berakreditasi minimal B.

Aldi pada akhirnya hanya bisa merenung. Kertas tebal dengan IPK tinggi, tertulis jelas “Sarjana Ilmu Komunikasi”, seakan tak ada gunanya. Semua kerja kerasnya selama empat tahun seolah disapu bersih oleh satu huruf: “C”. 

“Aku ya pada akhirnya sadar, di dunia kerja yang serba adu jotos ini, kualifikasi itu nomor sekian. Yang penting dan pertama dilihat, memang status kamu dari mana,” ungkapnya.

“Aku, yang dari kampus antah-berantah ini, yang akreditasinya nggak jelas ini, pasti ada di tier bawah. Beda sama lulusan UGM, UI, Unair, yang kayaknya tinggal nunjuk aja pengen kerja di mana.”

Ia ingin marah, tapi tak berguna. Baginya, selama sistem rekrutmen perusahaan di Indonesia masih terjebak pada metrik usang yang sering kali mengabaikan talenta individu, cuma bakal bikin pengangguran tambah banyak. Bukan karena mereka tak kompeten, tapi karena “tempat asalnya kalah pamor” saja.

“Tapi, ya begitulah dunia, nggak akan bisa adil,” pungkas lulusan Ilmu Komunikasi yang kini bekerja serabutan di Jogja tersebut.

*Catatan: Berdasarkan penelusuran Mojok, Jurusan Ilmu Komunikasi kampus yang dimaksud narasumber kini telah terakreditasi B (tercatat sejak 2020). Tahun 2018, saat narasumber pertama masuk kuliah, Berperingkat Baik (setara akreditasi C).

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa PTN Bohong ke Orang Tua, Mengaku Dapat Beasiswa padahal Diam-Diam Kuliah Sambil Kerja demi Gelar Sarjana atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version